KEDUDUKAN
DAN FUNGSI HADITS (SUNNAH)
Oleh : Nur Kholish
Bab I
PENDAHULUAN
Ucapan, kepribadian dan
perbutan Nabi muhammad saw merupakan pegangan,[1]
dan tauladan bagi orang-orang yang senantiasa berharap ridlo Allah.[2]
. Selain itu, sejarah perjuangannya pun dijadikan motivasi bagi umat Islam
dalam menlanjutkan dakwah menyebarkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Oleh karena
itu, siapa saja yang ingin mengetahui keberhasilan perjuangan, karakteristik
dan pokok-pokok ajaran Nabi Muhammad saw. maka hal itu dapat dipelajari secara
rinci dalam As Sunah An Nabawiyah. [3]
Hadits atau As Sunnah selain
sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al Quran, juga berfungsi sebagai
sumber sejarah dakwah (perjuangan) Rasulullah saw. Hadits juga mempunyai fungsi
penjelas bagi Al Quran, menjelaskan yang global, mengkhususkan yang umum, dan
menafsirkan ayat-ayat Al Quran. [4]
Memposisikan hadis secara
struktural sebagai sumber ajaran Islam kedua atau secara fungsional sebagai
bayan terhadap Al Quran merupakan kaharusan. Karena pada hakekatnya sumber
hukum yang didasarkan kepada Al Quran maupun sumber hukum yang didasarkan pada
Hadits adalah sama, yaitu sama-sama dari Allah [5]
Hadis diterima sebagai salah
satu sumber ajaran islam merupakan suatu keniscayaan dilihat dari ruang lingkup
dan jangkauan Al Quran serta keterbatasan manusia dalam memahami petunjuk Al
Quran. Al Quran sebagai wahyu menjangkau seluruh masa kehidupan manusia, maka
Al Quran hanya bebicara hal-hal tertentu yang dijelaskan secara terinci.
Terhadap ayat yang global maknanya dan tidak membumi bahasanya, Nabi Muhammad
saw mempunyai tugas untuk menjelaskan dan memerinci tujuannya. Masalah umat dan
tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad saw yang tidak ditemukan jawabannya dalam
Al Quran, Nabi Muhammad saw mendapat legitimasi dari Allah untuk menyelesaikan
masalah dan menjawab masalah tersebut dan umat berkewajiban mengikutinya.
Kewajiban mengikutinya tersebut merupakan amanat Al Quran sebagaimana yang
disebutkan dalam
QS; Al Hasyr : 7 QS. Ali Imron : 32
Dengan demikian kedudukan dan fungsi As Sunnah
sebagai sumber hukum Islam adalah menjadi kesepakatan hampir seluruh ulama dan
umat Islam.
Bab II
PENGERTIAN HADITS (SUNNAH), KHOBAR, ATSAR
Hadis menurut bahasa artinya baru. Hadits juga
berarti sesuatu yang dibicarakan dan dinukil. Adapun Hadits menurut istilah
ahli hadits adalah : apa yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa ucapan,
perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau
sesudahnya. [6]
Sedangkan menurut ahli ushul
fiqih, hadits adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan
kepada Rasulullah saw setelah kenabian.[7]
Sedangkan Drs. Fatchur Rahman
membagi pengertian hadits menjadi dua bagian.[8]
A.
Ta’rif Al Hadits yang terbatas, sebagaimana
dikemukakan oleh jumhurul Muhadditsin ialah ”sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan
yang sebagainya.
Dari Ta’rif
ini terdapat empat macam unsur, yakni perkataan, perbuatan, pernyataan dan
sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad saw yang lain, yang semuanya
hanya disandarkan kepada beliau saja, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan
kepada shahabat dan tidak pula kepada tabi’iy.
Pemberitaan
terhadap hal-hal tersebut yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw disebut berita
marfu’, yang disandarkan kepada shahabat disebut berita mauquf, dan yang
disandarkan kepada tabi’iy disebut maqthu’.
1.
Perkataan
Yang dimaksud dengan perkataan
Nabi Muhammad saw ialah perkataan yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai
bidang, seperti bidang hukum, akhlaq, aqidah, pendidikan dan sebagainya.
2. Perbuatan
Perbuatan Nabi Muhammad saw
merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syari’at yang belum
jelas cara pelaksanaannya. Misalnya cara bersembahyang dan cara menghadap qiblat
dalam sembahyang sunnat di atas kendaraan yang sedang berjalan, telah
dipraktikkan oleh Nabi dengan perbuatan beliau di hadapan para shahabat.
3. Taqrir
Arti
taqrir Nabi, ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau
menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan shahabat di hadapan
beliau. Contoh taqrir Nabi tentang perbuatan shahabat yang dilakukan di
hadapannya, ialah tindakan salah seorang shahabat yang bernama Khalid bin
Walid, dalam salah satu jamuan makan, menyajikan masakan daging biawak dan
mempersilahkan kepada Nabi untuk menikmatinya bersama para undangan. Beliau
menjawab ” tidak (maaf) berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung
kaumku, aku jijik padanya. Kata Khalid, segera aku memotongnya dan memakannya,
sedang Rasulullah saw melihat kepadaku.
4.
Sifat-sifat, keadaan-keadaan, dan himmah (hasrat)
Rasulullah saw
Sifat-sifat beliau yang
dilukiskan oleh para shahabat dan ahli tarikh, seperti sifat-sifat dan bentuk
jasmaniyah beliau dilukiskan oleh shahabat Anas. Silsilah, nama-nama dan tahun
kelahiran yang telah ditetapkan oleh para shahabat dan ahli tarikh. Himmah
(hasarat) beliau yang belum sempat direalisir, misalnya hasrat beliau untuk
berpuasa pada tanggal 9 Asyura.
B. Ta’rif Hadits yang luas, sebagaimana yang
dikemukakan oleh sebagian Muhadditsin, tidak hanya mencakup sesuatu yang
dmarfu’kan kepada Nabi Muhammad saw saja, tetapi juga perkataan, perbuatan dan
taqrir yang disandarkan kepada shahabat dan tabi’iy pun disebut Al Hadits.
Dengan demikian Al hadits menurut ta’rif ini, meliputi segala berita yang
marfu’, mauquf dan maqthu’.
Khobar
menurut bahasa adalah berita, bentuk jamaknya akhbar. Sedangkan menurut
istilah, terdapat perbedaan pendapat :
1. Ada yang mengatakan bahwa
khabar itu sama dengan hadits
2. Ada pula yang berpendapat
bahwa hadits adalah segala yang datang dari Nabi, sedang khabar adalah yang
datang dari selain Nabi, seperti shahabat atau tabi’iy
3. Ada juga yang berpendapat
bahwa khabar lebih umum dari hadits. Kalau hadits segala apa yang datang dari
Nabi, sedang khabar adalah yang datang dari Nabi atau dari selain beliau.
Atsar
menurut bahasa adalah sisa dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah ada dua
pendapat :
1. Ada yang mengatakan bahwa
atsar sama dengan hadits, makna keduanya adalah sama
2. Ada yang berpendapat bahwa
atsar berbeda dengan hadits, yaitu apa yang disandarkan kepada shahabat dan
tabi’in, baik berupa ucapan dan perbuatan mereka
Bab III
KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIS (SUNNAH)
A. Kedudukan
Hadits (Sunnah) sebagai Hujjah dalam Syariat Islam
Kaum muslimin sepakat bahwa
segala ucapan, perbuatan atau taqrir yang bersumber dari Rasulullah tentang
masalah syariat atau masalah kepemimpinan dan pengadilan, yang sampai kepada
kita dengan sanad yang shahih, menjadi hujjah bagi kaum muslimin, dan sebagai
sumber syariat di mana para mujtahid dapat menggali hukum syariat yang
berkaitan dengan perbuatan hamba.
Maka sunnah nabawiyah adalah
sumber yang kedua dari sumber-sumber hukum agama, dan kedudukannya berada
setelah Al Quran, dan wajib diikuti sebagaimana wajibnya mengikuti Al Quran.
Adapun dalam masalah kekuatan
hujjah atau argumentasinya, maka kita harus yakin sepenuhya bahwa Al Quran dan
Sunnah Nabi kedua-duanya adalah wahyu dari Allah swt.[9]
Dalil-dalil yang menunjukkan
bahwa Hadits (as Sunnah) adalah hujjah, antara lain :
1. Nash-nash Al Quran : Allah
telah memerintahkan untuk mengikuti RasulNya dan menaatinya. Allah berfirman :
QS; Al Hasyr : 7
„Dan apa yang telah Rasul berikan kepada kalian maka ambillah
dan apa yang telah Rasul larang bagi kalian maka tinggalkanlah.
QS. Ali Imron : 32
Katakanlah: "Ta'atilah
Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir".
QS : An Nisa’ : 80.
Barangsiapa
yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka
QS : An Nisa’ : 59
Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
QS : An Nur : 63
Janganlah kamu jadikan
panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada
sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah Telah mengetahui orang-orang yang
berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya),
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
QS : Al Ahzab : 36
Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.
QS : An Nisa’ : 65
Maka demi Tuhanmu, mereka
(pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati
mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.
QS : An Nur : 48-50
48. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah[1044]
dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba
sebagian dari mereka menolak untuk datang.
49. Tetapi jika Keputusan itu untuk
(kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh.
50. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena)
dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena)
takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya,
mereka Itulah orang-orang yang zalim.
[1044] Maksudnya: dipanggil utnuk bertahkim kepada
Kitabullah.
Nash-nash tersebut membuktikan
secara qath’i bahwa Allah telah mewajibkan untuk menaati Rasul-Nya pada apa
yang telah disyariatkan dan bahwa As Sunnah sebagai sumber hukum syariat
terhadap para hamba. [10]
B. Fungsi
Hadits (Sunnah)
Ditinjau dari segi fungsinya,
sunnah mempunyai hubungn yang sangat kuat dan erat sekali dengan Al Quran.
Sunnah An Nabawiyah mempunyai fungsi sebagai penafsir Al Quran yang membuka
rahasia-rahasia Al Quran dan menjelaskan kehendak-kehendak Allah swt dalam
perintah dan hukum-hukumNya. Dan jika ditinjau dari segi dilalahnya terhadap
hukum-hukum yang dikandung Al Quran, baik secara global maupun rinci, status
sunnah dapat diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu : [11]
1. Sebagai
pengukuh (ta’kid) terhadap ayat-ayat Al Quran
Sunnah
dikaitkan sebagai pengukuh ayat-ayat Al Quran apabila makna yang terkandung di
dalamnya cocok dengan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al Quran. Nabi
bersabda :
uf&^} kîe r;5ã ã:äY kîeäÏfe éfj} êã lã
Sesungguhnya
Allah swt memanjangkan kesempatan kepada orang-orang zalim, apabila Allah
menghukumnya maka Allah tidak akan melepaskannya.
Hadis tersebut cocok dengan firman Allah swt
Dan begitulah azab Tuhanmu,
apabila dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya
azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.
Hadis yang berfungsi sebagai pengukuh (penta’kid)
ayat-ayat Al Quran jumlahnya banyak sekali, seperti hadis-hadis yang
menunjukkan atas wajibnya shalat, zakat, haji, amal berbuat baik, memberi maaf,
dan sebagainya.
2. Sebagai
penjelas terhadap maksud ayat-ayat Al Quran
Hadis
dalam fungsi ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu ;
a. Menjelaskan
ayat-ayat mujmal
Hadis dalam fungsi ini di
antaranya ialah hadis yang menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan
ibadah dan hukum-hukumnya, dari segi praktiknya, syarat, waktu dan tatacaranya,
seperti masalah shalat dimana di dalam Al Quran tidak disebutkan secara rinci.
Tetapi semua itu dijelaskan oleh sunnah
b. Membatasi
lafadz yang masih muthlaq dari ayat-ayat Al Quran
Hadis
yang membatasi kemutlakan lafadz dari ayat Al Quran ini ialah seperti
hadis-hadis yang menjelaskan tentang lafadz Al Yad (tangan) yang terdapat dalam
ayat Al Quran
Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.
Bahwa yang dimaksud memotong tangan dalam ayat
tersebut adalah tangan kanan dan pemotongannya adalah sampai pergelangan tangan,
tidak sampai siku.
c. Mengkhususkan
ayat-ayat Al Quran yang bersifat umum
Hadis
dalam kategori ini ialah seperti hadis yang mengkhususkan makna dholim dalam
firman Allah swt
Orang-orang yang beriman dan
tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah
yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.
Bahwa yang dimaksud zalim pada ayat tersebut
adalah menyekutukan Tuhan. Peristiwanya ialah sewaktu ayat tersebut turun,
sebagaian shabat mengira bahwa yang dimaksud zalim pada ayat tersebut ialah
zalim dalam arti umum, sehingga dia berucap, siapakah diantara kita yang tidak
zalim? Kemudian, Nabi menjawab, ”bukan itu yang dimaksud, tetapi yang dimaksud
zalim pada ayat itu ialah menyekutukan Tuhan (syirik).”
d. Menjelaskan
makna lafadz yang masih kabur
Di
antaranya ialah seperti hadis yang menjelaskan makna dua lafadz ”Al Khoitu”
dalam firman Allah swt
Dihalalkan bagi kamu pada
malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah
Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu
dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa.
Peristiwanya ialah sebagian sahabat ada yang
mengira bahwa yang dimaksud benang dalam ayat itu ialah tali yang berwarna
hitam dan putih. Kemudian, Nabi saw bersabda, bahwa yang dimaksud ialah
terangnya siang dan gelapnya malam
3. Menetapkan
hukum yang tidak disebutkan dalam Al Quran
Contoh
sunnah semacam ini banyak sekali, seperti hadis-hadis yang menetapkan hukum
haram mengawini seorang perempuan beserta bibinya, riba fadhal, dan makan
daging himar piaraan
4. Menghapus
ketentuan hukum dalam Al Quran
Sebagain
ulama ada yang membolehkan sunnah menghapus ketentuan hukum dalam Al Quran, di
antaranya ialah seperti hadis :
(<ãqe Ö~Ip v
Tidak boleh berwasiat (memberikan harta peninggalan)
kepada ahli waris
Hadis
tersebut menghapus ketentuan hukum dalam Al Quran tentang diperbolehkannya
wasiat kepada ahli waris, baik kepada kedua orang tua, atau kerabat-kerabat
waris lainnya, sebagaimana firman Allah swt.
Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf[112], (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Bab IV
AHLUSSUNNAH
A. Pengertian Ahlussunnah
Istilah Ahlussunnah wal jamaah
bagi umat islam pada umumnya dan terutama di Indonesia khususnya, bukanlah
istilah baru. Sekalipun demikian, tidak jarang istilah ini dipahami secara
berbeda, bahkan menimbulkan kekeliruan yang cukup fatal. Pemahaman Ahlussnnah
wal Jama’ah awal mulanya timbul karena ingin membentengi umat islam dari
merebaknya faham Muktazilah[12]
terutama pada masa Abbasiyah.
Pada akhir abad ke 3 Hijriyah,
hampir bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah Al Mutawakkil, muncul dua
orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu Abu Hasan Al Asy’ari di Bashrah dan
Abu Manshur Al Maturidi di Samarkand. Dua Tokoh inilah yang dijuluki sebagai
peletak dasar faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
Pemahaman Ahlussunnah wal
Jama’ah berikutnya adalah didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Daud, At Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah :
“Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 firqoh (pecahan), kaum Nasrani menjadi 72
firqoh, sedangkan ummatku akan terpecah menjadi 73 firqoh. Yang selamat di
antara mereka satu, sedangkan sisanya binasa. Sahabat bertanya: “Siapakah yang
selamat itu ?” Nabi menjawab:
“Ahlussunnah wal Jamaah”, sahabat bertanya lagi: “Apakah Ahlussunnah wal Jamaah
itu ?” Nabi menjawab: “Apa yang aku perbuat hari ini dan para sahabatku.”
Dari keterangan hadis di atas, jelas bahwa umat
Islam akan terpecah menjadi golongan yang sangat banyak (71 atau 72 sekte)
dan sekte yang selamat hanya satu yaitu ” Maa ana ’alaihi wa ash
haabii”. Karena itu setiap umat Islam yang mengikuti I’tiqad Nabi Muhammad SAW
dan para sahabatnya akan selamat dari neraka. Karena dengan mengikuti I’tiqad
Nabi dan para sahabatnya berarti mengikuti ajaran Islam yang murni dan lurus.
Ajaran yang berdasarkan wahyu Allah yang disampaikan oleh Rasulullah SAW,
diperagakan, ditelandankan dan diamalkan oleh beliau serta dipahami, dihayati,
diteladani dan diamalkan oleh para
sahabat.[13]
Dalam bukunya ” Al
Milal wan Nihal ” Muhammad bin Abdul Karim Asyarastani menguraikan bawa umat
manusia terbagi menjadi pemeluk agama-agama dan penghayat beberapa kepercayaan.
Pemeluk agama seperti pemeluk agama Majusi, Nasrani, Yahudi dan umat Islam.
Penghayat kepercayaan terbagi menjadi sekian banyak seperti para fiosof,
Dahriyah, Sabiah, dan Barahman. Setiap kelompok terpecah lagi menjadi sekte,
penghayat kepercayaan jumlahnya sangat banyak dan tidak diketahui dengan pasti
dari mana kepercayaan itu diambil dan riwayat-riwayat yang sampai kepada
mereka. Penganut agama Majusi terpecah menjadi tujuh puluh sekte, penganut
agama Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu sekte, penganut agarna Nasrani
terpecah menjadi tujuh puluh dua sekte dan penganut agama Islam terpecah
menjadi tujuh puluh tiga sekte, yang selamat hanya satu karena kebenaran itu
hanya satu. Dua buah proposisi yang kontradiktif tidak mungkin benar keduanya,
demikian pula dalam ajaran agama : dua ajaran yang bertentangan tentu yang
satunya benar dan yang satu lagi tersesat. Dan tidak mungkin akidah dua sekte
yang bertentangan dapat dikatakan bahwa keduanya benar karena kebenaran itu
satu, berarti kebenaran hanya pada satu sekte dari sekian sekte.[14]
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Ahlussunnah
wal Jamaah sebagai ajaran sudah ada sejak zaman Rasulullah saw, yaitu ajaran
Islam itu sendiri. Sebab yang disebut dengan “ma ana ’alaihi wa ashhabi”,
adalah faham keagamaan yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw dan para
sahabatnya. Pada masa itu ajaran Islam dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu
dan berkesinambungan, tidak ada yang dipertentangkan. Baru setelah wafat Nabi
Muhammad saw, bibit perselisihan mulai tampak. Tentang wafat tidaknya nabi,
tentang pengganti nabi, tentang tempat pemakaman nabi dan lain-lain.
Perselisihan ini kemudian berkembang dan akhirnya menyebabkan timbulnya
firqah-firqah dalam Islam.
Firqah-firqah
dalam Islam timbul sesudah terjadi perang Shiffin antara pasukan Khalifah
Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 37 H.
Perang ini diakhiri dengan majlis tahkim yang menyebabkan sebagian tentara
Khalifah Ali merasa kecewa. Mereka memisahkan diri dari barisan Ali dan
membentuk kelompok yang dikenal dengan
“Khawarij”. Golongan ini bersemboyan la hukma Illallah dan memandang bahwa para pelaku
majlis tahkim yaitu Ali bin Abi
Thalib, Mu’awiyah bin Sufyan, dan Amr bin Ash adalah kafir. Seementara itu
golongan yang tetap setia kepada Khalifah Ali di sebut “Syiatu Ali” yang
disingkat “Syiah”. Kedua golongan ini semakin mengental dan terus berkembang
menjadi sekte-sekte yang sangat fanatik
sehingga saling mengkafirkan. Dari perseteruan antara keduanya, lahirlah
kelompok moderat yang berpendapat bahwa masalah kafir dan mukmin adalah urusan Tuhan. Mereka mengembalikan
semuanya kepada Allah SWT dan oleh karena itu dikenal dengan nama Murji’ah.
Kondisi politik pada masa pemerintahan Daulah
Umayyah mempersubur lahirnya firqah-firqah dalam Islam. Pada masa itu muncul
dua aliran yang berseberangan yaitu Jabariyah dan Qadariyah. Dalam perkembangan
selanjutnya, pada permulaan abad kedua Hijriyah, muncul golongan Mu’tazilah
yang rasionalis. Dikatakan demikian, karena mereka menenmpatkan dalil aqli di
atas dalil naqli (nash dari Alqur’an dan Hadits). Golongan Mu’tazilah dengan
kebebasan rasionya mencapai kejayaan pada masa Dinasti Abbasiyah, setelah
ditetapkan oleh Khalifah Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq menjadi madzhab
resmi yang dianut oleh Negara.
Banyaknya firqah sebagaimana disebutkan di atas
sudah tentu menjadikan api perselisihan
semakin berkobar. Akibatnya ajaran Islam yang pada hakekatnya mudah dicerna dan
diamalkan menjadi seolah-olah sulit dan rumit, karena diperdebatkan dengan
emosional dan fanatisme terhadap golongan mereka masing-masing. Pada saat itu
yang menjadi ukuran kebenaran bukanlah kemurnian ajaran Islam, seperti yang
diajarkan dan dipraktikkan pada zaman Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya,
akan tetapi rasa taasshub dan fanatik buta terhadap golongannya sendiri. Dalam
kondisi yang demikian, dirasakan perlunya predikat Ahlussunnah wal Jamaah
dipopulerkan oleh kaum muslimin yang tetap setia menegakkan As Sunnah wal
Jamaah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
sebagai ajaran, Ahlussunnah wal Jamaah sudah ada sejak zaman sahabat Nabi dan
tabi’in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi SAW :
Artinya : Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan
sunnah al-Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk”.
Yang
dimaksud sunnah “Al Khulafaur Rasyidin” dalam hadits tersebut meliputi seluruh
sahabat Nabi yang memiliki kedudukan sangat penting dalam pengamalan dan
penyebaran agama Islam. Ajaran mereka dilanjutkan oleh para tabi’in dan tabi’it
tabi’in dan demikian seterusnya dilakukan para ulama yang dikenal sebagai
“waratsatul ambiya” (pewaris para Nabi). Itulah sebabnya sehingga paham
Ahlussunnah wal Jamaah adalah ajaran Islam yang diajarkan dan diamalkan oleh
Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in dan generasi-generasi berikutnya. Jadi
Ahlussunnah wal Jamaah bukan satu ajaran yang muncul sebagai reaksi dari
timbulnya beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Akan
tetapi Ahlussunnah wal jamaah benar-benar sudah ada sejak zaman nabi dan justru
aliran-aliran itulah yang menodai kemurnian ajaran Islam.
Sebagaimana keterangan di atas, Ahlusunnah wal
Jamaah sebagai gerakan pemurnian ajaran Islam telah muncul pada abad ketiga
Hijriyah. Tokoh yang berjasa
mempopulerkan kembali istilah Ahlusunnah wal Jamaah adalah Imam Abu Hasan Al
Asyari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi. Abu Hasan Al Asyari yang nama lengkapnya adalah Abu Hasan, Ali bin
Ismail bin Abi Basyir bin Ishaq bin Ali bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu
Burdah bin Abu Musa Al Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/873 M dan
wafat pada tahun 324 H / 935 M. Pada mulanya
beliau adalah murid seorang ulama
Mu’tazilah, Abu Hasyim Al Jubba’i. Namun setelah meneliti faham Mu’tazilah dan
membandingkannya dengan dalil-dalil naqli, ternyata terdapat banyak kesalahan.
Akhirnya beliau menyatakan hasil penelaahannya dan mengemukakan kesalahan faham
Mu’tazilah. Sedangkan Imam Al Maturidi yang
nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Manshur Al Maturidi lahir di kota Maturid
Samarqand, dan wafat tahun 333 H.
Seperti Al Asy’ari , Al Maturidi juga mempunyai
kajian tentang i’tiqad Ahlusunnah wal jamaah sebagaimana yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad saw dan para
sahabatnya.
Golongan Ahlusunnah wal Jamaah ini dalam waktu
singkat berhasil menyebar ke seluruh dunia Islam dan berhasil menyisihkan
pengaruh golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.
B. Upaya Pelestarian dan
Pengembangangan Ajaran Ahlussunnah wal jamaah
Ajaran Ahlussunnah wal Jamaah sudah ada sejak zaman
Rasulullah, yaitu agama Islam itu sendiri. Artinya ajaran Islam yang
dilaksnakan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya secara murni. Pada zaman
Rasulullah segala masalah yang timbul, baik masalah-masalah yang berkaitan
langsung dengan keimanan dan ibadah, maupun masalah-masalah sosial, semua
dikembalikan kepada Rasulullah, kemudian Allah SWT menurunkan wahyu untuk
memberi ketetapan hukumnya.
Akan tetapi sering juga para sahabat melaksanakan
sesuatu dengan pemikirannya sendiri, karena belum adanya ketentuan dari
Rasulullah. Kemudian mereka datang kepada Rasulullah untuk melaporkan
tindakannya. Jika Rasulullah membenarkan, sahabat yang lain ikut
melaksanakannya. Hal ini disebut dengan hadits taqriri.
Sepeninggal Rasulullah, generasi pewaris ajaran
Islam adalah sahabat. Yaitu kaum
muslimin yang menerima langsung ajaran Islam dari Rasulullah saw. Sebagai
generasi pertama ummat Islam, mereka
bukan hanya mengerti materi ajaranannya, tetapi juga memahami latar belakang
dan bagaimana Rasulullah melaksanakannya. Karena itu peran mereka dalam proses
pemahaman, pewarisan dan pengembangan agama Islam sangat penting. Secara
keseluruhan mereka dapat dipercaya, meskipun secara individu berbeda-beda
tingkatannya.
Para sahabat meneruskan ajaran Islam kepada generasi kedua
yang disebut tabi’in. Pada zaman sahabat dan tabiin ini, wilayah Islam mulai
meluas, persoalan kian banyak, generasi sahabat semakin berkurang. Sehingga
dirasa perlu adanya sarana baru untuk pewarisan ajaran Islam, tidak cukup hanya
dengan lisan, tetapi perlu adanya catatan. Mushhaf Al Qur’an ditulis atas usul
Umar bin Khattab. Khalifah Abu Bakar Asshiddiq mengusahakan adanya buku catatan
(Mushhaf) berisi ayat-ayat Al Qur’an yang tersusun tertib, lengkap dan benar,
untuk menjadi rujukan baku bagi kaum muslimin sepanjang zaman. Upaya ini
selesai tuntas pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Dimana Khalifah Utsman
menetapkan satu-satunya mushhaf yang
disepakati untuk kaum muslimin sepanjang zaman.
Disamping mushhaf juga dirasa perlu pencatatan hadits
Rasulullah saw yang jumlahnya jauh lebih banyak dari pada ayat-ayat Al-Qur’an.
Upaya pencatatan hadits ini baru dimulai secara resmi pada masa Khlaifah Umar
bin Abdul Aziz (90 H). Akan tetapi pencatatan hadits ini tidak pernah
dinyatakan tuntas.
Generasi pewaris setelah tabi’in adalah tabiit-tabiin. Pada zaman ini agama
Islam sudah berkembang sangat luas. Pemeluk agama Islam sudah terdiri dari
berbagai bangsa, dan berasal dari berbagai agama. Hubungan dengan berbagai
pihak bertambah banyak. Semuanya mendorong perkembangan keilmuan dikalangan
kaum muslimin baik ilmu keislaman maupun ilmu lainnya.
C. Upaya Pelestarian dan Pengembangan Ajaran
Ahlussunnah wal jamaah di Indonesia
Ajaran Islam yang masuk ke Indonesia adalah ajaran yang
berfaham Ahlusunnah wal jamaah. Ajaran ini terus dikembangkan oleh para wali
dan muballigh, serta para ulama berabad-abad lamanya, melalui jalur pendidikan,
pengajaran dan kegiatan dakwah rutin lainnya. Secara turun temurun para ulama
mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, dan mengkondisikan dengan tradisi bangsa Indonesia.
Baru setelah
masuknya pembaruan Islam ke Indonesia, pengembangan ajaran Ahlussunnah wlal
jamaah di Indonesia mulai mendapat tantangan. Para ulama kemudian mengatur
strategi untuk menghadapinya dengan mengintensifkan pertemuan-pertemuan yang
akhirnya melahirkan NU. Dengan tujuan utama adalah mengembangkan dan
melestarikan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
Dalam rangka pelestarian dan pengembangan Ahlussunnah wal
Jamaah NU menempuh berbagai cara, baik jalur pendidikan, pengajian-pengajian,
maupun amalan tradisi yang menjadikan ciri khas warga NU.
Melalui jalur pendidikan NU mempunyai andalan pondok
pesantren untuk mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Melalui jalur ini
NU berusaha mengintensifkan pendidikan.
Dengan meningkatkan silaturrahmi antara ulama pesantren,
NU memberikan motivasi untuk mengembangkan metode dan sistem pendidikan di
pesantren. Materi pengajaran kitab kuning yang sudah melembaga di pesantren
juga tetap dipertahankan dengan cara mengadakan penelitian terhadap kitab–kitab
yang diajarkan untuk dapat diketahui, apakah kitab-kitab tersebut hasil karya
para ulama ahlussunnah wal jamaah atau tidak. Itulah sebabnya dapat kita
ketahui bahwa hampir seluruh pesantren NU memakai kitab yang seragam. Kalau
terjadi perbedaan, hanya sistem dan tingkatannya.
Disamping itu telah didirikan lembaga-lembaga pendidikan
formal baik dalam maupun di luar pesantren yang mengajarkan pendidikan agama
Islam ala ahlussunnah wal Jamaah. Pendidikan formal ini teridiri atas madrasah
dan sekolah umum, juga perguruan tinggi.
Untuk menyatukan langkah pengajaran, telah dirumuskan
kurikulum yang dikeluarkan oleh Lembaga Pendidikan Maarif NU, yaitu lembaga
dalam NU yang bertugas membina dan mengembangkan pendidikan. Di dalam Madrasah
atau sekolah ini diajarkan pendidikan Ke
NU an/Ke Ahlussunnah wal Jamaah, sebagai mata pelajaran khusus yang memberikan
pengetahuan tentang NU dan Ahlusussnnah wal Jama’ah. Ditetapkannya mata
pelajaran khusus ini bagi semua siswa di lingkungan Madrasah/sekolah Maarif, agar
putra-putra NU dapat menghayati dan mengamalkan agama Islam sesuai
dengan amalan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw bersama para sahabatnya.
Nahdatul Ulama tidak berhenti pada pendidikan di
pesantren, madrasah dan sekolah saja. Tetapi dalam rangka mengembangkan dan
melestarikan ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah, para ulama NU secara rutin
memberikan pengajian di masjid dan di musholla dengan membaca kitab-kitab yang
kesemuanya berdasarkan madzhab Ahlussunnah wal jamaah.
Pelestarian ajaran Ahlussunnah wal jamaah juga dilakukan
setiap malam 15 Qamariyah yang disebut lailatul Ijtima’. Acara ini
biasanya dimulai dengn melakukan sholat ghaib bersama untuk warga NU yang
meninggal dunia dalam bulan itu, dengan terlebih dulu dibacakan nama-nama yang
telah didaftarkan. Selesai shalat diteruskan dengan membaca tahlil dan kemudian
dilengkapi dengn ceramah agama yang menjelaskan ajaran ahlussunnah wal jamaah
dan memberi motivasi kepada seluruh warga NU untuk tekun mengamalkannya.
NU juga mempunyai tradisi yang secara rutin dilaksanakan
baik kalangan tua maupun muda, pria
maupun wanita, seperti tahlilan, dibaan, manakiban, hadrah dan khatmil qur’an.
Acara semacam ini juga dilakukan dalam
kegiatan-kegiatan tertentu, ketika warga mengadakan walimah, dan juga pada
hari-hari besar tertentu seperti maulid nabi, Isra’ miraj dan peringatan tahun baru hijriyah.
Usaha-usaha lain yang terus dikembangan sesuai dengan
perkembangan zaman, adalah melalui tulisan-tulisan. Melalui penerbitan
buku-buku yang mengupas tentang perkembangan ahlussunnah wal jamaah, maupun
melalui media massa. Sarana ini banyak dilakukan oleh intelektual NU, khususnya
diperuntukkan kepada wara-warga masyarakat yang terpelajar.
Dengan upaya dan usaha NU
baik yang dilakukan secara perorangan warga NU, atau secara organisasi,
ajaran Ahlussunnah wal jamaah di
Indonesia tetap bisa dilestarikan dan dikembangkan sesuai dengan
perkembangan masa. [15]
Bab
V
INKAR
SUNNAH
A. Sejarah Inkar
Sunnah
Sesungguhnya perkataan yang paling benar
adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw. Dan
sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan
adalah bid’ah, sedangkan setiap bid’ah adalah sesat. Dan kesesatan adalah
neraka tempatnya. [16]
Goresan sejarah mengungkapkan, bahwa memang ada
sekelompok orang yang mengaku beragama Islam namun menolak keberadaan Sunnah,
mengingkari kedudukan Sunnah, dan tidak mau menggunakan Sunnah sebagai sumber
syariat setelah Al-Qur’an. Mereka hanya mau mengakui Al-Qur’an satu-satunya
sumber syariat. Secara terang-terangan mereka tidak mau menerima hadits-hadits
Nabi, baik yang mutawatir maupun yang ahad. Kata mereka; Sunnah tidak
dibutuhkan, Al-Qur’an saja sudah cukup tanpa Sunnah. Namun, di antara mereka
ada juga yang menggunakan hadits sebagai hujjah, meskipun hanya sebagian dan
pilih-pilih. Terutama hadits-hadits tentang larangan menulis hadits. Imran bin
Hushain Radhiyallahu Anhu pernah berkata kepada seseorang yang
menyerukan inkar Sunnah, “Sesungguhnya kamu ini orang yang dungu! Apa kamu
mendapatkan dalam Kitab Allah kalau shalat zuhur itu empat rakaat dan bacaannya
tidak dikeraskan?” Kemudian, Imran menanyakan banyak hal kepadanya tentang
shalat, zakat, dan sebagainya. Lalu, Imran berkata, “Apa kamu mendapatkan
tafsir semua itu dalam AlQur’an? Sesungguhnya hal ini masih samar dalam
Al-Qur’an dan sunnahlah yang menjelaskan.[17]
Pada masa Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah, orang-orang
yang mendustakan hadits Nabi masih saja ada, bahkan semakin banyak. Sehingga,
tidak mengherankanjika Imam Asy-Syafi’i membuat satu bab khusus dalam Kitabnya (Al-Umm)
yang mengisahkan terjadinya perdebatan antara dirinya dengan mereka yang
menolak habis Sunnah Nabi. Sedangkan dalamAr-Risalah, Imam Asy-Syafi’i
membuat satu pembahasan tersendiri yang cukup panjang tentang kekuatan khabar
ahad sebagai hujjah. Dikisahkan, bahwa suatu hari manakala Imam Asy-Syafi’i
sedang duduk di Masjidil Haram, dia berkata kepada orang-orang di sekelilingnya,
“Tidaklah kalian bertanya tentang suatu masalah kepadaku, melainkan akan saya jawab
dengan Kitab Allah.” Lalu, ada seseorang yang bertanya, “Apa yang engkau
katakan apabila orang yang sedang ihram (muhrim) membunuh kalajengking?” Imam
Asy-Syafi’i berkata, “Tidak apa-apa.” Orang itu berkata lagi, “Mana dalilnya
dalam A1-Qur’an?” Imam Asy-Syafi’i berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;
Dan apa-apa yang dibawa Rasul kepada kalian, maka ambillah. Sedangkan
Rasul bersabda; Kalian harus memegang teguh Sunnahku dan Sunnah khulafa’ur
rasyidin sesudahku. Dan, Umar Radhiyallahu Anhu berkata; Orang yang
sedang ihram boleh membunuh kalajengking !”
Selanjutnya, kelompok inkar Sunnah sedikit demi sedikit
terus berkurang jumlahnya, bahkan bisa dibilang sudah punah. Tidak ada lagi
kabar eksistensi mereka paska abad kedua Hijriyah. Mereka tidak disinggung
dalam kitab-kitab tarikh maupun literatur tentang agama-agama dan berbagai
aliran di dunia. Hingga akhirnya pada sekitar abad delapan belas, masa
penjajahan Barat atas negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, benih-benih
inkar Sunnah ini mulai tampak muncul kembali. Ketika itu, Inggris
menduduki sebagian negara-negara Islam atau mayoritas muslim yang sudah mapan
beberapa abad sebelumnya. India yang waktu itu belum berpisah dengan Pakistan
dan Bangladesh, adalah salah satu tarjet proyek penghancuran Islam oleh
Inggris. Inggris sadar bahwa untuk menghancurkan Islam bukanlah perkara
mudah selama umatnya masih mempunyai akidah yang lurus dan jiwa yang bersih. Oleh
karena itu, mereka sengaja mencari orang-orang Islam yang gila harta dan budak
hawa nafsu untuk menembus dinding akidah umat Islam. Orang-orang seperti ini
sengaja dimunculkan oleh musuh-musuh Islam dengan dukungan penuh material
spiritual. Mereka pun merusak akidah umat dan memecah-belah kesatuannya. Paham
inkar Sunnah dimunculkan dan dimanfaatkan oleh musuh Islam untuk menghabisi
Islam dengan cara menghancurkan sendi-sendi utamanya. Bagaimana tidak, karena
yang digerogoti dan dinafikan adalah Sunnah Nabi-Nya! Orang-orang inkar Sunnah
ini ada yang menamakan kelompoknya sebagai “Qur’aniyyun” (pengikut AlQur’an),
ada yang menamakan “Jama’atul Qur’an,” dan ada juga yang melabelkan diri
sebagai “Ahlul Qun’an!”
Kelompok ingkar sunnah ini tersebar dibeberapa belahan
dunia, antara lain ada di : India, Mesir, Libia, Siria, Kuwait, Yordania, Iran,
Amerika dan Malaysia. Sedangkan ingkar sunnah di Indonesia juga ada, beserta
tokoh penyebarnya.
Adapun beberapa tokoh ingkar sunnah Indonesia adalah
sebagai beriut ;
1. H. Abdurrahman Pedurenan : Ajarannya shalat
tidak pakai adzan dan iqomah karena di dalam Al Quran tidak ada. Sedangkan
seluruh shalat dikerjakan 2 rakaat semuanya
2. Ustadz H. Sanwanir : Ajarannya boleh tidak
berpuasa pulan ramadlan kecuali kalau mereka langsung melihat bulan
3. Teguh Esha : Bahwa hadits dalam shahih Al
Bukhori dan Muslim adalah dusta-dusta yang menyesatkan manusia. Dan Teguh Esha
juga membuat tata cara shalat sendiri yang tidak ada landasannya dari Sunnah
Nabi.
4. Isa Bugis : Menolak semua mukjizat para nabi
dan rasul. Dia mengatakan bahwa mukjizat Nabi Musa as membelah lautan dengan
tongkatnya adalah dongeng lampau Aladin. Ka’bah adalah kubus berhala yang
dikunjungi turis setiap tahun.
5. dll.
B. Alasan Mereka Menolak Sunnah
Mereka orang (inkar sunnah) hanya mau beriman kepada Al-Qur’an dan menerima Al-Qur’an saja sebagai satu-satunya kitab sumber syariat, mereka pun juga mempunyai sejumlah alasan kenapa menolak Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Meskipun menurut pengakuan mereka, sebetulnya yang mereka tolak bukanlah Sunnah Rasul, karena Sunnah Rasul adalah Al-Qur’an itu sendiri. Akan tetapi, yang mereka tolak sejatinya adalah hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Nabi. Sebab, hadits-hadits tersebut menurut mereka merupakan perkataan-perkataan yang dikarang oleh orang-orang setelah Nabi. Dengan kata lain, hadits-hadits itu adalah buatan manusia ! Setidaknya, ada sembilan alasan kenapa mereka menolak hadits Nabi, yaitu:
Pertama; Yang Dijamin Allah Hanya Al-Qur’an, Bukan Sunnah.
Sekiranya Allah menghendaki akan menjaga agama
Islam ini dengan A1-Qur’an dan Sunnah, niscaya Dia akan memberikan jaminan
tersebut dalam Kitab-Nya. Akan tetapi, karena Allah menghendaki bahwa hanya
Al-Qur’anlah yang Dia jamin, maka Allah sama sekali tidak memberikan jaminan
kepada selain Al-Qur'an. Allah tidak memberikan jaminan-Nya kepada Sunnah.
Allah telah mencukupkan agama ini dengan Al-Qur'an saja tanpa yang lain. Allah
Jalla wa 'Ala berfirman,
"Sesungguhnya
Kamilah yang telah menurunkan adz-dzikr (Al-Qufan), dan Kami benar-benar akan
menjaganya." (Al-Hijr: 9)
Dalam ayat ini, yang dijamin akan dijaga oleh
Allah adalah Al-Qur'an.
Kedua; Nabi Sendiri Melarang Penulisan Hadits
Sama seperti Syiah yang tidak konsisten dengan
sikapnya terhadap Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu Anhu. Betapa bencinya mereka
(orang-orang Syiah) kepada Umar yang dianggap sebagai perampas hak kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah, Mereka juga mengatakan, bahwa Umar-lah
yang mengharamkan nikah mut'ah, bukan Nabi.
Begitu pula dengan kelompok inkar Sunnah. Di satu sisi mereka menolak hadits Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tetapi di sisi lain, manakala ada hadits
yang sesuai dengan nafsu syahwat mereka, maka mereka pun mendukungnya. Bahkan,
tanpa malu-malu mereka menjadikannya senjata untuk membenarkan sikap mereka
dalam menyerang Sunnah Nabi. Mereka selalu mendengung-dengungkan dan berpegang
pada hadits Nabi yang mengatakan, "Janganlah
kalian menulis sesuatu pun danku selain Al-Qur^an. Barangsiapa yang menulis
sesuatu dariku selain Al-Quf an, maka hendaklah dia menghapusnya. "(HR.
Ahmad, Muslim, dan Ad-Darimi dari Abu Said Al-Khudri)
Yang dimaksud "tentang aku" atau
"dariku" dalam hadits ini adalah segala yang berasal dari Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallarn, baik itu berupa perkataan (sunnah qauliyah),
perbuatan (sunnah fi'liyah), maupun persetujuan (sunnah taqririyah).
Dan hadits lain yang diriwayatkan Imam Al-Khathib
Al-Baghdadi (w. 463 H) dari Abu Hurairah, yang menyebutkan bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallani pernah menemui sebagian sahabat yang ketika itu
sedang menulis hadits. Beliau berkata, "Kalian sedang menulis apa?"
Mereka menjawab, "Hadits-hadits yang kami dengar dari Anda." Beliau
bersabda, "Apakah kalian berani menulis kitab selain Kitab Allah?
Sesungguhnya umat-umat sebelum kalian itu menjadi sesat dikarenakan mereka
menulis kitab bersama-sama Kitab Allah Ta'ala.
Dua hadits ini dan hadits-hadits lain yang senada,
mereka jadikan alasan untuk menolak Sunnah. Sebab, Nabi sendiri telah melarang
penulisan hadits. Lalu, bagaimana mungkin umatnya mengaku memiliki
hadits-hadits yang bersumber dari Nabi? Jadi, sesungguhnya yang namanya hadits
Nabi itu tidak ada, karena Nabi sendirilah yang melarang menulis hadits. Dan,
memang tidak mungkin bagi Nabi untuk mengatakan perkataan-perkataan selain
Al-Qur'an!
Ketiga; Hadits Baru Dibukukan Pada Abad Kedua Hijriyah
Orang-orang inkar Sunnah sama saja dengan para
orientalis dalam hal ini. Mereka mengatakan bahwa hadits-hadits Rasulullah saw
yang terdapat dalam kitab-kitab Sunnah banyak bohongnya dan mengada-ada karena
baru dibukukan ratusan tahun setelah Nabi wafat. Kata mereka, isi kitab-kitab
yang diklaim sebagai berasal dari Nabi itu tak lain merupakan hasil dari
gejolak politik, sosial, dan keagamaan yang dialami kaum muslimin pada abad
pertama dan kedua. Jadi, bagaimana mungkin kitab yang dibukukan sekitar dua
abad setelah wafatnya Nabi diyakini sebagai Sunnah Nabi?
Ignaz Goldziher (1850 - 1921 M), salah seorang
tokoh orientalis Yahudi dari Hongaria mengatakan, "Sebagian besar hadits
adalah hasil perkembangan keagamaan, politik, dan sosial umat Islam pada abad
pertama dan kedua. Tidak benar jika dikatakan babwa hadits itu merupakan
dokumen umat Islam sejak masa pertumbuhannya. Sebab, itu semua merupakan buah
dari usaha umat Islam pada masa kematangannya.
Kata orang inkar Sunnah, apabila memang benar
bahwa hadits-hadits itu bersumber dari Nabi, semestinya sudah dibukukan sejak
masa Nabi hidup. Bukan dua abad setelah beliau wafat.
Keempat; Banyak Pertentangan Antara Satu Hadits dengan Hadits yang Lain
Di antara alasan yang membuat mereka menolak
hadits adalah terdapat banyaknya hadits-hadits yang bertentangan satu sama
lain. Kata mereka, sekiranya itu adalah benar berasal dari satu sumber, yakni
dari Nabi, niscaya tidak akan ada di dalamnya hadits yang bertentangan. Lalu
mereka pun menyebutkan sejumlah contoh hadits dalam suatu masalah yang saling
bertentangan. Dan, di antara hadits yang sering mereka permasalahkan, misalnya
adalah hadits tentang bacaan tasyahhud, dimana banyak sejumlah riwayat tentang
bacaan dalam tasyahhud ini. Kemudian, dikarenakan hal ini, mereka (inkar
Sunnah) pun mengganti bacaan tasyahhud dengan ayat kursi
Kelima; Hadits Adalah Buatan Manusia
Orang inkar Sunnah selalu mendengung-dengungkan
bahwa yang diturunkan Allah Ta'ala hanyalah Al-Qur'an, dan bahwa selain
Al-Qur'an adalah bukan dari Allah. Mereka hendak mengatakan, bahwa
hadits-hadits Nabi atau Sunnah adalah buatan manusia, yang tidak mesti diikuti
kecuali jika cocok dengan akal. Demikianlah salah satu cara mereka untuk
menjauhkan kaum muslimin dari Sunnah Nabinya.
Salah seorang tokoh mereka, DR. Muhammad
Khalafallah berkata, "Selain Al-Qur’an adalah pemikiran manusia, dimana
kita berinteraksi dengannya sesuai dengan akal kita.
Perkataan semacam ini kurang lebih sama dengan apa
yang dikatakan Goldziher, "Ribuan hadits adalah buatan para ulama yang
ingin membuat agama ini menjadi sempurna. Para ulama itu membuat-buat hadits
sendiri karena dalam Al-Qur’an hanya sedikit hukum yang diberikan.
Setelah memaparkan sejumlah pendapat dari DR.
Ishmat Saifud-daulah (seorang tokoh inkar Sunnah) yang menyerang Sunnah dan
mendiskreditkan para ulama, DR. Salim Ali Al-Bahnasawi menyimpulkan bahwa DR.
Ishmat menganggap semua yang dianggap sebagai sumber syariat Islam yang berasal
dari manusia adalah dibuat-buat (maudhu'), berbagai kaedah yang ditetapkan
manusia adalah dibuat-buat, istimbat adalah dibuat-buat, qiyas dibuat-buat,
istihsan dibuat-buat, istishab dibuat-buat, ijma' dibuat-buat... dst.
Keenam; Hadits Bertentangan dengan AI-Qurxan
Orang inkar Sunnah dengan segala kebodohan dan
kesesatannya mengatakan bahwa banyak hadits yang bertentangan dengan Al-Qur'an.
Mereka benar-benar menutup mata (atau memang Allah telah membutakan mata
mereka?) bahwa fakta yang sesungguhnya bukanlah pertentangan antara hadits
dengan Al-Qur'an, melainkan Sunnah datang untuk menjelaskan sebagian isi
Al-Qur'an yang masih samar, dan memerinci sebagian hukum dalam Al-Qur'an yang
disebutkan secara global. Bahkan, ada pula Sunnah yang menasakh menghapus) ayat
Al-Qur'an. mi
Mereka pun menyodorkan sejumlah hadits yang mereka
anggap bertentangan dengan Al-Qur'an. Misalnya,
1 . Hadits tentang shalat lima waktu. Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda :
"Lima kali shalat dalam sehari semalam.
"(Muttafaq Alaihdari Thalhah binUbaidillah)
Menurut mereka, hadits ini dan hadits-hadits lain
tentang kewajib-an shalat lima waktu bertentangan dengan firman Allah Ta'ala,
"Dirikanlah shalat ketika matahari tergelincir
hinggagelap malam dan (dirikan pula shalat fajar. Sesungguhnya shalat fajar itu
disaksikan (oleh malaikat)." (Al-Israa 78)
Dalam ayat ini sama sekali tidak disebutkan shalat
lima waktu. Allah hanya menyebutkan tiga waktu shalat dalam Al-Qur'an. Jadi,
menurut mereka, hadits tentang shalat lima waktu bertabrakan dengan Al-Qur'an!
2. Hadits Nabi tentang kadar zakat mal 2,5 %. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda,
"Sesungguhnya
aku telah memaafkan kalian dari zakat kuda dan budak. Tetapi, berikanlah dua
setengah persen, dari setiap empat puluh dirham; satu dirham. " (HR. Ibnu
Majah dari Ali bin Abi Thalib)
Hadits ini bertentangan dengan ayat,
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka. "
(At-Taubah: 103)
Dalam ayat ini, dan dalam banyak ayat tentang
perintah zakat dalam Al-Qur'an, Allah sama sekali tidak menentukan bahwa kadar
zakat adalah dua setengah persen. Jadi, hadits tentang zakat ini bertentangan
dengan Al-Qur'an!
3. Hadits tentang haramnya menikahi suami ibu
susuan dan anak-anak dari saudara sesusuan. Dalam hal ini Nabi bersabda,
"Diharamkan karena sesusuan sama sepertiyang
diharamkan karena nasab."(RR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas)
Hadits ini bertentangan dengan firman Allah berikut,
"Dan
ibu-ibuyang menyusui kalian dan saudara-saudaraperempuan kalian yang
sesusuan." (An-Nisaa": 23)
Dalam ayat ini, yang diharamkan hanyalah ibu yang
menyusui dan saudara-saudara perempuan yang sesusuan. Tetapi, dalam hadits di
atas, maka suami si ibu yang menyusui pun menjadi tidak boleh menikahi anak
perempuan yang disusui oleh istrinya. Begitu pula dengan anak-anak dari
saudara-saudara sesusuan, itu pun juga tidak boleh dinikahi. Dengan demikian,
hadits ini bertabrakan dengan Al-Qur'an!
4. Hadits tentang hukuman rajam bagi orang berzina
yang telah menikah. Ini adalah hadits mutawatir.
Rasulullah saw bersabda,
"Demiyangjiwaku berada
di Tangan-Nya, sungguh akan akuputuskan urusan kalian berdua berdasarkan Kitab
Allah. Budak perempuan dan kambing harus kamu kembalikan. Anakmu harus dicambuk
seratus kali dan diasingkan selama setahun. Pergilah, hai Unais, temui istri
orang ini. Jika dia mengaku, maka rajamlah dia." Maka, Unais pun pergi
menemui perempuan tersebut, dan dia mengaku. Lalu, Nabi memerintahkan agar
perempuan itu dirajam, dan dirajamlah dia. (Muttafaq Alaih dari Abu Hurairah
dan Zaid bin Khalid Al-Juhani)
Hadits ini bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
dalam surat
An-Nur tentang ketentuan hukuman bagi pezina,
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
cambuklah masing-masing seratus kali cambukan. Dan janganlah rasa kasihan
kepada keduanya mencegahmu untuk menegakkan agama Allah. " (An-Nur: 2)
Dalam ayat ini, jelas-jelas disebutkan bahwa hukuman bagi orang yang
berzina adalah seratus kali cambukan. Sama sekali tidak ada kata-kata yang
menyebutkan bahwa orang berzina yang telah menikah hukumannya adalah rajam.
Jadi, hadits di atas bertentangan Al-Qur'an!
Ketujuh; Hadits Merupakan Saduran dari Umat Lain
Yang mengherankan, orang-orang inkar Sunnah ini pandai sekali dalam
masalah ajaran-ajaran umat sebelum kita yang termaktub dalam Bibel.1321 Mereka
lebih menguasai Bibel daripada Sunnah! Dalam hal ini, mereka punya satu tujuan
busuk yang nyata; membuktikan bahwa Sunnah Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab
hadits adalah saduran dari umat lain. Atau katakanlah, saduran dari Bibel (Al
Kitab).
Sejumlah contoh kasus yang sering mereka kemukakan, di antaranya
yaitu:
1. Kerudung Penutup Kepala
Mereka mengatakan, bahwa kerudung kepala bagi perempuan bukanlah
ajaran Nabi karena tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Yang terdapat dalam
Al-Qur'an adalah perintah untuk menutup dada, bukan menutup kepala. Sebab,
kepercayaan menutup kepala ini adalah saduran dari kitab Bibel yang diambil oleh
para ulama Islam masa lalu dan dikatakan sebagai hadits Nabi.
Ajaran memakai kerudung kepala ini terdapat dalam kitab Bibel, 1
Korintus, Bab 11:
[1 Kor 11:5] "Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau
bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama
dengan perempuan yang dicukur rambutnya."
[1 Kor 11:6] "Sebab jika perempuan tidak mau menudungi
kepalanya, maka haruslah iajuga menggunting rambutnya. Tetapi bagi perempuan
adalah penghinaan, bahawa rambutnya digunting atau dicukur, rnaka haruslah ia
menudungi kepalanya.
[1 Kor 11:10] "Sebab itu, perempuan harus memakai tanda dibawa
di kepalanya oleh karena para malaikat.
[1 Kor 11:13] "Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa
kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?"
Jadi, perintah untuk perempuan supaya mereka menutupi Kepalanya
adalah dari Bibel. Kepercayaan ini telah meresap ke dalam kepercayaan Islam dan
sekarang menjadi perkara yang wajib diamalkan. Dan malangnya, orang-orang
Kristen sendiri tidak mengikuti ajaran Bibel, kaum perempuannya tidak menutup
kepala. Justru orang Islamlah yang mengamalkan ajaran Bibel tersebut!
2. Khitan
Menurut orang-orang inkar Sunnah yang mengaku sebagai ahlul Qur'an
atau Qur'aniyyun, ajaran khitan adalah saduran dari kepercayaan umat lain. Sebab, dalam Al-Qur'an sama sekali tidak
ada perintah Allah untuk berkhitan. Akan tetapi, justru ajaran khitan ini
terdapat dalam Bibel. Perjanjian Penyunatan di dalam Bibel menyatakan:
[Kej 17:14] "Dan orang yang tidak disunat,
yakni laki-laki yang tidak dikerat kulit khatannya, maka orang itu harus
dilenyapkan dari antara orang-orangsebangsanya: ia telah
mengingkariperjanjian-Ku."
[Kej 17:24] "Abraham berumur sembilan puluh
sembilan tahun ketika dikerat kulit khatannya."
Menurut orang inkar Sunnah, dari Perjanjian
Penyunatan inilah para ulama kaum muslimin saat itu mengadopsi kepercayaan
khitan ini dan memasukkannya ke dalam ajaran Islam, untuk kemudian
mengatakannya sebagai hadits Nabi. Padahal, Nabi sama sekali tidak mengajarkan
masalah khitan dan tidak memerintahkannya. Sebab, dalam Al-Qur'an tidak ada
ayat tentang khitan.
3. Memelihara Jenggot
Orang-orang inkar Sunnah mengatakan, bahwa
memelihara jenggot bagi laki-laki bukanlah ajaran agama Islam. Dalam Al-Qur'an
tidak pernah disinggung masalah ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala sama sekali
tidak pernah menyuruh kaum-kaum laki umat Islam untuk memelihara atau
memanjangkan jenggot. Ini bukanlah ajaran Al-Qur'an dan bukan pula ajaran Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dalam kitab Bibel disebutkan dengan
jelas:
[Imamat 1:27] "Janganlah karnu mencukur tepi
rambut kepalamu berkeliling dan janganlah engkau merusakkan tepi
janggutmu."
[Imamat 21:5] "Janganlah mereka menggundul
sebagian kepalanya, dan janganlah mereka mencukur tepi janggutnya, dan
janganlah mereka menggoresi kulit tubuhnya."
[2 Samuel 10:5] "Hal ini diberitahukan kepada
Daud, lalu disuruhnya orang menemui mereka, sebab orang-orang itu sangat
dipermalukan. Raja berkata; Tinggallah di Yerikho sampai janggutmu itu tumbuh,
kemudian datanglah kembali."
4. Kata "Amin"
Orang-orang inkar Sunnah mengatakan bahwa kata
"amin" yang selalu kita baca ketika shalat dan berdoa adalah saduran
dari Bibel. Dalam Al-Qur'an sama sekali tidak ada kata "amin,"
termasuk dalam surat Al-Fatihah, tidak ada kata amin di sana. Dan, Allah tidak
pernah memerintahkan umat Islam untuk membacanya. Namun, justru kata
"amin" ini bisa kita dapatkan dalam Bibel. Tak kurang dari 50 kali
kata "amin" ini diulang dalam Bibel, yaitu di:
Num 5:22.27 Num 5:22.28 Deut 27:15.40 Deut
27:16.17 Deut 27:17.15 Deut 27:18.18 Deut 27:19.23 Deut 27:20.25 Deut 27:21.17
Deut 27:22.27 Deut 27:23.17 Deut 27:24.16 Deut 27:25.19 Deut 27:26.22 IKgs
1:36.10 IChr 16:36.18 Neh 5:13.42 Neh 8:6.14 Neh 8:6.15 Pss 41:13.13 Pss
41:13.15 Pss 72:19.15 Pss 72:19.17 Pss 89:52.7 Pss 89:52.9 Pss 106:48.19 Jer
28:6.6 Mark 16:20.24 Rom 1:25.26 Rom 9:5.26 Rom 11:36.19 Rom 15:33.9 Rom
16:27.13 ICor 14:16.20 ICor 16:24.10 2Cor 1:20.18 Gal 1:5.10 Gal 6:18.13 Eph
3:21.19 Phil 4:20.12 ITim 1:17.19
Kedelapan; Hadits Membuat Umat Islam Terpecah-belah
Di antara alasan yang sering dilontarkan kenapa
mereka menolak Sunnah Nabi adalah karena hadits dianggap membuat umat Islam
berpecah belah. Banyaknya hadits yang berbeda satu sama lain, membuat kaum
muslimin pecah menjadi sejumlah golongan. Ada Ahlu Sunnah wal Jama'ah, Syiah,
Khawarij, Muktazilah, Murji'ah, Qadariyah, Jabariyah, dan lain-lain. Belum lagi
pecahnya Ahlu Sunnah dengan adanya berbagai madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i,
Hambali, dan Zhahiriyah. Itu pun belum termasuk aliran
tasawuf dengan berbagai tarekatnya.
Tuduhan orang inkar Sunnah dalam masalah inilah yang rnembuat mereka
selalu mendengung-dengungkan istilah, "Satu Kitab, Satu Tuhan, dan Satu
Umat! Mereka mengatakan, bahwa dengan hanya berpegang teguh pada Al-Qur’an
sajalah umat Islam bisa bersatu dan tidak berpecah belah.
Kesembilan; Hadits Membuat
Umat Islam Mundur dan Terbelakang
Menurut orang-orang inkar Sunnah, sesungguhnya hadits-hadits tentang
mukjizat Nabi, takdir, adzab kubur, pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir,
kisah-kisah yang bagaikan dongeng, cerita-cerita tentang akhir zaman, syafaat
Nabi di akhirat, dan hal-hal ghaib lainnya, membuat kaum muslimin mundur dan
terbelakang sehingga tidak bisa maju berkembang bersaing dengan umat-umat lain.
Begitulah keyakinan orang-orang inkar sunnah, yang bisa dibaca dalam
bukunya Abduh Zulfidar Akaha halaman 69-105.
BAB VI
PENUTUP
Semoga
paparan diatas memberikan pemahaman kepada kita, sehingga kita bisa terhindar
dari mengikuti ajaran ingkar sunnah, Amin.
[1] Surat
Al Hasyr : 7. Artinya : apa-apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah .
[2] Surat
Al Ahzab : 21 Artinya : Telah ada pada
diri Rasulullah teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Allah
[3] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadits, Raja
Grafindo Jakarta
[4] Ibid
[5] Surat
An Najm : 3-4 : Dan tidaklah dia
berbicara dari hawa nafsu. Tidaklah dia kecuali sebuah wahyu yang diwahyukan
[6] Syaikh Manna’ Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits hal 22
[7] Ibid
[8] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits hal 6
[9] Abduh Zulfidar Akaha, Debat Terbuka
Ahlussunnah versus Inkar Sunnah hal 337
[10] Syaikh Manna’ Al Qaththan, Pengantar
Study Ilmu Hadits hal 32
[11] Prof. Dr. Muhammad Alwi Al Maliki, Ilmu
Ushul Hadis, hal 9
[12] Pustaka Maarif NU, Islam Ahlussunnah wal
Jamaah di Indonesia hal 61
[13] PW. LP. Maarif NU Jawa Timur, Pendidikan
Aswaja dan Ke-NU-an hal 39
[16] Abduh Zulfidar Akaha, Debat Terbuka
Ahlussunnah versus Inkar Sunnah hal 3
[17] Ibid hal 6