SANAD HADIS
A. KATA PENGANTAR
Hadis adalah segala sesuatu
yang disandarkan kepada Rasulullah saw. baik berupa
ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian
atau sesudahnya. [1]
Mempelajari Hadis dengan segala permasalahan yang
mengitarinya merupakan suatu usaha yang sangat mulia. Karena mempelajari dan
mengetahui hadis dengan segala permasalahannya akan mengantarkan kepada kita
suatu pemahaman bahwa hadis merupakan sumber ajaran islam yang kedua setelah Al
Quran. Sehingga kita terhindar dari golongan orang-orang yang meragukan hadis
dan bahkan mengingkarinya, sebagaimana golongan ingkar sunnah.
Dari berbagai permasalahan yang berkaitan dengan hadis
itu dibagi menjadi dua cabang besar yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis
Diroyah.[2]
Dari dua cabang besar ini masih dibagi lagi menjadi beberapa cabang-cabang ilmu
lagi, diantaranya ; Rijalul Hadis, Al Jarh wat Ta’dil, Tarikh Ar Ruwah, Illal
Hadis, Nasikh wal Mansukh, Asbabul wurud, Garibul Hadis, At Tashif wat Tahrif,
Mukhtaliful Hadis. [3] Selanjutnya
dari banyaknya cabang-cabang itu membahas tentang yang menjadi unsur-unsur
pokok hadis yaitu ; Sanad, Matan dan Rowi.[4]
Semua itu membutuhkan perhatian yang sangat serius dari
kita sebagai muslim, agar mau mempelajari, mengkaji selanjutnya mewariskan
kepada generasi-generasi selanjutnya. Agar generasi setelah kita nanti tetap
meyakini bahwa Hadis itu merupakan sumber ajaran agama Islam yang kedua.
Tulisan ini tidak membahas dari semua permasalahan yang
terkait dengan hadis sebagaimana tersebut diatas, melainkan hanya tentang
”Sanad” saja yang ingin saya paparkan dalam tulisan ini.
Semoga sedikit paparan ini bisa menggugah pikiran kita
untuk lebih memperdalam lagi ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan hadis.
B. PENGERTIAN SANAD
Sanad secara etimologi diartikan sebagai ” L<vã oi SZ%<ã äi ”(Ma irtafa’a
minal ardli) artinya bagian yang menonjol dari bumi.[5]
Sedang secara terminologi, Sanad adalah ” o&jîeã _}=Ê ” (Thoriqul Matni) artinya rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari
sumber primernya.[6]
Atau sanad juga berarti ; tempat bersandar sesuatu.[7]
Karena kita bersandar pada para periwayat untuk mengetahui pernyataan Nabi saw.
Sanad atau thariq juga ialah jalan yang dapat menghubungkan matnul hadis kepada
junjungan kita Nabi Muhammad saw.[8]
Untuk lebih jelasnya, kita
perhatikan sebuah contoh berikut [9]:
äîînî)91 ÀC~îîî^îeã éRæ < oæ =jRi oæ 9jI äînîî)91
qîsp 9î1ãqîeã 9çîîQ oQ éip?2îîîjîe ã häîFîîs qæ ü
oæã 9jI änî) 91k~îb1oæ läj*Q äînî)918ä}> oæã
läîîîîZîQ oîæ läjî*îQ oQ lã=îjîîQ oQ <9îîbînîjîeã
oi á kfîîîîîAp uîî~îfQ êã ûfI êã dqîîA< dä]á dä]
r9B- oi rä}äË5 #-=5 xqMqîeã oB1ýY ýMq%
kfBi rãp<
r<äZÎü #7 oi ,=8 .1
Artinya : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin
Ma’mur bin Rabi’i Al Qaisi, katanya telah menceritakan kepadaku Abu Hisyam Al
Mahzumi dari Abu Al Wahid, yaitu Ibnu Ziyad, katanya telah menceritakan
kepadaku Usman bin Hakim, katanya telah menceritakan kepadaku Muhammad bin al
Munkadir, dari Amran, dari Usman bin Affan ra. Ia berkata”Barang siapa yang
berwudlu dengan sempurna (sebaik-baik wudlu), keluarlah dosa-dosanya dari
seluruh badannya, bahkan dari bawah kukunya”.
Dari hadis di atas, Muhammad
bin Ma’mur bin Rabi’i Al Qaisi sampai
dengan Usman bin Affan ra. disebut
sanad dari hadis tersebut. Sedang mulai kata ” Man tawadldlo’a ” sampai dengan tahta adhfaarihi, disebut matan dari hadis teresebut. Sedangkan Imam Muslim yang ditulis di akhir hadis
tersebut dinamakan perawi atau mudawwin.
[1] Syaikh Manna’ Al Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, Pustaka Al Kautsar, 2006 hal. 22
[2] Ustadz DR. Ahmad Umar Hasyim, Qowa’idul
usulil hadis, ‘Alamul Kutub, Bairut 1997 hal 7
[3] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia 1999, hal 49
[4] Ibid hal 61
[5] DR. M. ‘Ajaj Al Khathib, Ushulu Al
Hadits, Gema Media Pratama, 1998 hal 12
[6] Ibid
[7] M. M. Azami, MA, Ph.D. Ilmu Hadis,
Penerbit Lentera, 2003, hal 70
[8] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, PT Almaarif Bandung 1987 hal 24
[9] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka
Setia 1999, hal 63
C. SANAD PRA ISLAM DAN ZAMAN ISLAM
Meskipun
periwayatan bukan hal yang baru, dan telah dikenal sebelum Islam, tetapi
periwayatan sebelum Islam tidak menganggap penting terhadap kebenaran
ceritanya, penyelidikan keadaan para perawinya dan kebenaran cerita itu dengan
fakta yang sebenarnya, Mereka tidak memiliki sifat kritis, pembahas,
penilai, dan penyaring segala yang diriwayatkan seperti yang dimiliki oleh
Islam. Yang mereka riwyatkan itu tidak mengandung nilai-nilai suci yang harus
diagungkan. Oleh karena itu kita dapat menemukan banyak dongengan bohong yang
terdapat dalam kitab mereka, yang hanya untuk memuaskan perasaan sebagai
hiburan, atau untuk membangkitkan semangat perjuangan dan keberanian dalam
pertempuran. [1]
Adapun para perawi
Islam, mereka sangat menyadari bahwa semua hukum syara’, halal dan haram itu harus
berdasarkan kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi. Mereka mengetahui bahwa
mempermudah menambah sesuatu dalam agama, sama dengan menambah dan mengurangi
sesuatu dalam agama.
Al-Quran yang
diriwayatkan secara mutawatir telah dijamin kemurniannya, melahirkan keyakinan
dan kepastian. Karena di dalamnya sama sekali tidak ada yang meragukan. Sudah
seharusnya para perawi meneliti dengan sungguh-sungguh kebenaran hadis yang
disandarkan kepada Rasulullah saw. - Maka dari itu, para perawi memperketat dan
menetapkan syarat-syarat bagi periwayatan, dasar-dasar dan kaidahnya yang
menjadi ketentuan dalam ilmu naqid (kritik) baik di masa lalu maupun di masa
kini. Perhatian terhadap kebenaran riwayat, meneliti dan mengkritiknya, baik
sanad maupun matannya adalah ciri khas yang hanya terdapat dalam sistem periwayatan
dalam Islam. Ibnu Hazem di dalam
al-Milal Wan Nihal berkata: “Riwayat yang terpercaya dari orang yang terpercaya
sampai kepada Nabi Muhammad saw. dengan sanad yang bersambung, adalah anugerah
dari Allah yang dikhususkan bagi umat lslam, dan tidak diberikan kepada umat
lain.[2]
Dalam dunia Arab
pra Islam sanad belum mempunyai arti penting atau belum mendapat apresiasi yang
cukup, begitu juga dalam literatur-literaturnya.[3]
Adapun sanad memperoleh apresiasi atau arti penting di dunia Islam hususnya pada
ilmu atau literatur Hadis[4].
Karena sunah Nabi merupakan sumber hukum yang asasi, adalah wajar membahas
dokumen-dokumen ini dengan perhatian ekstra. Para ulama ahli hadis membuat
aturan-aturan atau kaidah-kaidah dan
syarat-syarat yang sangat ketat dan hati-hati dalam menilai sebuah hadis. Bersamaan
dengan pengenalan isnad, suatu disiplin ilmu yang unik, ’Ilm al Jarh wa at
Ta’dil pun muncul untuk menilai isnad dan Hadis. [5]
D. AWAL MULA SANAD DAN KEDUDUKAN
SANAD
Merupakan kebiasaan di
kalangan sahabat pada saat Nabi masih hidup untuk menyampaikan hadis ketika
mereka saling bertemu. Sebagaian
dari mereka juga membuat kesepakatan di antara mereka untuk menghadiri majelis
Nabi saw secara bergantian dan saling memberikan informasi tentang apa yang
dilihat dan didengar dari Nabi saw apabila mereka tidak bisa menghadiri majelis
Nabi karena suatu hal. Dengan demikian biasa terjadi, dalam menghabarkan kepada
sesama teman mereka menggunakan kalimat-kalimat seperti ” Nabi saw berbuat
begini dan begitu” atau ”Nabi saw berkata ini dan itu”. Dan juga bisa terjadi,
bahwa salah seorang yang memperoleh pengetahuan lewat tangan kedua, ketika
mengabarkan peristiwa itu kepada orang ketiga, mengungkapkan sumber infomasinya
dan menceritakan lengkap peristiwa itu. Dari gambaran rangkaian sahabat yang
saling sampai-menyampaikan hadis Nabi yang dilakukan oleh sahabat Nabi kepada
beberapa sahabat yang lain itulah asal mula isnad dalam bentuknya yang
sederhana. Namun setelah terjadi perang saudara, fitnah, bergolak, mereka pun
mengatakan, ” Sebutkan pada kami nama orang-orangmu”, mereka yang dari golongan
Ahlussunnah hadisnya diterima, sedang mereka yang dari golongan pembuat bid’ah,
hadisnya ditolak[6]
Kedudukan sanad dalam hadis
adalah sangat penting, karena dengan mengetahui sanad sebuah hadis, akan
diketahui kualitas dari sebuah hadis dan juga dengan usaha mengisnadkan sebuah
hadis, akan tercapailah maksud untuk membersihkan hadis dari noda-noda yang
dapat merusakkan ke shahihan hadis.[7]
Dan juga untuk membedakan shahih dan dloifnya suatu hadis.[8] Di antara salah satu sebab suatu hadis dapat
menjadi maqbul bila sanadnya saling bertemu dan berakhir sampai kepada Nabi,
dan di antara salah satu sebab mardudnya suatu hadis, karena sanadnya tidak
sampai bertemu dengan Nabi Muhammd saw. [9]
Sudah menjadi pemahaman umum
dari sistim isnad bahwa semakin bertambahnya kaum muslimin maka semakin
banyak jumlah periwayatnya. Kadang suatu
hadis yang diriwayatkan seorang sahabat memperoleh sepuluh murid dalam generasi
berikut, yakni tabiin, dan sepuluh murid ini mempunyai lagi, dalam beberapa
kasus, dua puluh atau tiga puluh murid dari berbagai negeri dan propinsi. [10]
Sebagai contoh untuk
memperlihatkan bagaimana isnad mengembang. Contoh Pertama : Abu Hurairah melaporkan bahwa Rasulullah saw
mengatakan, “Bila salah seorang di antara kalian bangun dari tidur, ia tak
boleh meletakkan tangannya di perabot rumah sampai ia mencucinya tiga kali,
karena ia tidak tahu di mana tangannya berada saat Ia tidur.[11]
Paling sedikit, tiga belas
murid Abu Hurairah meriwayatkan hadis ini dari dia: 8 dari 13 orang Madinah
1 dari Kufah
2 dari Basrah
1 dari Yaman
1 dari Siria
Ada enam belas ulama yang meriwayatkan hadis ini dari
mutid-murid Abu Hurairah :
6 dari 16 orang Madinah
4 dari Basrah
2 dari Kufah
1 dari Mekah
1 dari Yaman
1 dari Khurasan
1 dari Hims (Siria)
Contoh Kedua: Abu
Hurairah melaporkan bahwa Nabi saw bersabda, “Imam itu untuk diikuti. Maka
bacalah takbir ketika ia membacanya, dan rukuklah bila ia rukuk. Ketika ia
mengucapkan sami’ Allah liman hamidah’ (Allah mendengar orang yang
memuji-Nya), ucapkanlah Allahumma
rabbana laka al-hamd’ (Ya Allah, Tuhan kami, bagi-Mu segala puji).
Ketika ia sujud, Anda pun mesti sujud. Anda tidak boleh sujud sebelum ia sujud.
Ketika ia mengangkat kepalanya, kepala Anda pun harus diangkat. Anda tak boleh
mengangkat kepala sebelum ia mengangkatnya. Bila ia salat duduk, Anda semua
juga harus salat duduk.”
Hadis ini dilaporkan oleh 26
orang pemegang otoritas generasi ketiga, semuanya bersumber dan sahabat Nabi
saw. Hadis ini ditemukan nyaris sama bentuknya atau maknanya dalam semua versi
yang ada di sepuluh tempat berbeda (Madinah, Mekah, Mesir, Basrah, Hims, Yaman,
Kufah, Siria, Wasith, dan Tha’if). Tiga dan 26 orang tersebut mendengarnya lebih
dari satu sumber.
Dokumen yang ada
memperlihatkan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh paling sedikit sepuluh
sahabat. Kita mempunyai keterangan rinci mengenai jalannya periwayatan untuk
tujuh dan sepuluh sahabat ini, yang memperlihatkan bahwa mereka berasal dari
tiga tempat berbeda; Madinah, Siria dan Irak.
Jalannya periwayatan dari satu
sahabat saja Abu Hurairah dengan jelas mempenlihatkan bagaimana jumlah periwayat
bertambah dari generasi ke generasi, dan bagaimana hadis menjadi terkenal di berbagai
lokasi secara luas. Paling tidak, Abu Hurairah mempunyai tujuh murid yang
meriwayatkan hadis dari dia: empat dari Madinah, dua dari Mesir dan satu dari
Yaman. Tujuh murid ini selanjutnya, meriwayatkan kepada sedikitnya dua belas
orang : lima dari Madinah, dua dari Mekah, dan masing-masing satu dari Siria,
Kufah, Tha’if, Mesir, dan Yaman.
Pola periwayatan serupa dan
sahabat lain menunjukkan bagaimana hadis menyebar lebih luas ke Basrah, Hims,
dan Wasith dan memperkuat hadis di Madinah, Mekah, Kufah, Mesir, dan Siria.
Contoh ketiga: Abu
Hurairah melaporkan, Nabi saw bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Setiap
amal anak cucu Adam adalah untuk dia, perbuatan baik akan dibalas sepuluh kali,
kecuali puasa, yang (secara khusus) dimaksudkan untuk Aku, dan Aku (sendiri)
yang akan membalasnya. Orang meninggalkan makannya demi Aku, meninggalkan minumnya
demi flu, dan meninggalkan kesenangannya demi Aku. Barang siapa di antara
kalian berpuasa, ia tidak boleh mengadakan hubungan seks atau berbicara kotor.
Jika ada yang mencercanya, dia harus bilang, “Saya sedang puasa.” Orang yang
berpuasa mempunyai dua kegembiraan: ketika berbuka dan ketika menemui Tuhannya.
Dan napas (orang yang berpuasa) lebih harum bagi Allah ketimbang aroma
kestuni.”
Hadis panjang ini, secara
sepotong-sepotong, diriwayatkan oleh banyak ulama. Ibn Hanbal meniwayatkan
sedikitnya 24 kali. Hadis ini termasuk
dalam koleksi A’masy (wafat 148 H), Ibn Juraij (wafat 150 H), dan Ibrahim b.
Thamrin (wafat 168 H) para periwayat dan murid-murid Abu Hurairah. Hadis ini juga terdapat dalam sumber-sumber Syiah, Zaidi, dan Ibadi.
Bila
kita membatasi pembicaraan hanya pada periwayat generasi ketiga dari
Abu Hurairah, yang kebanyakannya
hidup pada paruh pertama abad kedua Hijriah, muncul ciri berikut: Ada 22 periwayat generasi ketiga, sembilan dari madinah, lima dan Basrah, empat dan Kufah, dan masing-masing satu dari Mekah,
Wasith, Hijaz, dan Khurasan. Mereka yang beimukim di Madinah, Basrah, dan Kufah. Makin panjang rantai periwayatan, makin bertambah
jumlah periwayat, dan makin meluas
pula tempat, sampai ke berbagai
propinsi. Pertumbuhan isnad dan penyebaran hadis dengan cara ini memudahkan pengecekan kesalahan ulama atau setiap pemalsuan yang disengaja. Ini membuktikan eksistensi sistem isnad
di masa awal dan memperlihatkan betapa mustahil memalsukan isnad.
Dalam skala besar ini.
Butir
menarik kedua adalah bahwa tak semua orang Madinah, Basrah atau
Kufah berguru pada satu orang. Tiga dari lima orang Basrah berguru pada
satu orang Basrah, tapi dua lainnya pada dua orang Madinah.
Contoh
ini memperlihatkan betapa rapinya isnad kebanyakan hadis disimpan, bagaimana sistem itu digunakan dalam
menguji pernyataan ulama, dan bagaimana ia telah dan dapat digunakan untuk menghilangkan kesalahan. Tak pelak lagi, tak semua hadis menyebar secara luas. Ada hadis
yang diriwayatkan menurut berbagai sumber kami yang ada dari satu ke satu ulama selama tiga atau empat generasi. Hadis
berikut adalah contohnya:
“Abu Hurairah
melaporkan, Nabi saw bersabda,
“Tiap kali salat jumat, salatlah empat rakaat setelah itu”
Sekarang
kita hampir mempunyai gambaran lengkap tentang penyebaran isnad. Contoh diatas mendukung keterpercayaan
sistem isnad, dan bahwa sistem ini telah dimulai selagi Rasul masih hidup. Mustahil memalsukan
skala besar ini di zaman ketika fasilitas
komunikasi masih kurang.
E. ISNAD DAN DAMPAKNYA PADA KIASIFIKASI HADIS
Ciri umum banyak hadis di awal
abad kedua Hijriah adalah
besarnya jumlah periwayat yang berasal dari berbagai propensi
dan negara. Namun, tak semua hadis mempunyai satu pola dalam pengembangan isnad-nya. Telah kita
lihat bahwa sebagian hadis diriwayatkan oleh banyak sahabat dan, lebih banyak lagi, tabiin, sementara sebagian lain disampaikan
oleh satu sahabat saja, lalu darinya
disampaikan oleh satu murid juga.
Itulah sebabnya hadis diklasifikasikan
menurut jumlah periwayat. Dalam hal ini, istilah-istilah berikut perlu
mendapat perhatian: (a)
mutawatir ; (b) ahad. [12]
A. Mutawatir: Laporan sejumlah
besar periwayat yang mustahil sepakat berdusta. Kondisi ini harus ada dalam seluruh mata rantai dari awal hingga akhir laporan.
Dalam pandangan ulama, tiap hadis yang diriwayatkan secara
tawatur, dan para periwayat mendasarkan riwayat mereka
secara langsung, tidak samar, akan menghasilkan pengetahuan pasti.
Namun,
ada perbedaan pandangan tentang jumlah pelapor yang dibutuhkan bagi hadis mutawatir,
mulai dari empat sampai ratusan. Menurut saya, bila suatu hadis diriwayatkan oleh segelintir sahabat, katakanlah empat, dan masing-masing mempunyai sejumlah
murid yang tersebar diseluruh dunia
Islam, dan dalam perjalanan periwayatan jumlah dan tempat mereka makin bertambah, maka bahkan jumlah yang sedikit ini akan menghasilkan pengetahuan pasti, khususnya bagi mereka yang mengetahui karakter
ulama awal.
Mutawatir
dibagi menjadi dua macam:
1.
Mutawatir redaksional (mutawatir
tafdzi)
2.
Mutawatir dalam makna (mutawatir ma ‘nawi)
B. Ahad: jumlah periwayatannya jauh di bawah mutawatir. Ini dibagi
lagi ke dalam banyak subbagian. Sebagiannya
sebagai berikut :
Masyhur: Diriwayatkan
oleh tiga periwayat atau lebih dalam tiap tahap.
Aziz: diriwayatkan
oleh sedikitnya dua periwayat dalam tiap generasi.
Gharib: Bila
hanya terdapat seorang periwayat, baik dalam sepanjang isnadnya (sesudah
sahabat) ataupun dalam suatu tahap.
Faridh: Dibagi
lagi menjadi dua bagian:
1. Faridh Muthkq: hadis khusus tersebut hanya dinwayatkan oleh
orang khusus juga
2. Faridh Nisbi: mempunyai beberapa arti:
a. Hanya diriwayatkan oleh
seorang periwayat terpercaya; yang lain meriwayatkan juga tapi mereka tak -
terpercaya.
b. Hanya diriwayatkan oleh ulama
dari satu wilayah.
Marfu’: isnad-nya berpangkal pada Rasul saw, karena
rangkaiannya putus disuatu tahap.
Musnad: isnad-nya tidak terputus, dan berpangkal pada Rasul
saw.
Muttashil: isnad-nya tidak terputus.
Muttashil: isnad-nya tidak terputus.
Mauquf: isnad-nya hanya berpangkal pada sahabat
Maqthu’:
isnad-nya hanya
berpangkal pada tabiin.
Mursal: diriwayatkan tabiin langsung dan Nabi saw,
dengan membuang sahabat dari isnad.
Mu‘allaq: satu atau lebih periwayat dari awal isnad (dan penulis kitab)
hilang
Munqathi’: satu mata rantai di tengah isnad hilang, di satu tempat atau
lebih (tapi tidak berurut—peny.)
Mu‘dhal: dua mata rantai yang berurutan hilang,
disatu tempat atau lebih.
Mu‘an‘an: dalam periwayatannya, istilah ‘an’ yang
tidak tegas dalam menggambarkan metode penerimaan hadis digunakan.
Musalsal: seluruh periwayatnya mempunyai situasi
yang sama. Misalnya, mereka semua memakai terminologi yang sama dalam
periwayatan, seperti sami ‘tu,
atau mereka semua berasal dari wilayah atau pekerjaan yang sama, atau
mereka semua meriwayatkannya dengan sikap yang sama, misalnya semua periwayat
senyum ketika menyampaikan sebuah hadis karena Nabi saw senyum saat
mengatakannya. [13]
F. UNSUR-UNSUR
DALAM SANAD
Dalam mempelajari sanad hadis
harus ada beberapa unsur yang harus diketahui, diantaranya ialah ;
a. Mata
rantai para perawi
b. Mengetahui
biografi perawi
c. Kuat
dan lemahnya hafalan perawi
d. Mengetahui apakah mata rantai
sanad antara seorang perawi dengan yang lain bersambung ataukah terputus
e. Mengetahui
waktu lahir dan wafat perawi
f. Mengetahui Al Jarhu wa At
Ta’dil (menyebutkan hal-hal yang menunjukkan kekurangan seorang perawi dan
hal-hal yang menunjukkan kelebihannya)
Setelah mempelajari semua
unsur yang tersebut di atas, kemudian kita dapat memberikan hukum kepada sanad
hadis. Seperti mengatakan,
Sanad ini shahih, Sanad ini lemah atau Sanad ini dusta.[14]
G. PEMBAGIAN SANAD
Sanad menurut DR. Ahmad Umar
Hasyim dibagi menjadi dua bagian ;
1.
Sanad ’Aliy : yaitu dekatnya rijalus sanad dengan
Nabi dikarenakan sedikitnya jumlah rijalussanadnya
2.
Sanad Nazil : yaitu selain dari sanad ’aly artinya
jauhnya rijalus sanad dengan nabi karena banyaknya rijalus sanad
Di dalam
sanad ’aliy, jumlah rijalus sanadnya sedikit sehingga dapat memperkecil
noda-noda yang terdapat pada sanad. Sebab setiap rijalus sanad itu, adalah manusia
biasa tidak terpelihara dari kekhilafan, baik sengaja ataupun tidak disengaja.
Dengan sedikitnya rijalus sanad, sedikit pula kemungkinan adanya cacat dan
noda. Sedangkan banyaknya rijalus sanad tidak menutup adanya kemungkinan adanya
banyaknya noda. Oleh karena itu, derajat hadis yang bersanad banyak, lebih
rendah (nazil) daripada yang bersanad sedikit.[15]
Jenis Sanad ’Aliy
Sanad ’aliy dibagi menjadi dua
bagian yaitu; yang mutlak dan yang nisbi (relatif)[16]
1. Sanad
’Aliy yang bersifat mutlak; adalah sebuah sanad yang jumlah perawinya hingga
sampai kepada Rasulullah lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad yang
lain. Jika sanad tersebut shahih, maka sanad itu menempati tingkatan tertinggi
dan jenis-jenis sanad ‘ally.
2. Yang bersif at nisbi
(relatif). Yang dimaksud adalah sebuah sanad yang jumlah perawi di dalamnya
lebih sedikit jika dibandingkan dengan para imam ahli hadits. Seperti Syu’bah,
Al-A’masy, Ibnu Juraij, Ats-Tsauri, Malik, Asy-Syafi’i, Bukhari, Muslim, dan
sebagainya, meskipun jumlah para perawi setelah mereka hingga sampai kepada
Rasulullah lebih banyak.
Sanad ‘ally yang bersifat nisbi ini
terbagi menjadi empat bagian: muwafaqah, badal, musawah dan mushafahah.
1. MuwaIaqah
Muwafaqah adalah seorang meriwayatkan sebuah hadits hingga sampai kepada guru
salah seorarig penulis kitab hadits melalui jalur sanad lain yang jumlah para
perawinya lebih sedikit dan pada jumlah para perawi yang ada pada jalur
sanadnya sendiri melalui gurunya.
Sebagai contoh: Imam Bukhari
meriwayatkan sebuah hadits dari Qutaibah, dan Malik. Seandainya kita meriwayatkannya melalui jalur
sanad Imam Bukhari, maka jumlah para perawi antara kita dengan Qutaibah
sebanyak delapan perawi. Akan tetapi jika kita meriwayatkannya dari jalur sanad
Abu Al-Abbas As-Siraj (salah satu dan guru Imam Bukhari), maka kita dapatkan
jumlah para perawi antara kita dengan Qutaibah sebanyak tujuh perawi.
Dari contoh
di atas jelaslah bagi kita bahwa terjadi muwafaqah (kecocokan) antara
Imam Bukhari dengan gurunya tentang jalur sanad. Namun jalur sanad gurunya
lebih tinggi dan pada jalur sanadnya.
2. Badal
Badal adalah seorang meriwayatkan sebuah hadits
hingga sampai kepada guru dan guru seorang penulis kitab hadits melalui jalur
sanad lain yang jumlah para perawinya lebih sedikit dari pada jumlah para
perawi yang ada pada jalur sanadnya sendiri melalui gurunya.
Contoh badal
ini sama dengan contoh muwafaqah yang tersebut di atas. Yaitu jika
terdapat jalur sanad lain hingga sampai kepada Al-Qa’nabi (guru dari guru Imam
Bukhari) dari Malik. Maka Al-Qa’nabi dalam jalur sanad ini sebagai badal (pengganti)
dan Qutaibah.
3. Musawah
Musawah adalah kesamaan jumlah para perawi dalam
sebuah sanad yang dimiliki seorang perawi dengan jumlah para perawi yang ada
dalam sanad lain milik seorang penulis kitab hadits dari awal sampai akhir.
Contohnya:
Imam An-Nasa’i meriwayatkan sebuah hadits yang jumlah perawinya dari beliau
sampai kepada Rasulullah sebanyak sebelas perawi. Kemudian kita meriwayatkan
hadits tersebut melalui jalur sanad lain yang jumlah perawinya dari kita sampai
Rasulullah sebanyak sebelas perawi. Berarti tenjadi musawah (persamaan)
di antana kita dengan Imam An-Nasa’i dalam hal jumlah perawi.
4. Mushafahah
Mushafahah
adalah kesamaan jumlah
perawi dalam sebuah sanad dengan jumlah perawi dalam sanad seorang murid salah
satu penulis kitab hadits dari awal sampai akhirnya. Dinamakan mushafahah karena
pada umumnya jika dua orang bentemu mereka melakukan jabat tangan. Sedangkan
kita pada bagian yang keempat ini seakan-akan bertemu dengan Imam An-Nasa’i dan
seakan-akan kita menjabat tangan beliau.
Jenis-jenis Sanad yang Rendah (Isnad Nazil)
Setiap jenis
dari jenis-jenis sanad yang ‘aliy mempunyai lawan dari sanad yang nazil,
karena sesuatu yang tinggi dapat diketahui dengan lawannya yaitu sesuatu
yang rendah.[17]
Sanad yang ‘aliy
(sedikit jumlah perawi) sangat dicari karena semakin sedikit jumlah perawi
maka semakin dekat dengan keshahihan dan kesalahan menjadi sedikit. Hal ini
disebabkan karena tidak ada seorang pun dari para perawi hadits kecuali ada
kemungkinan melakukan kesalahan. Maka semakin panjang sebuah sanad dan semakin
besar jumlah para perawinya, maka kemungkinan tenjadi kesalahan pun semakin
besar pula. Begitu juga
semakin pendek sebuah sanad dan semakin sedikit jumlah para perawinya, maka
kemungkinan terjadinya kesalahan pun semakin sedikit.
Akan tetapi jika dalam sanad
yang nazil terdapat kelebihan yang tidak ada pada sanad yang ‘aliy, misalnya
para perawinya lebih terpercaya, lebih kuat hafalannya, atau lebih faham
terhadap agama, maka sanad yang nazil itu lebih utama dari pada sanad
yang ‘ally tersebut. Para ulama ahli hadits telah memberikan atensi
mereka terhadap sanad yang ‘aliy. Sehingga mereka membukukan sebagian di
antaranya dan mereka menamakannya dengan “Ats-Tsulatsiyyat”. Yang
dimaksudkan dengan “Ats-Tsulatsiyyat” adalah hadits-hadits yang jumlah
perawi dalam sanadnya antara perawi yang menulisnya dengan Rasulullah berjumlah
tiga orang perawi.
Di antara kitab-kitab tersebut:
1. “Tsulatsiyyat
Al-Bukhari” karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
2. “Tsulatsiyyat
Ahmad bin Hanbal” karya Imam As-Safarini.
Silsilatul
Dzdzahab (tinggi rendahnya rangkaian sanad)
Sebagaimana dimaklumi, bahwa suatu hadis sampai kepada
kita, tertulis dalam dewan hadis, melaluisanad-sanad. Setiap sanad bertemu
dengan rawy yang dijadikan sandaran menyampaikan berita (sanad yang setingkat
lebih atas), sehingga seluruh sanad itu merupakan suatu rangkaian. Rangkaian
sanad itu ada yang berderajat tinggi, sedang dan lemah, mengingat perbedaan
ke-dlabith-an (kesetiaan ingatan) dan ke’adilan rawi yang dijadikan sanadnya.
Rangkaian sanad yang berderajat tinggi menjadikan suatu hadis lebih tinggi
derajatnya daripada hadis yang rangkaian sanadnya sedang atau lemah. Para muhaditsin membagi tingkatan sanad kepada;
1. Ashahhul asanid
(sanad-sanad yang lebih shahih)
a. Ashahhul asanid secara muthlaq
b. Ashahhul asanid secara muqoyyad
2. Ahsanul asanid
(sanad-sanad yang lebih hasan)
3. Adl’aful asanid
(sanad-sanad yang lebih lemah)[18]
H. PENUTUP
Semoga tulisan tersebut diatas ada manfaatnya hususnya bagi penulis
dan menjadi pendorong bagi para pembaca untuk mendalaminya, Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Ajaj Al Khatib, Ushul Al Hadits, Gaya
Media Pratama, Jakarta, 1998
Azami, M.M., Memahami Ilmu Hadis, Lentera,
Jakarta, 1995
Bustamin & M. Isa H.A. Salam,
Metodologi Kritik Hadis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Fatchur Rahman, Drs., Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, PT. Al Maarif, Bandung, 1997
Muh. Zuhri, Tela’ah Matan Hadis, LESFI,
Jogjakarta, 2003
Manna’ Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Hadits, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2006
Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka setia, Bandung,
1999
[1] DR. M.M. Abu Syuhbah, Kutubus Sittah, Pustaka Progresif, 1993 hal
30
[2] Ibid
[3] Nashir al Asad, Masadir al Syi’ra al Jahili, 255-267 yang dikutip
oleh M.M. Azami, MA. Ph.D dalam Ilmu hadis, hal 71
[4] Ustadz DR. Ahmad Umar Hasyim, Qowa’idul usulil hadis, ‘Alamul
Kutub, Bairut 1997 hal 139
[5] M. M. Azami, MA, Ph.D. Ilmu Hadis, Penerbit Lentera, 2003, hal 71
[6] Ibid, hal 72
[7] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT Almaarif
Bandung 1987 hal 202
[8] Ustadz DR. Ahmad Umar Hasyim, Qowa’idul usulil hadis, ‘Alamul
Kutub, Bairut 1997 hal 141
[9] Op. Cit.
[10] M. M. Azami, MA, Ph.D. Ilmu Hadis, Penerbit Lentera, 2003, hal 73
[11] Ibid hal 73-77
[12] Ibid, hal 77
[13] Ibid, hal 77-80
[14] Syaikh Manna’ Al Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, Terjmah Pustaka Al Kautsar, hal 193
[15] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, PT Almaarif Bandung 1987 hal 204
[16] Op. Cit, hal 195-197
[17] Ibid
[18] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT Almaarif
Bandung 1987 hal 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar