Jumat, 01 September 2023

PERADABAN ISLAM DI AFRIKA

 

A. Pendahuluan

 

Islam masuk wilayah Afrika Utara pada masa Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan berkuasa. Pada saat ini yang menjadi Gubernurnya di Mesir adalah Amru bin Ash, karena kondisi Afrika yang sebelumnya dalam cengkraman penjajah Romawi sangat mengganggu kerja dan usaha Gubernur Amru bin Ash, maka diperintahlah gubernur Amru bin Ash oleh khalifah Mu’awiyah untuk menyerang Romawi yang menduduki Afrika Utara dengan membawa pasukan berjumlah 10.000 orang dipimpin oleh panglima perang yang bernama Uqbah bin Nafi’. Pasukan yang dipimpin oleh Uqbah bin Nafi’ ini berhasil mengalahkan pasukan Romawi dan berhasil menguasai kota Qoiruwan pada tahun 670 M. Kota Qoiruwan inilah yang dijadikan benteng pertahanan pasukan Uqbah bin Nafi’ untuk melanjutkan penyerbuannya ke Tunisia. Tidak berselang lama kota Tunisia berhasil di kuasai oleh pasukan Uqbah bin Nafi’, yang kemudian ia diangkat oleh Mu’awiyah sebagai Gubernur di Afrika Utara.

Ketika Khalifah Dinasti Umaiyah di pegang oleh Abdul Malik bin Marwan pada tahun 685 M. ia berusaha memperluas kekuasaannya ke beberapa wilayah di Afrika Utara yang sebelumnya pernah dikuasai oleh Uqbah bin Nafi’ akan tetapi satu persatu jatuh kembali ke tangan penjajah Romawi yang bersekutu dengan tentara Barbar, kini telah dikuasi oleh Abdul Malik bin Marwan bersama pasukannya yang dipimpin oleh Hasan bin Nu’aim.

Kekuasaan Abdul Malik bin Marwan di Afrika Utara ini sebenarnya belum seratus persen aman karena bangsa Barbar dan Romawi selalu melakukan pemberontakan-pemberontakan sehingga beberapa wilayah melepaskan diri. Ketika Khalifah Dinasti Umaiyah mengalami perubahan dan selanjutnya kekuasaan ada ditangan Khalifah Al Walid bin Abdul Malik pada tahun 705 M ia mengirim pasukan ke Afrika Utara yang dipimpin oleh Musa bin Nushair yang sekaligus dapat merebut berapa kota yaitu Mayorca, Minorca, Ivca dan wilayah pebatasan Spanyol. Keberhasilan Musa bin Nushair ini membuka jalan bagi tentara Islam untuk menaklukkan wilayah Spanyol di Eropa.

 

Kekuasaan Dinasti Umaiyah berikutnya di pegang oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada masa ini Khalifah juga masih memberi perhatian serius terhadap pengembangan kekuasaan umat islam khususnya di Afirka Utara. Berbeda dengan para pendahulunya, khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam mengembangkan islam di Afrika Utara tidak lagi dengan berperang melainkan dengan cara mengirim sepuluh ulama ahli Fiqih untuk mengajarkan ajaran islam kepada penduduk bangsa Barbar. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkeinginan agar seluruh penduduk Afrika Utara termasuk bangsa barbar yang suka memberontak menjadi muslim yang taat. Kesepuluh ulama fikih itu bekerja keras untuk memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran Islam. Usaha ini cukup berhasil, karena bangsa Barbar memeluk agama Islam dan menjadi muslim yang taat.

Untuk memahami peradaban Islam di Afrika, tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang Dinasti Al Murobithun dan Al Muwahiddun. Karena Dinasti inilah yang mula-mula muncul di Afrika. Untuk membicarakan Al Murobithun dan Al Muwahhidun tidak bisa kita abaikan juga pembicaraan tentan Dinasti Umaiyah II di Andalusia. Oleh karena itu kita nanti membicarakan sedikit Dinasti Umaiyah II di Andalusia.

Dinasti Umayyah II, yang merupakan dinasti Islam di Spanyol yang dibangun oleh salah satu generasi penerus dari Dinasti Umayyah I di Damsakus, Abdurrahman al­ Dakhil, ternyata tidak mampu menunjukkan eksistensinya secara terus menerus. Hal ini disebabkan, salah satunya, oleh kompetisi yang tidak sehat dan kalangan istana untuk menduduki jabatan khalifah. Keadaan tersebut diperparah oleh peletakkan jabatan oleh khalifah yang sah dari kedudukannya, sebagai perwujudan dari moral accountability karena merasa tidak mampu membawa dinasti ke arah yang lebih baik (1009 M.). Sedangkan beberapa orang yang dicoba untuk memegang jabatan tersebut, ternyata tidak mampu dan justru memperburuk keadaan yang akhimya menuju kehancuran total. Puncak dari keadaan tersebut adalah penghapusan gelar khalifah oleh Dewan Menteri yang memerintah Cordova, ibu kota dinasti Islam di Spanyol ketika itu. Peristiwa tersebut, yang terjadi di tahun 1013 M., membawa ekses yang tidak kecil bagi eksistensi ummat Islam di Spanyol[1]

Umat Islam, sete1ah peristiwa tersebut, terpecah menjadi berpuluh-puluh kelompok yang saling mengadakan perang saudara dengan semangat yang agresif-ekspansif

 

B. Dinasti Muluk al-Tawaif

Nama Muluk al Thawaif berasal dari dua kata, muluk dan tawaif. Kata muluk merupakan bentuk plural dari malik yang berarti raja atau penguasa, sedangkan kata tawaif juga merupakan bentuk plural dari taifah yang berarti kelompok, golongan atau suku. Sehingga yang dimaksud dengan muluk al tawaif adalah raja-raja yang memimpin  golongan atau kelompok tertentu di Spanyol.

 

Muluk al Thawaif ini merupakan konsekwensi logis dari kekuasaan Bani Umayyah II yang sudah melemah. [2] Muluk al Thawaif berkuasa di Spanyol selama kurang lebih 50 tahun sebelum akhimya ditundukkan oleh dinasti al-Murabitun yang mengadakan ekspansi dari Afrika Utara (1090 M)[3]  Meskipun demikian, periode muluk al Thawaif ini merupakan masa kecermelangan kulturan di Spanyol, disamping merupakan masa fragmentasi polits [4]

Disintegrasi kekuasaan dan degradasi politis umat Islam di Spanyol ini berlangsung sampai dengan munculnya kesadaran terhadap ekspansi Kristen terutama setelah Toledo dapat dikuasai pasukan Kristen (1085). Reaksi paling keras dilontarkan para pemuka agama sebagai respon bergesernya life style para penguasa lokal menuju hedonisme dan matrialisme sempit. Kesadaran inilah yang mendorong mayoritas penguasa lokal tersebut untuk membuka pintu bagi kedatangan dinasti al-Murabitun di Afrika Utara untuk mengadakan rekonsiliasi.

 

C. Dinasti al-Murobitun

Dinasti ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari pasukan Arab yang masuk ke Afrika. Utara bersamaan dengan ekspansi yang dipimpin oleh Musa bin Nusair. Yahya bin Ibrahim, tokoh dinasti al-Mutalasimun di Maroko, meminta kepada salah seorang tokoh agama yang ditemuinya di Qairawan untuk mengerim juru dakwah di daerahnya. Permintaan tersebut dipenuhi dengan diutusnya Abdullah bin Yasin al-Jazuli yang selanjutnya menjadi pemimpin spiritual suku tersebut. Oleh karena itu, pada mulanya dinasti ini merupakan gerakan keagamaan (spiritualitas) yang menitikberatkan pada gerakan moral mengingat ketika itu krisis moral sudah melanda dalam diri para penguasa. Spiritualilas suku ini sendiri dibangun dengan dasar pelaksanaan ibadah di tempat yang tinggi, ribat (di Senegal sekarang). Inilah yang kemudian menjadi dasar penyebutan suku ini dengan nama al-Murabitun.[5] Ketika Abdullah meninggal (1059), jabatan kepemimpinan dipegang oleh Yahya bin Umar yang kemudian dilanjutkan oleh Abu Bakar dan Yusuf bin Tasyfin pada tahun 1056. Yusuf bin Tasyfin inilah yang menjadi tokoh sentral dalam ekspansi wilayah al-Murabitun sehingga menjadi  penguasa Muslim terbesar saat itu. karena Bani Abbasiyyah di Baghdad sudah melemah, Fatimiyyah di Mesir sudah jatuh dan Spanyol di bawah kekuasaan muluk at-tawaif  sudah terpecah-pecah [6]

Dengan berpusat di Marakesy, sebagaimana dijelaskan diatas, Yusuf masuk ke Spanyol atas respon terhadap disintegrasi umat Islam di wilayah itu. Oleh karena itu, Yusuf mempunyai obsesi untuk menyatukan kembali raja-raja lokal tersebut di bawah kekuasaan al-Murabitun. Hal tersebut semakin urgen mengingat kekuatan Kristen, di  bawah pirnpinan Alfonso VI, semakin gencar melakukan ekspansi. Meskipun demikian, dengan usaha yang tidak mengenal lelah akhimya Yusuf mampu mewujudkan obsesi besarnya tersebut [7]. Di bawah Yusuf inilah dinasti al-Murabitun mampu menguasai wilayah yang sangat luas, yaitu dari wilayah Sudan di selatan hingga pegunungan Perenia di utara dan Samudra Atlantik di barat hingga perbatasan Tunisia di timur.

Dinasti a1-Murabitun ini berakhir ketika Tasyfin, sebagai pengganti Ali bin Tasyfin yang mati terbunuh (1143), mengadakan penyerangan terhadap kekuatan al­ Muwahidun yang dipimpin Abdul Mu'min bin Ali. Penyerangan tersebut gagal sehingga Tasyfin sendiri melarikan diri ke Wahran, Aljazair sekarang. Namun justeru di tempat inilah dia mati terbunuh ketika hendak melarikan diri kembali dari kepungan pasukan al­ Muwallidun terhadap ribatnya. Semua pengawalnya dibantai, kepala Tasyfin sendiri dipenggal dan dibawa ke markas al-Muwahidun. Ironisnya, peristiwa tersebut justeru tetjadi pada bulan Ramadhan 539 H./1145 M. Setelah peristiwa tersebut, kekuasaan dinasti al-Murabitun hanya terkonsentrasi di kota Marakesy di bawah komando Ishak bin Ali bin Yusuf. Namun satu tahun setelah peristiwa di Aljazair tersebut, benteng pusat kota, sebagai pertahanan terakhir dinasti al Murabitun, dikepung pasukan al-Muwahidun. Setelah selama satu tahun dikepung, akhimya benteng tersebut jatuh juga di bawah kekuasaan pasukan al-Muwahidun.

Para penguasa dinasti al-Murabitun adalah sebagai berikut :

1. Abu Bakar bin Umar (1056-?)

2. Yusuf bin Tasyfin (1061-1107)

3. Ali bin Yusuf( 1107 -1143)

4. Tasyfin bin Ali (1143-1146)

5. Ibrahim bin Tasyfin (1146)

6. Ishak bin Ali bin Yusuf (l 146-1147)

 

 

 

D. Dinasti al-Muwahidun



[1] W. Montgomery Watt, kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh Orienlalis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990).217-218.

[2] Ibid hal 219

[3] Amani Burhanudin Umar Lubis, Dunia Islam Bagian Barat, 202

[4] CE. Bosworth, Dinasti Islam, Bandung, 35

[5] Lapidus, Sejarah Sosial 572

[6] Kekuasaan Daulah Bani Umaiyah

[7] Badri Yatim, Sejarah Pendidikan Islam, 98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar