D. Study Pustaka
Dalam study pustaka ini kami cantumkan pendapat Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam sebagai berikut ;[1]
Kemampuan belajar manusia sangat berkaitan dengan kemampuan manusia untuk mengetahui dan mengenal objek-objek pengamatan melalui pancaindranya.
Membahas kemampuan mengetahui dan mengenal, tidak dapat terlepas dari filsafat dalam bidang epistimologi. Karena filsafat ini menunjukkan kepada kita betapa dan sejauh mana manusia dapat mengetahui atau mengenal objek-objek pengamatan di sekitarnya. Apa pengetahuan itu, cara mengetahui dan memperoleh pengetahaan, serta berbagai jenis pengalaman indrawi.
Pengetahuan manusia terbentuk karena adanya realita sebagai objek pengamatan indra. Pembahasan filsafat dalam berbagai aliran adalah pertanyaan apakah realita itu merupakan suatu kebenaran hakiki atau hanya refleksi dari kebenaran tensebut.
Filsafat yang beraliran idealisme memandang bahwa realita itu bukan hakikat kebenaran yang ditangkap oleh pancaindra manusia. Ia hanyalah merupakan gambaran (refleksi) dan kebenaran yang hakiki yang berada di dalam alam “ide”. Realita yang berupa benda yang ada di alam nyata ini adalah totalitas (keseluruhan) yang tersusun secara logis dan bersifat spiritual. Realita seperti yang ditangkap oleh indra manusia telah ditentukan sebelumnya dalam alam “ide” itu.
Paham idealisme yang murni seperti tersebut di atas tercetus dan pikiran-pikiran ahli filsafat kuno di Yunani, antara lain Plato, yang di kemudian hari mengalami perkembangan yang semakin luas, seolah-olah terlepas dari aliran pokoknya yang murni, meskipun masih tetap dalam rumpun aliran idealisme.
Sempalan (cabang) Idealisme ini misalnya berupa aliran paham Spiritualisme (serba roh), Panpsychisme (segala sesuatu berasal darijiwa), dan Rationalisme (ratio/akal yang dapat menemukan kebenaran hakiki). Masing-masing aliran filsafat tersebut mempunyai ciri-cirinya sendiri. Pengertian tentang realita (kebenaran sejati) di alam ini, menurut idealisme pada abad pertengahan dan abad selanjutnya, adalah sebagai suatu kekuatan yang memiliki corak dan sifat yang kongruen (sesuai) dengan jiwa. Jadi, “jiwa” dipandang sebagai realita, karena menurut Idealisme, “jiwa” diberi arti sebagai berikut ;
a. Suatu kekuatan yang ada di dalam diri manusia yang mampu mendorong timbulnya kebudayaan serta dapat meresapinya. Jadi, jiwa dapat melahirkan dirinya dalam bentuk-bentuk kebudayaan.
b. Dengan demikian, jiwa juga diartikan sebagai suatu kekuatan yang dapat diobjektifkan (dinyatakan) dalam bentuk kebudayaan itu. Dengan kata lain, kebudayaan adalah jiwa yang diobjektifkan. Jiwa yang diobjektifkan itu akhirnya meluas pengaruhnya kepada pembentukan jiwa bangsa (folk geist).
Dengan demikian,jelaslah prinsip yang dipegang oleh Idealisme dari zaman ke zaman adalah faktor kejiwaan lebih diutamakan daripada faktor kebendaan atau kejasmaniahan, karena jiwa merupakan sumber sebab timbulnya realita yang dapat diamati pancaindra. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa semua kenyataan itu senantiasa kongruen dengan alam ide, yaitu suatu alam kejiwaan. Kejiwaan yang dapat menentukan realita ini, oleh Aristoteles disebut dengan entelichie, yaitu suatu kekuatan rohaniah yang bekerja dari dalam dan bersemayam di dalam segala kenyataan itu.
Beberapa ahli pikir setelah abad pertengahan seperti Rene Descartes dan Benedjcte de Spinoza (filosof Yahudi) serta Al-Farabi, Al-Kindi, dan sejumlah filosof Islam lainnya banyak terpengaruh oleh aliran filsafat Idealisme di atas. Sehingga timbullah pandangan yang bercorak khusus mengenai masalah kemampuan pokok dan kejiwaan manusia; dan di antaranya ada yang lebih mementingkan akal/rasio, ada pula yang lebih mementingkan spirit (roh) dan sebagainya
Islam memberikan prinsip-prinsip pandangan bahwa alam nyata ini adalah ciptaan Allah SWT. yang harus dikelola dan dipelajari oleh manusia (sebagai hamba-Nya) melalui kemampuan berpikir dan lain-lain kemampuan kejiwaannya. Sedang manusia sendiri adalah makhluk-Nya yang terbentuk dari kenyataan rohaniah (kejiwaan) dan kenyataan jasmaniah untuk melaksanakan tugas hidupnya sebagai hamba Allah, dengan melalui ikhtiar membentuk kehidupan duniawi dan ukhrawi yang bahagia sejahtera menurut petunjuk-Nya. Jadi, kenyataan hidup manusia dan alam nyata ini merupakan perpaduan antara pola-pola hubungan dari kekuatan rohaniah dan jasmaniah yang berkeseimbangan dan serasi yang berarah tujuan. Pancaindra manusia merupakan alat kelengkapan yang dapat membuka kenyataan alam sebagai sumber pengetahuannya yang memungkinkan dirinya untuk menemukan hakikat kebenaran yang diajarkan oleh agamanya, atau oleh Tuhannya.
Pancaindra manusia adalah pintu gerbang dari pengetahuan yang makin berkembang. Oleh karenanya, Tuhan mewajibkan pancaindra manusia untuk digunakan menggali pengetahuan.
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.[2]
Ayat yang bersifat motivatif dan persuasif kepada manusia untuk menggunakan kemampuan kejiwaan dan pancaindranya dalam menggali ilmu pengetahuan tidak kurang dan 300 kali disebut dalam Al Quran. Semua itu menjadi dasar pandangan yang ada, misalnya pandangan epistimologi. Islam berpendirian bahwa kemampuan belajar manusia pertama-tama berkembang dari pengamatan pancaindra, kemudian diolah oleh kemampuan pikiran dan ingatannya serta dorongan kemauannya, sehingga menjadi pola-pola pengetahuan yang kemudian terbentuk menjadi ilmu pengetahuan.
Islam lebih cenderung untuk menegaskan perpaduan antara kemampuan kejiwaan dan kenyataan materi sebagai realita merupakan sumbernya proses “mengetahui” manusia yang keduanya merupakan “kebenaran” menurut ukuran proses hidup manusiawi dan bukan Ilahi. Kebenaran yang hakiki hanyalah Tuhan sendiri, dan kebenaran hakiki inilah yang menciptakan segala kenyataan alam dan manusiawi dengan diberi mekanisme hukum-hukumnya sendiri. Bila Ia menghendaki, mekanisme itu bisa diubah menurut kehendak-Nya.
Pandangan Islam jelas tidak hanya berbeda dengan Idealisme, tetapi juga berbeda dengan pandangan aliran Realisme yang menyatakan bahwa hakikat kebenaran itu berbeda pada kenyataan alam ini, bukan pada “ide” atau jiwa serta pada Tuhan. Segala yang diamati oleh pancaindra adalah suatu kebenaran. Oleh karena itu, dalam proses mencapai kebenaran, manusia baru memperoleh kemantapan kebenaran bilamana pengetahuan yang diperoleh telah sesuai benar dengan kenyataan dalam semua benda. Sama halnya sarjana yang hendak mengetahui benar tidaknya suatu teori, ia harus mengujinya dalam kenyataan. Islam dalam hubungannya dengan realita sebagai kebenaran, tidak “menafikan” (menghilangkan) arti dari benda-benda nyata, sebagai suatu yang bersifat “imajinatif” melainkan sebagai kebenaran “instrumental” untuk mencapai pengetahuan yang lebih tinggi mutunya secara kualitatif dan normatif.
Bila dikaitkan dengan pandangan filosofis tentang problem kependidikan yang berusaha membahas tentang hakikat dan problem tersebut melalui pemikiran yang sistematis, total, radikal serta universal; maka paham Idealisme dan Realisme tersebut mendasari pandangan tentang kemungkinan perkembangan manusia dalam pendidikan, yaitu bahwa manusia di satu pihak, dengan bakat/kemampuan dasarnya yang dibawa sejak lahir mempunyai sifat yang determinis terhadap pengaruh pendidikan pada khususnya dan pengaruh lingkungan pada umumnya (paham Idealisme kependidikan). Namun di lain pihak kemampuan dasar menurut paham Realisme, dalam proses kependidikan yang alami lebih ditentukan perkembangannya oleh pendidikan atau lingkungan sekitar, karena empiri (pengalaman) pada hakikatnya yang membentuk manusia. Terhadap hubungan ini, dalam Islam dikenal adanya “fitrah”, yaitu kemampuan dasar beragama yang dalam perkembangannya bagi seseorang banyak dipengaruhi oleh langkah-langkah pendidik? Namun hal ini tidak berarti Islam beraliran Realisme atau Empirisme dalam pendidikan, oleh karena di dalam kemampuan dasar yang disebut frtrah tersebut benih-benih religiositas manusia tetap berkembang (tidak lenyap karena pengaruh pendidikan yang nonreligius) walaupun manusia menjadi nonmuslim sekalipun. Di sinilah letaknya, faktor potensial kejiwaan manusia yang disebut “insting” (ghorizah) bagaimanapun dipengaruhi dan luar untuk dibentuk menjadi yang lain ataupun dihapuskan sama sekali, tetap bertahan dalam eksistensinya. Dalam pandangan Alquran jelas ditunjukkan masalah ini dengan firman Allah:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
Maka hadapkanlah wajahinu kepada agama dengan cecara lurus, tetaplah pada fitrah Allah, yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada yang dapat mengubah fitrah Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak tnengetahuinya. [3]
Berdasarkan penjelasan Al Quran bahwa manusia itu mempunyai sifat ganda : jiwa dan raga, yang berwujud fisik dan roh[4]. Adapaun ayat Al Quran tersebut adalah sebagai berikut ;
#sÎ*sù ¼çmçF÷§qy àM÷xÿtRur ÏmÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y ÇËÒÈ
Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sø:$# ÇÊÍÈ
* Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
* Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
* Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
Sebelum berbentuk makhluk jasmani, manusia itu telah mengikat janji akan mengakui Allah saja sebagai Tuhannya sebagai mana firman Allah swt.
øÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPy#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",
Dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, Dra. Zuhairini dkk. Mengatakan bahwa : Manusia, jika ditinjau dari segi biologis, maka sebenarnya ada segi-segi persamaan dengan binatang, bahkan manusia dimasukkan dalam golongan binatang yang menyusui. Karena manusia juga mempunyai sifat-sifat biologis seperti yang dimiliki oleh binatang antara lain membutuhkan makan, udara, mengembangkan jenis dan lain-lain. Namun di samping itu, manusia, mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakan dengan binatang, yakni manusia memiliki berbagai macam potensi atau kemampuan dasar (fitrah) yang telah dibawa semenjak lahirnya, seperti kemampuan untuk berpikir, berkreasi, beragama, beradaptasi dengan lingkungannya dan lain sebagainya. Dengan adanya berbagai macam kemampuan dasar tersebut, maka manusia dalam hidup dan kehidupannya tidak hanya berdasar pada instink atau naluri saja seperti halnya binatang, tetapi juga berdasarkan dorongan dari berbagai potensi yang dimilikinya.
Untuk mengembangkan potensi/kemampuan dasar, maka manusia membutuhkan adanya bantuan dari orang lain untuk membimbing, mendorong dan mengarahkan agar berbagai potensi tersebut dapat bertumbuh dan berkembang secara wajar dan secara optimal, sehingga kelak hidupnya dapat berdaya guna dan berhasil guna. Dengan begitu mereka akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya.[5]
E. Metode Penelitian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar