Pengantar
Kita suci Al Quran diturunkan selama 22 tahun lebih beberapa bulan. Kitab itu berisi berbagai macam petunjuk dan peraturan yang disyariatkan karena beberapa sebab dan hikmah yang bermacam-macam. Ayat-ayatnya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan. Susunan ayat-ayat dan surah-surahnya ditertibkan sesuai dengan yang terdapat dalam lauh mahfudh, sehingga tampak adanya persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat yang lain dan antara surah yang satu dengan surah yang lain.
Karena itu, timbul cabang dan Ulumul Qur’an yang khusus membahas persesuaian-persesuaian tersebut, yaitu yang disebut Ilmu Munasabah atau Ilmu Tanaasubil Ayati Was Suwari. Orang pertama yang menulis Ilmu Munasabah ini ialah Imam Abu Bakar An-Naisaburi (324 H), kemudian disusul oleh Abu Ja’far Ibnuz Zubair yang mengarang kitab Al-Burhanu Fi Munaasabati Suwarii Qur’aani dan diteruskan oleh Burhanuddin Al-Buqa’i yang menulis kitab: Nudzumud Durari Fi Tanaasubii Aayaati Was Suwari dan As-Suyuthi yang menulis kitab Asraarut Tanziiii Wa Tanaasuqud Durari Ft TanaasubiI Aayaati Was Suwari serta M. Shodiq A1-Ghimari yang mengarang kitab: Jawaahirul Bayaani Fi Tanaasubi Suwarii Qur’aani.
1. Pengertian Munasabah
Menurut bahasa munasabah berarti persesuaian atau hubungan atau relevansi, yaitu hubungan persesuaian antara ayat/surah yang satu dengan ayat/surah yang sebelum atau sesudahnya.
Ilmu Munasabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan antara ayat/ surah yang satu dengan ayat/surah yang lain. Karena itu, sebagian pengarang menamakan ilmu ini dengan “Ilmu Tanasubil Ayati Was Suwari,” yang artinya juga sama, yaitu ilmu yang menjelaskan persesuaian antara ayat atau surah yang satu dengan ayat atau surah yang lain. Menurut istilah, Ilmu Munasabah atau Ilmu Tanasubil Ayati Was Suwari ini ialah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dan bagian-bagian Al Quran yang mulia. Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat atau beberapa surah Al Quran. Apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan khusus, atau antara abstrak dan konkret, atau antara sebab-akibat, atau antara illat dan ma’luinya, ataukah antara rasionil dan irrasionil, atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi. Jadi, pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai dalam arti yang sejajar dan paralel saja, melainkan yang kontradiksi pun termasuk munasabah, seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan sebagainya. Sebab, ayat-ayat Al Quran itu kadang-kadang merupakan takhshish (pengkhususan) dari ayat yang umum. Dan kadang-kadang sebagai penjelasan yang konkret terhadap hal-hal yang abstrak. Sering pula sebagai keterangan sebab dari sesuatu akibat seperti kebahagiaan setelah amal saleh dan seterunya. Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan yang lain, baik dengan yang sebelumnya maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dan yang lain, seperti tidak ada kontaknya sama sekali. Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang erat antara yang satu dengan yang lain.
Karena itu, Ilmu Munasabah itu merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa mengungkapkan rahasia kebalaghahan Al Quran dan menjangkau sinar petunjuknya.
2. Pembahasan limu Munasabah
Pembahasan Ilmu Munasabah ini terkait dengan bagian-bagian Ulumul Qur’an, baik ayat-ayat atau pun surah-surahnya yang satu dengan yang lain persesuaian dan persambungannya. Sebab, seperti telah disebutkan di muka, bahwa hubungan dan persambungan dari bagian-bagian Al Quran itu bermacam-macam. Ada yang berupa hubungan antara makna umum dan khusus, atau hubungan pertalian (talazum), seperti hubungan antara sebab dengan akibatnya, ilat dengan ma’lulnya, atau antara dua hal yang sama, maupun antara dua hal yang kontradiksi. Jadi, ringkasnya lapangan pembahasan Ilmu Munasabah atau ilmu Tanaasubul Ayat Was Suwar ini ialah macam-macam hubungan dan persambungan, serta kaitan dari ayat-ayat Al Quran yang satu dengan yang lain, dan antara surah Al Quran yang satu dengan yang lain, dalam berbagai bentuk persesuaian dan persambungan.
3. Macam-macam Munasabah
Munasabah atau persesuaian atau persambungan atau kaitan bagian Al Quran yang satu dengan yang lain itu bisa bermacam-macam, jika dilihat dari berbagai seginya.
a. Macam-Macam Sifat Munasabah
Jika ditinjau dari segi sifat munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam, yaitu:
a) Persesuaian yang nyata (Dzaahirul Irtibath) atau persesuaian yang tampak jelas, yaitu yang persambungan atau persesuaian antara bagian Al Quran yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempuma, jika dipisahkan dengan kalimat yang lain. Maka deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu kadang-kadang ayat yang satu itu berupa penguat, penafsir, penyambung, penjelasan, pengecualian atau pembatasan dan ayat yang lain, sehingga semua ayat-ayat tersebut tampak sebagai satu kesatuan yang sama. Contohnya, seperti persambungan antara ayat 1 surah Al-Isra:
z`»ysö6ß üÏ%©!$# 3uó r& ¾ÍnÏö7yèÎ/ Wxøs9 ÆÏiB ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# n<Î) ÏÉfó¡yJø9$# $|Áø%F{$# Ï%©!$# $oYø.t»t/ ¼çms9öqym ¼çmtÎã\Ï9 ô`ÏB !$oYÏG»t#uä 4 ¼çm¯RÎ) uqèd ßìÏJ¡¡9$# çÅÁt7ø9$# ÇÊÈ
Artinya:
“Maha Suci Allah, yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.”
Ayat tersebut menerangkan isra’ Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya, ayat 2 surah Al-Isra tersebut yang berbunyi:
$oY÷s?#uäur ÓyqãB |=»tGÅ3ø9$# çm»oYù=yèy_ur Wèd ûÓÍ_t6Ïj9 @ÏäÂuó Î) wr& (#räÏGs? `ÏB ÎTrß WxÅ2ur ÇËÈ
Artinya:
“Dan Kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israel.”
Ayat tersebut menjelaskan diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s.
Persesuaian antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang Nabi/Rasul tersebut.
b) Persambungan yang tidak jelas (Khafiyyul Irtibadh) atau samarnya persesuaian antara bagian Al Quran dengan yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat / surah itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain.
Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 surah Al Baqarah dengan ayat 190 surah A1-Baqarah. Ayat 189 surah A1-Baqarah tersebut berbunyi:
tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øs9ur É9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? Vqãç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §É9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur Vqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan tsabit. Katakanlah, bulan
tsabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.”
Ayat tersebut menerangkan bulan sabit/ tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji.
Sedang ayat 190 surah Al-Baqarah berbunyi:
(#qè=ÏG»s%ur Îû È@Î6y «!$# tûïÏ%©!$# óOä3tRqè=ÏG»s)ã wur (#ÿrßtG÷ès? 4 cÎ) ©!$# w =Åsã úïÏtG÷èßJø9$# ÇÊÒÉÈ
Artinya:
“Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian
melampaui batas.”
Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya atau hubungan yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 surah Al-Baqarah mengenai soal waktu untuk haji, sedang ayat 190 surah A1-Baqarah menerangkan: Sebenarnya, waktu haji itu umat Islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar