Bab I
Pendahuluan
Dalam dunia Islam ada dua ulama salaf dan kontemporer, yang menurut penulis mempunyai pandangan tentang kematian, yaitu Al Ghazali dan Fazlur Rahman. Al Ghazali merupakan sosok intlektual yang menguasai banyak lapangan intelektual, di samping berhasil pula menyelaraskan kehidupan intelektualnya dengan penguasa.[1] Al Ghazali adalah ulama yang produktif yang meninggalkan banyak karya, yang ditulis dalam banyak lapangan disiplin keilmuan Islam. Di antaranya ialah; Ar Risalah al Qudsiyyah, Ihya’ ’Ulum ad Din, Ad Durrah al Fakhirah fi Kasyf Ulum al kahirah dll.
Disamping itu Al Ghazali juga menulis tentang filsafat, sufisme, fikih dan juga kalam. Dalam bidang sufisme inilah yang membuat Al Ghazali memutuskan untuk menarik diri dari kehidupan umum. Karena beliau menganggap metode sufisme inilah yang merupakan metode terbaik dalam pencarian kebenaran.[2]
Bab II
Biografi Al Ghazali
Dalam dunia Islam tidak henti-hentinya orang selalu menyebut dan membicarakan sosok ulama, cendekia, tokoh yang sangat berpengaruh di dunia Islam, yang dikagumi baik oleh kawan maupun lawan, yang sangat masyhur dengan sebutan ”Hujjatul Islam”. Beliau adalah Al Ghazali. Nama lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad A1-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H (1 085M) di kota Thus, Khurasan, wilayah Persia.[3] Tepatnya di desa Gazaleh.[4] Sebelum ayahnya meninggal dunia, ketika A1-Ghazali masih kecil, beliau dan saudaranya telah diserahkan kepada seorang ahli tasawuf yang kelak mendidiknya. Di Durjan, beliau mempelajari ilmu fiqih dan bahasa Arab. Dari sana beliau meneruskan perjalanannya ke kota Naisabur, dekat Thus. Di sini beliau dalam usia 20-28 tahun berguru dan bergaul dengan Imam al Juwaini (Imam Al-Haramain) yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan.[5] Di sini pulalah beliau dengan amat tekun mulai memperdalam berbagai ilmu: ilmu logika, ilmu kalam, dan ilmu-ilmu lainnya yang penting. Lama sesudah itu beliau pindah ke Baghdad, kota pusat kebudayaan Islam pada masa itu. Di sini beliau mulai mengajarkan ilmunya. Namanya mulai termasyhur dan banyak orang tertarik kepadanya. Kebesaran jiwa yang tumbuh dalam pribadi Al-Ghazali mendapat perhatian dari perdana menteri Nizharn Al-Mulk yang pada masa itu memerintah di bawah Dinasti sultan-sultan Saljuk. Atas kebijaksanaan perdana menteri itu, A1-Ghazali diangkat menjadi guru besar pada universitas Nizhamiyyah, yaitu pada tahun 484 Hijriah.
Kedudukannya sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan, namanya yang termasyhur telah mempengaruhi jiwanya untuk cinta kepada kebendaan. mengharap kehormatan, kemewahan dan harta benda. Tetapi pengaruh yang demikian itu tidak lama menyelinap pada dirinya, karena kemudian timbul pergolakan-pergolakan dalam batinnya, pergolakan dan pertentangan antara “ilmu” dan “amal.” Semua suara batin yang mengajak kepada kebendaan itu dapat dikalahkan. Tetapi pergolakan-pergolakan di dalam batinnya itu menyebabkan beliau jatuh sakit. Seorang dokter yang hendak menolongnya mengatakan bahwa penyakitnya sukar disembuhkan, karena penyakit itu bukan berasal dan “luar”, melainkan dan “dalam”. Oleh karena itu, segala pengobatan dan luar tidak akan dapat membawa manfaat baginya. Oleh sebab itu beliau berusaha untuk mengobati penyakitnya dengan kekuatan jiwanya sendiri. Diobatinya penyakitnya itu dengan melindungkan dirinya kepada Allah, memohon bantuan dan pertolongan agar disembuhkan-Nya, agar penyakit itu lepas dari dirinya. Akhirnya, berkat anugerah Allah, sakitnya menjadi sembuh, bahkan beliau mendapat ilham dan petunjuk dari-Nya. Hatinya menjadi terang, sikapnya menjadi tabah serta memperoleh “kepastian” tentang ilmu. Beliau berani meninggalkan segala kemewahan, harta kekayaan, kehormatan dan keluarga yang ada di Baghdad untuk kemudian pergi ke Suriah pada Tahun 489 H. Sebelumnya, segala harta kekayaan yang diperoleh di Baghdad telah diwakafkan terlebih dahulu. Di kota Damaskus, beliau tinggal selama sebelas tahun. Di Damaskus inilah mula-mula beliau melakukan pertobatannya dengan melakukan khalwat, beriktikaf, menyucikan diri dan jiwanya, membersihkan akhlak dan budi pekertinya, selalu berpikir tentang Allah SWT Dari situ kemudian beliau pergi ke Yerusalem. Di sini pun beliau menetap dan berkhalwat di masjid Baitul Maqdis. Lama kemudian sesudah itu, beliau pergi ke Mesir dan seterusnya ke Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji.
Kadang-kadang A1-Ghazali pulang ke Baghdad untuk sekadar menengok keluarganya. Kehidupan yang demikian ini berjalan bertahun-tahun. Setelah sekian lama berada di dalam pengembaraan, akhirnya beliau pulang kembali dan menetap di Baghdad. Sekali lagi beliau diminta oleh perdana mentri Nizham Al-Mulk untuk menjadi guru besar pada universitas Nizhamiyyah, yaitu pada tahun 500 H (1106 M).[6]
Menurut Sulaiman karangan al Ghazali mencapai 300 buah, ia mengarang pada usia 25 tahun sewaktu masih di naisabur. Ia menggunakan waktu 30 tahun untuk mengarang. Dengan demikian setiap tahun ia menghasilkan 10 buah kitab besar kecil yang meliputi beberapa bidang ilmu pengetahuan, antara lain Filsafat, Ilmu Kalam, Fiqih-Ushul Fiqh, Tafsir, Tasawuf dan Akhlaq.
Sesudah mengarungi lautan hidup yang luas itu, menyelami ilmu yang sangat dalam serta menegakkan ibadah, maka pada tanggal 9 Desember 1111 M (505 H), Hujjah al-Islam, waliyyullah, dan filosof Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad A1-GhazâlI berpulang ke rahmatullah.[7] Bertepatan dengan hari Senin, 14 Jumadil Akhir 505 H. Berdasarkan keterangan saudara kandung al Ghazali, mengatakan bahwa pada hari Senin ketika waktu Shubuh, al Ghazali berwudlu kemudian melakukan sholat, lalu mengatakan ”Saya harus menenakan kain kafan”. Kemudian beliau mengambil sendiri, menciumi dan menutupkan kain tersebut pada kedua matanya seraya mengatakan: “Dengan rasa tunduk dan patuh saya menghadap keharibaan Raja Diraja, kemudian beliau memanjangkan kedua kakinya menghadap kiblat, lalu wafatlah beliau sebelum pagi menyingsing [8]
Bab III
Pandangan Al Ghazali Tentang Roh dan Kematian
1. Roh
Pada dasarnya kalau kita berbicara tentang roh, kita harus punya rambu-rambu terlebih dahulu. Ruh mana yang boleh kita bicarakan dan yang tidak boleh kita bicarakan. Sebab dalam QS. Al Isra’ : 85 telah dinyatakan yang artinya : Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".[9]
Jadi membicarakan roh disini adalah hanya sebatas luarnya saja bukan pada hakikat roh itu sendiri. Karena kemampuan yang diberikan Allah kepada manusia tentang roh ini memang dibatasi oleh Allah. Yang jelas manusia akan mempunyai hidup kedua. Dalam hidup kedua nanti manusia juga akan mempunyai tubuh. Hal itu ditegaskan dalam QS. Al Isra’ : 49 : Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?"
Al Ghazali berpendapat bahwa ruh terbagi menjadi tiga, ruh tumbuh-tumbuhan, ruh binatang dan ruh manusia. Manusia mempunyai tiga macam ruh itu. Dalam hal ruh Al Ghazali membedakan antara ruh dan nafs. Ruh adalah yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, sedang nafs khusus ada dalam manusia. Jadi manusia mempunyai badan, ruh dan nafs, sedang binatang hanya mempunyai badan dan ruh. [10]
Untuk lebih jelasnya pembagian ruh menurut Al Ghazali, sebagai berikut ; Ruh binatang mempunyai dua daya : gerak dan mengetahui. Daya gerak terbagi dua ; dari luar dan dari dalam.
Nafs mempunyai dua daya ; praktis yang menggerakkan badan manusia dalam perbuatan-perbuatannya, dan teoritis yang menangkap pengetahuan-pengetahuan. [11]
Nafs merupakan suatu substansi yang berdiri sendiri. Dan nafs dijadikan atau diciptakan Tuhan tiap kali ada manusia yang lahir ke dunia ini. Sungguhpun nafs dijadikan, artinya mempunyai permulaan, nafs bersifat kekal dan tak akan hancur. [12]
2. Makna Kematian
Pembahasan mengenai kematian tampaknya tidak bisa semata-mata didekati secara rasional-ilmiah. Filsuf-filsuf besar sekalipun, semisal Karl Marx (1818-1883), Sigmund Freud (1856- 1939), dan Jean-Paul Sartre (19O-198O).[13] bila hanya mengandalkan rasionalitas atau indriawi, akan ‘gagal’ mengkonsepsikan kematian. Pada akhirnya, tokoh-tokoh ini sampai pada kesimpulan bahwa kematian adalah akhir dan segalanya; kesimpulan yang sama sekali bertentangan dengan doktnin eskatologi dalam setiap agama.
Islam, dalam hal ini Al Qur’an, memiliki seperangkat argumen untuk merespon pandangan bahwa kematian adalah akhir dan segalanya. Respon ini mula-mula ditujukan kepada masyarakat Arab Jahiliah yang secara umum tidak mau mengakui Keesaan dan Kekuasaan Allah. Mereka membuat pertanyaan-pertanyaan seperti “mungkinkah tulang-belulang yang sudah hancur akan bisa dibangkitkan kembali?”,[14] sampai Alqur’an datang memberikan jawabannya. Namun, respon Alqur’an ini tidaklah diperuntukkan bagi keseluruhan masyarakat Arab Jahiliah. Sebab, melalui syair-syair mereka yang masih terpelihara sampai kini, ada indikasi kuat yang menunjukkan bahwa sebagian di antara mereka telah beriman kepada Allah dan menerima doktrin Kebangkitan-kembali. Dengan demikian, sejak masa-masa awal, Alqur’an sebetulnya sudah mengajukan berbagai argumen untuk membungkam para pengingkar doktrin Akhir.
Al-Gazali mengemukakan tiga argumen, Pertama, bahwasanya Alqur’an menantang para pengingkar untuk meimikirkan sesuatu yang kelihatan sangat mustahil tetapi bagi Allah sangat mudah diwujudkan. Tantangan semacam ini sudah sering disampaikan melalui berbagai konteks, dan selalu terbukti akan kebenarannya. Kedua, betapa kekuasaan Allah telah begitu nyata di depan mata, yaitu dengan mampu membuat Ashhab al-Kahf hidup selama ratusan tahun. Kisah ini memberi kesan bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Ketiga, mengembalikan sesuatu yang sudah ada sebelumnya pada dasarnya tidaklah berbeda dengan memulai sesuatu untuk yang kedua kalinya.[15]
Al-Gazili selanjutnya memperkuat argumentasinya dengan suatu pernyataan apologetik bahwa, adanya kehidupan setelah kematian ini tidak perlu diherankan dan diragukan lagi, sebab secara logis banyak hal sebetulnya yang lebih patut lagi diherankan tetapi toh kemudian diterima. Al-Gazali memberikan contoh seorang bayi yang semula adalah makhluk yang tidak berdaya tetapi kemudian mampu menjadi raja yang menguasai dunia. Jadi, penjelasan ini menyiratkan suatu konsep “sunnatullah”, bahwa kematian dan kehidupan merupakan proses yang terjadi secara alami menurut kehendak-Nya. Jika demikian halnya, maka tentu kematian dan kehidupan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kematian dan kehidupan memang merupakan proses kontinuitas yang saling terkait. Karena itu, kedua proses yang pasti dialami manusia ini kerapkali digambarkan secara beriringan di dalam Alqur’an. Kematian dan kehidupan, misalnya, sama-sama digambarkan terjadi dua kali.[16] Kematian pertama ‘diwujudkan’ ketika roh kehidupan belum dihembuskan kepada manusia, dan kematian kedua terjadi ketika roh kehidupan yang telah dihembuskan tersebut dicabut kembali. Adapun tentang kehidupan, Al qur’an menginformasikan bahwa manusia juga pasti mengalami dua kehidupan; yang pertama adalah kehidupan yang terjadi pada saat kesaksian roh akan ketuhanan Allah. Dengan demikian, menurut a1-Gazali, setelah kematian kedua (tercabutnya roh dan badan), akan ada lagi kehidupan yang ketiga, yang merupakan kehidupan abadi, yakni kehidupan Akhirat. Karena itu, kematian kedua, meski tampak sebagai kepunahan, tetapi pada dasarnya adalah sebuah proses menuju kehidupan yang ketiga, yaitu saat manusia dibangkitkan kembali. Kematian kedua, dalam konsepsi al-Gazali, adalah “Kiamat Kecil” (al Qiyimah as-Sughra), sehingga bila seseorang meninggal dunia, maka ia telah mengalami Kiamat Kecil. Hal ini sebagaimana yang terungkap dalam sebuah Hadis: “Siapa yang meninggal dunia, maka kiamatnya telab bangkit.”
A1-Gazali, menganalogikan tidur dengan kematian dari Sebuah Hadis: “Manusia sebenarnya tidur, bila mereka niati, barulah mereka bangun.”[17] Oleh karena itu, tatkala seseorang telah mati maka tampaklah berbagai perkara yang tidak sesuai lagi dengan apa yang telah disaksikannya pada saat di dunia.[18] Dari sinilah Al Ghazali berpendapat bahwa kematian bukanlah akhir dan pengalaman eksistensial manusia. Kematian adalah ‘pintu’ untuk memasuki suatu kehidupan baru yang sama sekali lain dan sebelumnya, kehidupan yang abadi, kehidupan Akhirat.
Dengan kesadaran bahwa kematian bukan akhir dan kehidupan, maka keyakinan akan adanya suatu alam setelah kematian adalah suatu keniscayaan. Dalam kaitan ini, doktrin Akhirat menjadi sebuah wacana penting sebagai upaya untuk menyikapinya. Keyakinan terhadap doktrin ini menyebabkan seseorang berusaha untuk menjangkau nilai-nilai jangka panjang, yang boleh jadi mengantarkannya untuk hidup dengan cara meninggalkan kepentingan-kepentingan duniawi.
3. Lukisan Terjadinya Kematian
Kematian yang dimaksud di sini adalah kematian kedua, yakni tercerabutnya nyawa (roh) dan jasad. Pada umumnya orang sepakat bahwa kematian ini merupakan peristiwa yang paling mengerikan, sehingga, mungkin tidak ada penistiwa yang lebih menakutkan di dunia ini selain daripada kematian. Namun demikian, kematian adalah sebuah fakta dan keniscayaan yang tidak bisa ditolak kehadirannya oleh suatu makhluk hidup. Persoalan ini memunculkan misteri, sebab tidak seorang pun manusia yang telah mati dapat hidup kembali untuk kemudian ditanyakan kepadanya bagaimana kondisi yang dialami ketika kematian, kejadian-kejadian apa yang dihadapi setelah kematian, dan aneka teka-teki lain yang menyelimuti.
Dari sudut pandang asketis, kematian dianggap sebagai sesuatu yang akan mengakhiri kehidupan jangka pendek (fana), sebagai pintu-masuk menuju kehidupan jangka panjang yang lebih mulia. Kendati demikian, bukan berarti bahwa kematian boleh ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar, seperti melakukan tindakan bunuh diri, sebagai upaya untuk mempercepat proses jalan menuju kehidupan jangka panjang. Bunuh diri, apa pun alasannya, tidak dibenarkan oleh ajaran agama mana pun, dan hal ini juga secara keras ditolak oleh al-Gazali,
Dari sudut etika universal, bunuh diri tidak dihenarkan karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dengan sengaja menghabisi usia hidup secara biadab.[19] Larangan ini secara implisit (tersirat) dalam Alqur’an Surat 2: 195: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah, dan janganlah kamuu menjatuhkan dirimu sendin ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnja Allah mnyukai orang-orang yang berbuat baik
Al-Gazali, beralasan tentang persoalan bunuh diri, adalah Hadis Rasulullah Saw.:
Barangsiapa membunuh dirinya sendiri dengan besi ia akan datang pada Hari Kiamat dengan membawa besi yang Ia tusukkan diperutnya dalam perut Neraka jahanam yang abadi untuk selama-lamanya, dan barang siapa menjatuhkan dirinya dari atas gunung kemudian ia membunuh dirinya, maka ia akan jatuh ke dalam Neraka Jabanam. [20]
Terkait dengan
soal kematian ini, Al Ghazali menuturkan secara naratif. Menurutnya, apabila
kematian seseorang telah mendekat, maka pada saat itu ada empat malaikat yang
mendatanginya: satu malaikat yang akan mencabut nyawanya dari kaki sebelah
kanan, satu yang akan mencabutnya dari kaki sebelah kiri, satu yang akan
mencabutnya dari tangan sebelah kanan, dan satu lagi akan mencabutnya dari
tangan sebelah kiri.[21]
Terlepas dan apakah jumlah “empat” ini didasarkan atas sumber-sumber yang sahih
ataukah merupakan riwayat-riwayat Israiliyat, a1-Gazali mengakui bahwa
yang bertugas mencabut nyawa manusia yang akan meninggal adalah Malaikat ‘Izrai1,
satu sosok yang kerap digambarkan sebagai sosok yang amat mengerikan ataupun
menyenangkan. A1-Gazali mensinyalir bahwa seorang calon mayit akan mengerti
tentang perihal Malaikat ‘Izrail ini sebelum ia menghembuskan napas
terakhirnya. Sang mayit akan menyaksikan ‘Izrail dan stafnya sesuai dengan
hakikat amal perbuatan yang pernah dikerjakannya. Kalau lidahnya masih dapat
bergerak, ia pasti akan berkata-kata dan mengajak dirinya sendiri berbicara
sesuai dengan apa yang disaksikannya. Ketika itulah ia mengira bahwa peristiwa-peristiwa
yang dialaminya tersebut diakibatkan oleh perbuatan setan, kemudian ia diam
sampai lisannya bisa berbicara secara sadar. Para malaikat akan mencabut nyawa
dan ujung jari-jemarinya, dan nyawanya akan lepas dan tubuhnya laksana terbuangnya
kotoran dan saluran air. Sementara itu, orang yang kufur, nyawanya akan lepas
dan tubuhnya laksana lepasnya tusuk berduri dan kain wol yang basah. Sang calon
mayit ini mengira perutnya penuh dengan duri, seakan-akan nyawanya keluar dari
lubang jarum, seakan-akan pula langit runtuh di atas bumi kemudian ia merasa
terjepit di tengah-tengahnya. Oleh karena itulah, Ka’ab, menurut a1-Gazali,
ketika ditanya tentang ‘rasa’ kematian, ia menjawab, “Adalah seperti ranting
berduri yang dimasukkan ke dalam perut seseorang yang kemudian ditarik keluar
oleh seseorang yang sangat kuat. Yang bisa putus akan terputus dan tertinggal,
sedangkan yang masih bisa melekat kuat pada rantingnya akan tetap ikut keluar”.
Dalam kaitan ini, al-Gazali mengutip sebuah Hadis bahwa Rasulullah pernah
bersabda:
“Sungguh, satu kali sekarat mati adalah jauh lebih sakit di bandingkan tiga ratus
kali pukulan pedang.”[22]
Dari uraian di atas, kelihatan sekali bahwa dalam teknik penguraian yang bersifat naratif, al-Gazali coba menghidupkan gambaran ketakutan-ketakutan kepada para pembacanya tentang pedih dan seramnya kematian itu. Pada gilirannya, ketakutan semacam ini diharapkannya dapat mencambuk umat untuk segera memberikan pengabdian yang tulus kepada Allah Swt agar mampu menghindarkan diri mereka dari bencana sakaratul maut yang sangat menyeramkan itu.
A1-Gazali memang berupaya menjadikan sebuah wacana keagamaan dapat digiring ke dalam pemahaman teologis. Sehingga, uraian yang memberikan ketakutan-ketakutan seperti itu sangat wajar diejawantahkan ke dalam masalah kematian, sebab bukankah manusia itu sendiri akan mengakhiri angan-angan keduniaannya ketika ia mengingat kematian? Manusia pada saat membayangkan dirinya sekarat (akan menemui kematian), yang kerap dibayangkannya adalah sekujur tubuhnya akan berkucuran keringat, kedua mata menjuling, dan sebagainya, sebagaimana pemandangan yang lazim disaksikan terhadap orang-orang yang sedang sekarat. Al-Gazali, dalam menanamkan upaya teologisnya, mengatakan bahwa Rasulullah sendiri pun juga telah mengalaminya. Implikasi yang ditimbulkan dan sekaligus dicanangkannya dari prosedur semacam ini adalah bahwa manusia senantiasa merasa takut, sebab tidak ada satupun di antara manusia yang mampu luput dari peristiwa itu; Nabi saja mengalaminya.
Menurut al-Gazali, yang menyebabkan calon mayit mengalami hal-hal maha dahsyat tersebut adalah karena ia herhadapan langsung dengan realitas kematian. Realitas kematian itu sendiri meniscayakan: Pertama, terjadinya peristiwa dahsyat yang akan menjadikan dada terasa sempit karena sesaknya jiwa di dalamnya. Kedua, terjadinya peristiwa yang sangat rahasia yang memunculkan getaran suara secana otomatis akibat bergejolaknya suhu temperamen tubuh sampai akhirnya suhu tersebut hilang. Dan proses ini, jiwa akan berubah menjadi dua kondisi: boleh jadi suhu badan naik sampai demikian panasnya, atau justru sebaliknya, terlalu dingin lantaran suhu temperatur badannya telah hilang. Dalam kondisi seperti ini, keadaan mayit akan sangat bervariasi. Di antara mereka ada yang ditikam oleh malaikat dengan menggunakan tombak api yang dilumuri dengan racun, sampai nyawa sang mayit mengalir keluar sebagaimana mengalirnya air raksa oleh reaksi panas, dan selanjutnya dicabut ketika sampai di tangannya yang tampak gemetaran. Hal ini sangat tergantung pada kadar keimanan seseorang.
Bahkan, al-Gazali, lebih jauh, melampaui pemikiran para psikolog, yakni dengan memaparkan tentang proses yang dialami seseorang manakala ia sedang menjalani kematian: Di antara mayit ada yang dicabut nyawanya setahap demi setahap sampai tertahan di tenggorokan, namun masih tetap ada sambungan dengan jantmig. Pada saat itulah ia akan ditikam dengan tombak api beracun, karena sesungguhnya nyawa tidak bisa meninggalkan jantung sampai ia ditikam. Dengan demikian, fungsi tombak tersebut adalah dapat menenggelamkan nyawa dalam lautan kematian. Sebagian para ahli ilmu kalam telah mengatakan bahwa hidup bukanlah jiwa saja, maksudnya adalah bahwa tubuh dan jiwa menyatu. Pada saat sekarat, jiwa akan menghadapi berbagai tantangan dan fitnah. Iblis akan mengirim dan menugaskan para pendukung dan teman-temannya, khusus mendatangi manusia yang berada dalam kondisi sakaratul maut ini, dengan mengubah wujud mereka menyerupai para leluhurnya yang telah tiada yang sangat dicintai dan disayangi, yang semasa hidup mereka bisa memberi nasihat kepadanya, seperfi ayah, ibu, saudara, dan teman-teman dekatnya. Ia datang kepadanya dengan berkata, “Engkau kini dalam proses kematian wahai Fulan! Sedangkan kami telah mendahuluimu dalam masalah ini, maka matilah engkau dalam keadaan Yahudi, karena Yahudi adalah agama yang diterima di sisi Allah!” Kalau mereka (petugas-petugas Iblis, —pen.) telah selesai menghadap kepada si calon mayit tetapi tipu-dayanya tidak berhasil lantaran si calon mayit tidak mau mengikuti nasihatnya, maka akan datang lagi sekelompok teman-teman Iblis yang lain dan berkata, “Matilah engkau dalam keadaan Nasrani, karena Nasrani adalah agama Almasih dan yang menyalin Nabi Musa!” Demikianlah seterusnya, mereka menyebutkan akidah masing-masing agama—sesuai dengan misi mereka.
Namun demikian, penggambaran naratif a1-Gazali tersebut, yang sepertinya sudah diajarkan secara massif di lingkungan Islam tradisonal,63 pada akhirnya dipertegas dengan pengakuan akan keterbatasannya dalam mengungkap realitas kematian itu sendiri, terutama dalam hal efek-efek fisikal yang dirasakan. Ia mengatakan bahwa, “Kesangatan-pedih mengenai sakaratul maut pada dasarnya tidak diketahui secara persis selain oleh orang yang langsung merasakannya”. Yang pasti harus diyakini menurutnya adalah bahwa kepedihan tercerabutnya nyawa yang dilakukan Malaikat ‘Izra’il itu langsung menyerang pada ‘diri’ nyawa itu sendiiri dan menghabiskan semua bagiannya. ‘Diri’ nyawa itulah yang dicabut, ditarik dan setiap urat, dan setiap saraf, dan dari setiap bagian atau organ tubuh; dan pangkal setiap rambut dan kulit, puncak kepala sampai telapak kaki, hingga terlepasnya nyawa (roh) dari raga. Di sini, benih-benih dualisme, yang membuat polarisasi antara jiwa (nyawa, roh) dan raga, yang kelak berimplikasi pada konsep Kebangkitan-kembalinya, sudah keliharan. Al.Gazali menganggap bahwa kematian hanya terjadi pada raga, dan tidak terjadi pada jiwa (nafs).
Demikian pemikiran al Ghazali tentang roh dan kematian yang bisa saya sampaikan semoga bermanfaat, Amin.
[1] Sibawaihi, Eskatologi Al Gazali dan Fazlur Rahman, Islamika, 2004, hal 38
[2] Ibid, hal 45
[3] Ahmad Khudori Sholeh, Kitab al Munqidz min adh-Dhalal, Al Ghazali, Pustaka Hidayah, 1998
[4] Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafati dalam Islam, Djambatan, 2003, hal 105
[5] Ibid, hal 106
[6] Loc. Cit
[7] Ibid
[8] Sayid Abu Bakar Ibn Muhammad terjemaha, Menapak jejak Kaum sufi, Surabaya, ofset 1997 hal 272
[9] QS. Al Isra’ : 85
[10] Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973 hal 86
[11] Ibid, hal 87
[12] ibid
[13] Marx dan kaumnya tidak mempercayai konsep Kebangkitan-kembali setelah kematian. Demikian juga Freud, sepanjang hayatnya, … tidak menemukan satu pun alasan untuk percaya kepada Tuhan, sehingga ia mengangap ritual keagamaan tidak punya arti dan manfaat apa pun dalam kehidupan ini. Jean-Paul Sartre punya asumsi dasar bahwa Tuhan itu tidak ada.
[14] QS. An Naazi´aat : 11 artinya : Apakah (akan dibangkitkan juga) apabila kami telah menjadi tulang belulang yang hancur lumat?" dan juga dala QS. Al Waqiah ayat : 47. Dan mereka selalu mengatakan: "Apakah bila kami mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami akan benar-benar dibangkitkan kembali? Dan juga QS. Ash Shoffat : 53 53. Apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan?"
[15] Argumen pertama berdasar QS. Al Isra’ : 51 artinya atau suatu makhluk dari makhluk yang tidak mungkin (hidup) menurut pikiranmu". Maka mereka akan bertanya: "Siapa yang akan menghidupkan kami kembali?" Katakanlah: "Yang telah menciptakan kamu pada kali yang pertama". Lalu mereka akan menggeleng-gelengkan kepala mereka kepadamu dan berkata: "Kapan itu (akan terjadi)?" Katakanlah: "Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat", Argumen kedua berdasar QS. Al Kahfi : 18. Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka. Argumen ketia berdasar QS. Yasin : 78. Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" 79. Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.
[16] QS. Al Mukmin : 11. Mereka menjawab: "Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?"
[17] Achmad Khudori Soleh, Kegelisahan Al Ghazali, Pustaka Hidayah, Bandung 1998 hal 19
[18] Al Ghazali, Al Munqidz hal 30-31
[19] Berbeda dengan kebiasaan orang Eskimo, apabila sudah tua mengasingkan diri di atas es tidak makan tidak minum sampai meninggal dunia.
[20] Dikutip Sibawaihi dalam Eskatologi Al Ghazali hal 85
[21] Ibid, 86
[22] Ibid hal 87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar