Rabu, 04 November 2020

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS PART II

 

Bab IV

AHLUSSUNNAH

 

 

A.     Pengertian Ahlussunnah

Istilah Ahlussunnah wal jamaah bagi umat islam pada umumnya dan terutama di Indonesia khususnya, bukanlah istilah baru. Sekalipun demikian, tidak jarang istilah ini dipahami secara berbeda, bahkan menimbulkan kekeliruan yang cukup fatal. Pemahaman Ahlussnnah wal Jama’ah awal mulanya timbul karena ingin membentengi umat islam dari merebaknya faham Muktazilah[1] terutama pada masa Abbasiyah.

Pada akhir abad ke 3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah Al Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu Abu Hasan Al Asy’ari di Bashrah dan Abu Manshur Al Maturidi di Samarkand. Dua Tokoh inilah yang dijuluki sebagai peletak dasar faham Ahlussunnah wal Jama’ah.

Pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah berikutnya adalah didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah :

 

“Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 firqoh (pecahan), kaum Nasrani menjadi 72 firqoh, sedangkan ummatku akan terpecah menjadi 73 firqoh. Yang selamat di antara mereka satu, sedangkan sisanya binasa. Sahabat bertanya: “Siapakah yang selamat itu ?”  Nabi menjawab: “Ahlussunnah wal Jamaah”, sahabat bertanya lagi: “Apakah Ahlussunnah wal Jamaah itu ?” Nabi menjawab: “Apa yang aku perbuat hari ini dan para sahabatku.”

 

Dari keterangan hadis di atas, jelas bahwa umat Islam akan terpecah menjadi golongan yang sangat banyak (71 atau 72  sekte)  dan sekte yang selamat hanya satu yaitu ” Maa ana ’alaihi wa ash haabii”. Karena itu setiap umat Islam yang mengikuti I’tiqad Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya akan selamat dari neraka. Karena dengan mengikuti I’tiqad Nabi dan para sahabatnya berarti mengikuti ajaran Islam yang murni dan lurus. Ajaran yang berdasarkan wahyu Allah yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, diperagakan, ditelandankan dan diamalkan oleh beliau serta dipahami, dihayati, diteladani dan diamalkan  oleh para sahabat.[2]

Dalam bukunya ” Al Milal wan Nihal ” Muhammad bin Abdul Karim Asyarastani menguraikan bawa umat manusia terbagi menjadi pemeluk agama-agama dan penghayat beberapa kepercayaan. Pemeluk agama seperti pemeluk agama Majusi, Nasrani, Yahudi dan umat Islam. Penghayat kepercayaan terbagi menjadi sekian banyak seperti para fiosof, Dahriyah, Sabiah, dan Barahman. Setiap kelompok terpecah lagi menjadi sekte, penghayat kepercayaan jumlahnya sangat banyak dan tidak diketahui dengan pasti dari mana kepercayaan itu diambil dan riwayat-riwayat yang sampai kepada mereka. Penganut agama Majusi terpecah menjadi tujuh puluh sekte, penganut agama Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu sekte, penganut agarna Nasrani terpecah menjadi tujuh puluh dua sekte dan penganut agama Islam terpecah menjadi tujuh puluh tiga sekte, yang selamat hanya satu karena kebenaran itu hanya satu. Dua buah proposisi yang kontradiktif tidak mungkin benar keduanya, demikian pula dalam ajaran agama : dua ajaran yang bertentangan tentu yang satunya benar dan yang satu lagi tersesat. Dan tidak mungkin akidah dua sekte yang bertentangan dapat dikatakan bahwa keduanya benar karena kebenaran itu satu, berarti kebenaran hanya pada satu sekte dari sekian sekte.[3]

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Ahlussunnah wal Jamaah sebagai ajaran sudah ada sejak zaman Rasulullah saw, yaitu ajaran Islam itu sendiri. Sebab yang disebut dengan “ma ana ’alaihi wa ashhabi”, adalah faham keagamaan yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Pada masa itu ajaran Islam dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan, tidak ada yang dipertentangkan. Baru setelah wafat Nabi Muhammad saw, bibit perselisihan mulai tampak. Tentang wafat tidaknya nabi, tentang pengganti nabi, tentang tempat pemakaman nabi dan lain-lain. Perselisihan ini kemudian berkembang dan akhirnya menyebabkan timbulnya firqah-firqah dalam Islam.

Firqah-firqah  dalam Islam timbul sesudah terjadi perang Shiffin antara pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 37 H. Perang ini diakhiri dengan majlis tahkim yang menyebabkan sebagian tentara Khalifah Ali merasa kecewa. Mereka memisahkan diri dari barisan Ali dan membentuk kelompok yang dikenal dengan  “Khawarij”. Golongan ini bersemboyan la hukma Illallah dan   memandang bahwa  para pelaku  majlis tahkim  yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Sufyan, dan Amr bin Ash adalah kafir. Seementara itu golongan yang tetap setia kepada Khalifah Ali di sebut “Syiatu Ali” yang disingkat “Syiah”. Kedua golongan ini semakin mengental dan terus berkembang menjadi sekte-sekte yang  sangat fanatik sehingga saling mengkafirkan. Dari perseteruan antara keduanya, lahirlah kelompok moderat yang berpendapat bahwa masalah kafir dan mukmin  adalah urusan Tuhan. Mereka mengembalikan semuanya kepada Allah SWT dan oleh karena itu dikenal dengan nama Murji’ah.

Kondisi politik pada masa pemerintahan Daulah Umayyah mempersubur lahirnya firqah-firqah dalam Islam. Pada masa itu muncul dua aliran yang berseberangan yaitu Jabariyah dan Qadariyah. Dalam perkembangan selanjutnya, pada permulaan abad kedua Hijriyah, muncul golongan Mu’tazilah yang rasionalis. Dikatakan demikian, karena mereka menenmpatkan dalil aqli di atas dalil naqli (nash dari Alqur’an dan Hadits). Golongan Mu’tazilah dengan kebebasan rasionya mencapai kejayaan pada masa Dinasti Abbasiyah, setelah ditetapkan oleh Khalifah Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq menjadi madzhab resmi yang dianut oleh Negara.

Banyaknya firqah sebagaimana disebutkan di atas sudah tentu menjadikan  api perselisihan semakin berkobar. Akibatnya ajaran Islam yang pada hakekatnya mudah dicerna dan diamalkan menjadi seolah-olah sulit dan rumit, karena diperdebatkan dengan emosional dan fanatisme terhadap golongan mereka masing-masing. Pada saat itu yang menjadi ukuran kebenaran bukanlah kemurnian ajaran Islam, seperti yang diajarkan dan dipraktikkan pada zaman Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya, akan tetapi rasa taasshub dan fanatik buta terhadap golongannya sendiri. Dalam kondisi yang demikian, dirasakan perlunya predikat Ahlussunnah wal Jamaah dipopulerkan oleh kaum muslimin yang tetap setia menegakkan As Sunnah wal Jamaah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai ajaran, Ahlussunnah wal Jamaah sudah ada sejak zaman sahabat Nabi dan tabi’in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi SAW :

Artinya : Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk”.

 

 Yang dimaksud sunnah “Al Khulafaur Rasyidin” dalam hadits tersebut meliputi seluruh sahabat Nabi yang memiliki kedudukan sangat penting dalam pengamalan dan penyebaran agama Islam. Ajaran mereka dilanjutkan oleh para tabi’in dan tabi’it tabi’in dan demikian seterusnya dilakukan para ulama yang dikenal sebagai “waratsatul ambiya” (pewaris para Nabi). Itulah sebabnya sehingga paham Ahlussunnah wal Jamaah adalah ajaran Islam yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in dan generasi-generasi berikutnya. Jadi Ahlussunnah wal Jamaah bukan satu ajaran yang muncul sebagai reaksi dari timbulnya beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Akan tetapi Ahlussunnah wal jamaah benar-benar sudah ada sejak zaman nabi dan justru aliran-aliran itulah yang menodai kemurnian ajaran Islam.

Sebagaimana keterangan di atas, Ahlusunnah wal Jamaah sebagai gerakan pemurnian ajaran Islam telah muncul pada abad ketiga Hijriyah. Tokoh  yang berjasa mempopulerkan kembali istilah Ahlusunnah wal Jamaah adalah Imam Abu Hasan Al Asyari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi. Abu Hasan Al Asyari yang  nama lengkapnya adalah Abu Hasan, Ali bin Ismail bin Abi Basyir bin Ishaq bin Ali bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H / 935 M. Pada mulanya  beliau  adalah murid seorang ulama Mu’tazilah, Abu Hasyim Al Jubba’i. Namun setelah meneliti faham Mu’tazilah dan membandingkannya dengan dalil-dalil naqli, ternyata terdapat banyak kesalahan. Akhirnya beliau menyatakan hasil penelaahannya dan mengemukakan kesalahan faham Mu’tazilah. Sedangkan Imam Al Maturidi yang  nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin  Manshur Al Maturidi lahir di kota Maturid Samarqand, dan  wafat tahun 333 H. Seperti Al Asy’ari , Al Maturidi juga mempunyai  kajian tentang i’tiqad Ahlusunnah wal jamaah sebagaimana yang diajarkan oleh  Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya.

Golongan Ahlusunnah wal Jamaah ini dalam waktu singkat berhasil menyebar ke seluruh dunia Islam dan berhasil menyisihkan pengaruh golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.

 

B.     Upaya Pelestarian dan Pengembangangan Ajaran Ahlussunnah wal jamaah

 

Ajaran Ahlussunnah wal Jamaah sudah ada sejak zaman Rasulullah, yaitu agama Islam itu sendiri. Artinya ajaran Islam yang dilaksnakan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya secara murni. Pada zaman Rasulullah segala masalah yang timbul, baik masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan keimanan dan ibadah, maupun masalah-masalah sosial, semua dikembalikan kepada Rasulullah, kemudian Allah SWT menurunkan wahyu untuk memberi ketetapan hukumnya.

Akan tetapi sering juga para sahabat melaksanakan sesuatu dengan pemikirannya sendiri, karena belum adanya ketentuan dari Rasulullah. Kemudian mereka datang kepada Rasulullah untuk melaporkan tindakannya. Jika Rasulullah membenarkan, sahabat yang lain ikut melaksanakannya. Hal ini disebut dengan hadits taqriri.

Sepeninggal Rasulullah, generasi pewaris ajaran Islam adalah  sahabat. Yaitu kaum muslimin yang menerima langsung ajaran Islam dari Rasulullah saw. Sebagai generasi pertama  ummat Islam, mereka bukan hanya mengerti materi ajaranannya, tetapi juga memahami latar belakang dan bagaimana Rasulullah melaksanakannya. Karena itu peran mereka dalam proses pemahaman, pewarisan dan pengembangan agama Islam sangat penting. Secara keseluruhan mereka dapat dipercaya, meskipun secara individu berbeda-beda tingkatannya.

Para sahabat meneruskan ajaran Islam kepada generasi kedua yang disebut tabi’in. Pada zaman sahabat dan tabiin ini, wilayah Islam mulai meluas, persoalan kian banyak, generasi sahabat semakin berkurang. Sehingga dirasa perlu adanya sarana baru untuk pewarisan ajaran Islam, tidak cukup hanya dengan lisan, tetapi perlu adanya catatan. Mushhaf Al Qur’an ditulis atas usul Umar bin Khattab. Khalifah Abu Bakar Asshiddiq mengusahakan adanya buku catatan (Mushhaf) berisi ayat-ayat Al Qur’an yang tersusun tertib, lengkap dan benar, untuk menjadi rujukan baku bagi kaum muslimin sepanjang zaman. Upaya ini selesai tuntas pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Dimana Khalifah Utsman menetapkan  satu-satunya mushhaf yang disepakati untuk kaum muslimin sepanjang zaman.

Disamping mushhaf juga dirasa perlu pencatatan hadits Rasulullah saw yang jumlahnya jauh lebih banyak dari pada ayat-ayat Al-Qur’an. Upaya pencatatan hadits ini baru dimulai secara resmi pada masa Khlaifah Umar bin Abdul Aziz (90 H). Akan tetapi pencatatan hadits ini tidak pernah dinyatakan tuntas.

Generasi pewaris setelah tabi’in  adalah tabiit-tabiin. Pada zaman ini agama Islam sudah berkembang sangat luas. Pemeluk agama Islam sudah terdiri dari berbagai bangsa, dan berasal dari berbagai agama. Hubungan dengan berbagai pihak bertambah banyak. Semuanya mendorong perkembangan keilmuan dikalangan kaum muslimin baik ilmu keislaman maupun ilmu lainnya.

 

C.  Upaya Pelestarian dan Pengembangan Ajaran Ahlussunnah wal jamaah di Indonesia

 

Ajaran Islam yang masuk ke Indonesia adalah ajaran yang berfaham Ahlusunnah wal jamaah. Ajaran ini terus dikembangkan oleh para wali dan muballigh, serta para ulama berabad-abad lamanya, melalui jalur pendidikan, pengajaran dan kegiatan dakwah rutin lainnya. Secara turun temurun para ulama mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dan mengkondisikan dengan tradisi bangsa Indonesia.

Baru  setelah masuknya pembaruan Islam ke Indonesia, pengembangan ajaran Ahlussunnah wlal jamaah di Indonesia mulai mendapat tantangan. Para ulama kemudian mengatur strategi untuk menghadapinya dengan mengintensifkan pertemuan-pertemuan yang akhirnya melahirkan NU. Dengan tujuan utama adalah mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.

Dalam rangka pelestarian dan pengembangan Ahlussunnah wal Jamaah NU menempuh berbagai cara, baik jalur pendidikan, pengajian-pengajian, maupun amalan tradisi yang menjadikan ciri khas warga NU.

Melalui jalur pendidikan NU mempunyai andalan pondok pesantren untuk mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Melalui jalur ini NU berusaha mengintensifkan pendidikan.

Dengan meningkatkan silaturrahmi antara ulama pesantren, NU memberikan motivasi untuk mengembangkan metode dan sistem pendidikan di pesantren. Materi pengajaran kitab kuning yang sudah melembaga di pesantren juga tetap dipertahankan dengan cara mengadakan penelitian terhadap kitab–kitab yang diajarkan untuk dapat diketahui, apakah kitab-kitab tersebut hasil karya para ulama ahlussunnah wal jamaah atau tidak. Itulah sebabnya dapat kita ketahui bahwa hampir seluruh pesantren NU memakai kitab yang seragam. Kalau terjadi perbedaan, hanya sistem dan tingkatannya.

Disamping itu telah didirikan lembaga-lembaga pendidikan formal baik dalam maupun di luar pesantren yang mengajarkan pendidikan agama Islam ala ahlussunnah wal Jamaah. Pendidikan formal ini teridiri atas madrasah dan sekolah umum, juga perguruan tinggi.

Untuk menyatukan langkah pengajaran, telah dirumuskan kurikulum yang dikeluarkan oleh Lembaga Pendidikan Maarif NU, yaitu lembaga dalam NU yang bertugas membina dan mengembangkan pendidikan. Di dalam Madrasah atau sekolah  ini diajarkan pendidikan Ke NU an/Ke Ahlussunnah wal Jamaah, sebagai mata pelajaran khusus yang memberikan pengetahuan tentang NU dan Ahlusussnnah wal Jama’ah. Ditetapkannya mata pelajaran khusus ini bagi semua siswa di lingkungan Madrasah/sekolah  Maarif, agar  putra-putra NU dapat menghayati dan mengamalkan agama Islam sesuai dengan amalan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw bersama para sahabatnya.

Nahdatul Ulama tidak berhenti pada pendidikan di pesantren, madrasah dan sekolah saja. Tetapi dalam rangka mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah, para ulama NU secara rutin memberikan pengajian di masjid dan di musholla dengan membaca kitab-kitab yang kesemuanya berdasarkan madzhab Ahlussunnah wal jamaah.

Pelestarian ajaran Ahlussunnah wal jamaah juga dilakukan setiap malam 15 Qamariyah yang disebut lailatul Ijtima’. Acara ini biasanya dimulai dengn melakukan sholat ghaib bersama untuk warga NU yang meninggal dunia dalam bulan itu, dengan terlebih dulu dibacakan nama-nama yang telah didaftarkan. Selesai shalat diteruskan dengan membaca tahlil dan kemudian dilengkapi dengn ceramah agama yang menjelaskan ajaran ahlussunnah wal jamaah dan memberi motivasi kepada seluruh warga NU untuk tekun mengamalkannya.

NU juga mempunyai tradisi yang secara rutin dilaksanakan baik kalangan tua maupun  muda, pria maupun wanita, seperti tahlilan, dibaan, manakiban, hadrah dan khatmil qur’an. Acara semacam ini juga dilakukan  dalam kegiatan-kegiatan tertentu, ketika warga mengadakan walimah, dan juga pada hari-hari besar tertentu seperti maulid nabi, Isra’ miraj  dan peringatan tahun baru hijriyah.

Usaha-usaha lain yang terus dikembangan sesuai dengan perkembangan zaman, adalah melalui tulisan-tulisan. Melalui penerbitan buku-buku yang mengupas tentang perkembangan ahlussunnah wal jamaah, maupun melalui media massa. Sarana ini banyak dilakukan oleh intelektual NU, khususnya diperuntukkan kepada wara-warga masyarakat yang terpelajar.

Dengan upaya dan usaha NU  baik yang dilakukan secara perorangan warga NU, atau secara organisasi, ajaran Ahlussunnah wal jamaah  di Indonesia tetap bisa dilestarikan dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan  masa. [4]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab V

INKAR SUNNAH

 

A.     Sejarah Inkar Sunnah

Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw. Dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, sedangkan setiap bid’ah adalah sesat. Dan kesesatan adalah neraka tempatnya. [5]

Goresan sejarah mengungkapkan, bahwa memang ada sekelompok orang yang mengaku beragama Islam namun menolak keberadaan Sunnah, mengingkari kedudukan Sunnah, dan tidak mau menggunakan Sunnah sebagai sumber syariat setelah Al-Qur’an. Mereka hanya mau mengakui Al-Qur’an satu-satunya sumber syariat. Secara terang-terangan mereka tidak mau menerima hadits-hadits Nabi, baik yang mutawatir maupun yang ahad. Kata mereka; Sunnah tidak dibutuhkan, Al-Qur’an saja sudah cukup tanpa Sunnah. Namun, di antara mereka ada juga yang menggunakan hadits sebagai hujjah, meskipun hanya sebagian dan pilih-pilih. Terutama hadits-hadits tentang larangan menulis hadits. Imran bin Hushain Radhiyallahu Anhu pernah berkata kepada seseorang yang menyerukan inkar Sunnah, “Sesungguhnya kamu ini orang yang dungu! Apa kamu mendapatkan dalam Kitab Allah kalau shalat zuhur itu empat rakaat dan bacaannya tidak dikeraskan?” Kemudian, Imran menanyakan banyak hal kepadanya tentang shalat, zakat, dan sebagainya. Lalu, Imran berkata, “Apa kamu mendapatkan tafsir semua itu dalam AlQur’an? Sesungguhnya hal ini masih samar dalam Al-Qur’an dan sunnahlah yang menjelaskan.[6]

Pada masa Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah, orang-orang yang mendustakan hadits Nabi masih saja ada, bahkan semakin banyak. Sehingga, tidak mengherankanjika Imam Asy-Syafi’i membuat satu bab khusus dalam Kitabnya (Al-Umm) yang mengisahkan terjadinya perdebatan antara dirinya dengan mereka yang menolak habis Sunnah Nabi. Sedangkan dalamAr-Risalah, Imam Asy-Syafi’i membuat satu pembahasan tersendiri yang cukup panjang tentang kekuatan khabar ahad sebagai hujjah. Dikisahkan, bahwa suatu hari manakala Imam Asy-Syafi’i sedang duduk di Masjidil Haram, dia berkata kepada orang-orang di sekelilingnya, “Tidaklah kalian bertanya tentang suatu masalah kepadaku, melainkan akan saya jawab dengan Kitab Allah.” Lalu, ada seseorang yang bertanya, “Apa yang engkau katakan apabila orang yang sedang ihram (muhrim) membunuh kalajengking?” Imam Asy-Syafi’i berkata, “Tidak apa-apa.” Orang itu berkata lagi, “Mana dalilnya dalam A1-Qur’an?” Imam Asy-Syafi’i berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman; Dan apa-apa yang dibawa Rasul kepada kalian, maka ambillah. Sedangkan Rasul bersabda; Kalian harus memegang teguh Sunnahku dan Sunnah khulafa’ur rasyidin sesudahku. Dan, Umar Radhiyallahu Anhu berkata; Orang yang sedang ihram boleh membunuh kalajengking !”

Selanjutnya, kelompok inkar Sunnah sedikit demi sedikit terus berkurang jumlahnya, bahkan bisa dibilang sudah punah. Tidak ada lagi kabar eksistensi mereka paska abad kedua Hijriyah. Mereka tidak disinggung dalam kitab-kitab tarikh maupun literatur tentang agama-agama dan berbagai aliran di dunia. Hingga akhirnya pada sekitar abad delapan belas, masa penjajahan Barat atas negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, benih-benih inkar Sunnah ini mulai tampak muncul kembali. Ketika itu, Inggris menduduki sebagian negara-negara Islam atau mayoritas muslim yang sudah mapan beberapa abad sebelumnya. India yang waktu itu belum berpisah dengan Pakistan dan Bangladesh, adalah salah satu tarjet proyek penghancuran Islam oleh Inggris. Inggris sadar bahwa untuk menghancurkan Islam bukanlah perkara mudah selama umatnya masih mempunyai akidah yang lurus dan jiwa yang bersih. Oleh karena itu, mereka sengaja mencari orang-orang Islam yang gila harta dan budak hawa nafsu untuk menembus dinding akidah umat Islam. Orang-orang seperti ini sengaja dimunculkan oleh musuh-musuh Islam dengan dukungan penuh material spiritual. Mereka pun merusak akidah umat dan memecah-belah kesatuannya. Paham inkar Sunnah dimunculkan dan dimanfaatkan oleh musuh Islam untuk menghabisi Islam dengan cara menghancurkan sendi-sendi utamanya. Bagaimana tidak, karena yang digerogoti dan dinafikan adalah Sunnah Nabi-Nya! Orang-orang inkar Sunnah ini ada yang menamakan kelompoknya sebagai “Qur’aniyyun” (pengikut AlQur’an), ada yang menamakan “Jama’atul Qur’an,” dan ada juga yang melabelkan diri sebagai “Ahlul Qun’an!”

Kelompok ingkar sunnah ini tersebar dibeberapa belahan dunia, antara lain ada di : India, Mesir, Libia, Siria, Kuwait, Yordania, Iran, Amerika dan Malaysia. Sedangkan ingkar sunnah di Indonesia juga ada, beserta tokoh penyebarnya.

Adapun beberapa tokoh ingkar sunnah Indonesia adalah sebagai beriut ;

1.   H. Abdurrahman Pedurenan : Ajarannya shalat tidak pakai adzan dan iqomah karena di dalam Al Quran tidak ada. Sedangkan seluruh shalat dikerjakan 2 rakaat semuanya

2.   Ustadz H. Sanwanir : Ajarannya boleh tidak berpuasa pulan ramadlan kecuali kalau mereka langsung melihat bulan

3.   Teguh Esha : Bahwa hadits dalam shahih Al Bukhori dan Muslim adalah dusta-dusta yang menyesatkan manusia. Dan Teguh Esha juga membuat tata cara shalat sendiri yang tidak ada landasannya dari Sunnah Nabi.

4.   Isa Bugis : Menolak semua mukjizat para nabi dan rasul. Dia mengatakan bahwa mukjizat Nabi Musa as membelah lautan dengan tongkatnya adalah dongeng lampau Aladin. Ka’bah adalah kubus berhala yang dikunjungi turis setiap tahun.

5.   dll.

 

B. Alasan Mereka Menolak Sunnah


Mereka orang (inkar sunnah) hanya mau beriman kepada Al-Qur’an dan menerima Al-Qur’an saja sebagai satu-satunya kitab sumber syariat, mereka pun juga mempunyai sejumlah alasan kenapa menolak Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Meskipun menurut pengakuan mereka, sebetulnya yang mereka tolak bukanlah Sunnah Rasul, karena Sunnah Rasul adalah Al-Qur’an itu sendiri. Akan tetapi, yang mereka tolak sejatinya adalah hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Nabi. Sebab, hadits-hadits tersebut menurut mereka merupakan perkataan-perkataan yang dikarang oleh orang-orang setelah Nabi. Dengan kata lain,  hadits-hadits itu adalah buatan manusia ! Setidaknya, ada sembilan alasan kenapa mereka menolak hadits Nabi, yaitu:

 

Pertama; Yang Dijamin Allah Hanya Al-Qur’an, Bukan Sunnah.

 

Sekiranya Allah menghendaki akan menjaga agama Islam ini dengan A1-Qur’an dan Sunnah, niscaya Dia akan memberikan jaminan tersebut dalam Kitab-Nya. Akan tetapi, karena Allah menghendaki bahwa hanya Al-Qur’anlah yang Dia jamin, maka Allah sama sekali tidak memberikan jaminan kepada selain Al-Qur'an. Allah tidak memberikan jaminan-Nya kepada Sunnah. Allah telah mencukupkan agama ini dengan Al-Qur'an saja tanpa yang lain. Allah Jalla wa 'Ala berfirman,

 

"Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan adz-dzikr (Al-Qufan), dan Kami benar-benar akan menjaganya." (Al-Hijr: 9)

Dalam ayat ini, yang dijamin akan dijaga oleh Allah adalah Al-Qur'an.

 

Kedua; Nabi Sendiri Melarang Penulisan Hadits

 

Sama seperti Syiah yang tidak konsisten dengan sikapnya terhadap Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu Anhu. Betapa bencinya mereka (orang-orang Syiah) kepada Umar yang dianggap sebagai perampas hak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah, Mereka juga mengatakan, bahwa Umar-lah yang mengharamkan nikah mut'ah, bukan Nabi.

Begitu pula dengan kelompok inkar Sunnah. Di satu sisi mereka menolak hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tetapi di sisi lain, manakala ada hadits yang sesuai dengan nafsu syahwat mereka, maka mereka pun mendukungnya. Bahkan, tanpa malu-malu mereka menjadikannya senjata untuk membenarkan sikap mereka dalam menyerang Sunnah Nabi. Mereka selalu mendengung-dengungkan dan berpegang pada hadits Nabi yang mengatakan, "Janganlah kalian menulis sesuatu pun danku selain Al-Qur^an. Barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Quf an, maka hendaklah dia menghapusnya. "(HR. Ahmad, Muslim, dan Ad-Darimi dari Abu Said Al-Khudri)

Yang dimaksud "tentang aku" atau "dariku" dalam hadits ini adalah segala yang berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallarn, baik itu berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi'liyah), maupun persetujuan (sunnah taqririyah).

Dan hadits lain yang diriwayatkan Imam Al-Khathib Al-Baghdadi (w. 463 H) dari Abu Hurairah, yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallani pernah menemui sebagian sahabat yang ketika itu sedang menulis hadits. Beliau berkata, "Kalian sedang menulis apa?" Mereka menjawab, "Hadits-hadits yang kami dengar dari Anda." Beliau bersabda, "Apakah kalian berani menulis kitab selain Kitab Allah? Sesungguhnya umat-umat sebelum kalian itu menjadi sesat dikarenakan mereka menulis kitab bersama-sama Kitab Allah Ta'ala.

Dua hadits ini dan hadits-hadits lain yang senada, mereka jadikan alasan untuk menolak Sunnah. Sebab, Nabi sendiri telah melarang penulisan hadits. Lalu, bagaimana mungkin umatnya mengaku memiliki hadits-hadits yang bersumber dari Nabi? Jadi, sesungguhnya yang namanya hadits Nabi itu tidak ada, karena Nabi sendirilah yang melarang menulis hadits. Dan, memang tidak mungkin bagi Nabi untuk mengatakan perkataan-perkataan selain Al-Qur'an!

 

Ketiga; Hadits Baru Dibukukan Pada Abad Kedua Hijriyah

 

Orang-orang inkar Sunnah sama saja dengan para orientalis dalam hal ini. Mereka mengatakan bahwa hadits-hadits Rasulullah saw yang terdapat dalam kitab-kitab Sunnah banyak bohongnya dan mengada-ada karena baru dibukukan ratusan tahun setelah Nabi wafat. Kata mereka, isi kitab-kitab yang diklaim sebagai berasal dari Nabi itu tak lain merupakan hasil dari gejolak politik, sosial, dan keagamaan yang dialami kaum muslimin pada abad pertama dan kedua. Jadi, bagaimana mungkin kitab yang dibukukan sekitar dua abad setelah wafatnya Nabi diyakini sebagai Sunnah Nabi?

Ignaz Goldziher (1850 - 1921 M), salah seorang tokoh orientalis Yahudi dari Hongaria mengatakan, "Sebagian besar hadits adalah hasil perkembangan keagamaan, politik, dan sosial umat Islam pada abad pertama dan kedua. Tidak benar jika dikatakan babwa hadits itu merupakan dokumen umat Islam sejak masa pertumbuhannya. Sebab, itu semua merupakan buah dari usaha umat Islam pada masa kematangannya.

Kata orang inkar Sunnah, apabila memang benar bahwa hadits-hadits itu bersumber dari Nabi, semestinya sudah dibukukan sejak masa Nabi hidup. Bukan dua abad setelah beliau wafat.

 

Keempat; Banyak Pertentangan Antara Satu Hadits dengan Hadits yang Lain

 

Di antara alasan yang membuat mereka menolak hadits adalah terdapat banyaknya hadits-hadits yang bertentangan satu sama lain. Kata mereka, sekiranya itu adalah benar berasal dari satu sumber, yakni dari Nabi, niscaya tidak akan ada di dalamnya hadits yang bertentangan. Lalu mereka pun menyebutkan sejumlah contoh hadits dalam suatu masalah yang saling bertentangan. Dan, di antara hadits yang sering mereka permasalahkan, misalnya adalah hadits tentang bacaan tasyahhud, dimana banyak sejumlah riwayat tentang bacaan dalam tasyahhud ini. Kemudian, dikarenakan hal ini, mereka (inkar Sunnah) pun mengganti bacaan tasyahhud dengan ayat kursi

 

Kelima; Hadits Adalah Buatan Manusia

 

Orang inkar Sunnah selalu mendengung-dengungkan bahwa yang diturunkan Allah Ta'ala hanyalah Al-Qur'an, dan bahwa selain Al-Qur'an adalah bukan dari Allah. Mereka hendak mengatakan, bahwa hadits-hadits Nabi atau Sunnah adalah buatan manusia, yang tidak mesti diikuti kecuali jika cocok dengan akal. Demikianlah salah satu cara mereka untuk menjauhkan kaum muslimin dari Sunnah Nabinya.

Salah seorang tokoh mereka, DR. Muhammad Khalafallah berkata, "Selain Al-Qur’an adalah pemikiran manusia, dimana kita berinteraksi dengannya sesuai dengan akal kita.

Perkataan semacam ini kurang lebih sama dengan apa yang dikatakan Goldziher, "Ribuan hadits adalah buatan para ulama yang ingin membuat agama ini menjadi sempurna. Para ulama itu membuat-buat hadits sendiri karena dalam Al-Qur’an hanya sedikit hukum yang diberikan.

Setelah memaparkan sejumlah pendapat dari DR. Ishmat Saifud-daulah (seorang tokoh inkar Sunnah) yang menyerang Sunnah dan mendiskreditkan para ulama, DR. Salim Ali Al-Bahnasawi menyimpulkan bahwa DR. Ishmat menganggap semua yang dianggap sebagai sumber syariat Islam yang berasal dari manusia adalah dibuat-buat (maudhu'), berbagai kaedah yang ditetapkan manusia adalah dibuat-buat, istimbat adalah dibuat-buat, qiyas dibuat-buat, istihsan dibuat-buat, istishab dibuat-buat, ijma' dibuat-buat... dst.

 

Keenam; Hadits Bertentangan dengan AI-Qurxan

 

Orang inkar Sunnah dengan segala kebodohan dan kesesatannya mengatakan bahwa banyak hadits yang bertentangan dengan Al-Qur'an. Mereka benar-benar menutup mata (atau memang Allah telah membutakan mata mereka?) bahwa fakta yang sesungguhnya bukanlah pertentangan antara hadits dengan Al-Qur'an, melainkan Sunnah datang untuk menjelaskan sebagian isi Al-Qur'an yang masih samar, dan memerinci sebagian hukum dalam Al-Qur'an yang disebutkan secara global. Bahkan, ada pula Sunnah yang menasakh menghapus) ayat Al-Qur'an. mi

Mereka pun menyodorkan sejumlah hadits yang mereka anggap bertentangan dengan Al-Qur'an. Misalnya,

1 . Hadits tentang shalat lima waktu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda :

"Lima kali shalat dalam sehari semalam. "(Muttafaq Alaihdari Thalhah binUbaidillah)

Menurut mereka, hadits ini dan hadits-hadits lain tentang kewajib-an shalat lima waktu bertentangan dengan firman Allah Ta'ala,

"Dirikanlah shalat ketika matahari tergelincir hinggagelap malam dan (dirikan pula shalat fajar. Sesungguhnya shalat fajar itu disaksikan (oleh malaikat)." (Al-Israa 78)

Dalam ayat ini sama sekali tidak disebutkan shalat lima waktu. Allah hanya menyebutkan tiga waktu shalat dalam Al-Qur'an. Jadi, menurut mereka, hadits tentang shalat lima waktu bertabrakan dengan Al-Qur'an!

2. Hadits Nabi tentang kadar zakat mal 2,5 %. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Sesungguhnya aku telah memaafkan kalian dari zakat kuda dan budak. Tetapi, berikanlah dua setengah persen, dari setiap empat puluh dirham; satu dirham. " (HR. Ibnu Majah dari Ali bin Abi Thalib)

Hadits ini bertentangan dengan ayat,

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka. " (At-Taubah: 103)

Dalam ayat ini, dan dalam banyak ayat tentang perintah zakat dalam Al-Qur'an, Allah sama sekali tidak menentukan bahwa kadar zakat adalah dua setengah persen. Jadi, hadits tentang zakat ini bertentangan dengan Al-Qur'an!

3. Hadits tentang haramnya menikahi suami ibu susuan dan anak-anak dari saudara sesusuan. Dalam hal ini Nabi bersabda,

"Diharamkan karena sesusuan sama sepertiyang diharamkan karena nasab."(RR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas)

Hadits ini bertentangan dengan firman Allah berikut,

"Dan ibu-ibuyang menyusui kalian dan saudara-saudaraperempuan kalian yang sesusuan." (An-Nisaa": 23)

Dalam ayat ini, yang diharamkan hanyalah ibu yang menyusui dan saudara-saudara perempuan yang sesusuan. Tetapi, dalam hadits di atas, maka suami si ibu yang menyusui pun menjadi tidak boleh menikahi anak perempuan yang disusui oleh istrinya. Begitu pula dengan anak-anak dari saudara-saudara sesusuan, itu pun juga tidak boleh dinikahi. Dengan demikian, hadits ini bertabrakan dengan Al-Qur'an!

4. Hadits tentang hukuman rajam bagi orang berzina yang telah menikah. Ini adalah hadits mutawatir. Rasulullah saw bersabda,

"Demiyangjiwaku berada di Tangan-Nya, sungguh akan akuputuskan urusan kalian berdua berdasarkan Kitab Allah. Budak perempuan dan kambing harus kamu kembalikan. Anakmu harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Pergilah, hai Unais, temui istri orang ini. Jika dia mengaku, maka rajamlah dia." Maka, Unais pun pergi menemui perempuan tersebut, dan dia mengaku. Lalu, Nabi memerintahkan agar perempuan itu dirajam, dan dirajamlah dia. (Muttafaq Alaih dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al-Juhani)

Hadits ini bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat An-Nur tentang ketentuan hukuman bagi pezina,

 

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka cambuklah masing-masing seratus kali cambukan. Dan janganlah rasa kasihan kepada keduanya mencegahmu untuk menegakkan agama Allah. " (An-Nur: 2)

Dalam ayat ini, jelas-jelas disebutkan bahwa hukuman bagi orang yang berzina adalah seratus kali cambukan. Sama sekali tidak ada kata-kata yang menyebutkan bahwa orang berzina yang telah menikah hukumannya adalah rajam. Jadi, hadits di atas bertentangan Al-Qur'an!

 

Ketujuh; Hadits Merupakan Saduran dari Umat Lain

 

Yang mengherankan, orang-orang inkar Sunnah ini pandai sekali dalam masalah ajaran-ajaran umat sebelum kita yang termaktub dalam Bibel.1321 Mereka lebih menguasai Bibel daripada Sunnah! Dalam hal ini, mereka punya satu tujuan busuk yang nyata; membuktikan bahwa Sunnah Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab hadits adalah saduran dari umat lain. Atau katakanlah, saduran dari Bibel (Al Kitab).

Sejumlah contoh kasus yang sering mereka kemukakan, di antaranya yaitu:

1. Kerudung Penutup Kepala

Mereka mengatakan, bahwa kerudung kepala bagi perempuan bukanlah ajaran Nabi karena tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Yang terdapat dalam Al-Qur'an adalah perintah untuk menutup dada, bukan menutup kepala. Sebab, kepercayaan menutup kepala ini adalah saduran dari kitab Bibel yang diambil oleh para ulama Islam masa lalu dan dikatakan sebagai hadits Nabi.

Ajaran memakai kerudung kepala ini terdapat dalam kitab Bibel, 1 Korintus, Bab 11:

[1 Kor 11:5] "Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya."

[1 Kor 11:6] "Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah iajuga menggunting rambutnya. Tetapi bagi perempuan adalah penghinaan, bahawa rambutnya digunting atau dicukur, rnaka haruslah ia menudungi kepalanya.

[1 Kor 11:10] "Sebab itu, perempuan harus memakai tanda dibawa di kepalanya oleh karena para malaikat.

[1 Kor 11:13] "Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?"

Jadi, perintah untuk perempuan supaya mereka menutupi Kepalanya adalah dari Bibel. Kepercayaan ini telah meresap ke dalam kepercayaan Islam dan sekarang menjadi perkara yang wajib diamalkan. Dan malangnya, orang-orang Kristen sendiri tidak mengikuti ajaran Bibel, kaum perempuannya tidak menutup kepala. Justru orang Islamlah yang mengamalkan ajaran Bibel tersebut!

2. Khitan

Menurut orang-orang inkar Sunnah yang mengaku sebagai ahlul Qur'an atau Qur'aniyyun, ajaran khitan adalah saduran dari kepercayaan umat lain. Sebab, dalam Al-Qur'an sama sekali tidak ada perintah Allah untuk berkhitan. Akan tetapi, justru ajaran khitan ini terdapat dalam Bibel. Perjanjian Penyunatan di dalam Bibel menyatakan:

[Kej 17:14] "Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerat kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orangsebangsanya: ia telah mengingkariperjanjian-Ku."

[Kej 17:24] "Abraham berumur sembilan puluh sembilan tahun ketika dikerat kulit khatannya."

Menurut orang inkar Sunnah, dari Perjanjian Penyunatan inilah para ulama kaum muslimin saat itu mengadopsi kepercayaan khitan ini dan memasukkannya ke dalam ajaran Islam, untuk kemudian mengatakannya sebagai hadits Nabi. Padahal, Nabi sama sekali tidak mengajarkan masalah khitan dan tidak memerintahkannya. Sebab, dalam Al-Qur'an tidak ada ayat tentang khitan.

3. Memelihara Jenggot

Orang-orang inkar Sunnah mengatakan, bahwa memelihara jenggot bagi laki-laki bukanlah ajaran agama Islam. Dalam Al-Qur'an tidak pernah disinggung masalah ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala sama sekali tidak pernah menyuruh kaum-kaum laki umat Islam untuk memelihara atau memanjangkan jenggot. Ini bukanlah ajaran Al-Qur'an dan bukan pula ajaran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dalam kitab Bibel disebutkan dengan jelas:

[Imamat 1:27] "Janganlah karnu mencukur tepi rambut kepalamu berkeliling dan janganlah engkau merusakkan tepi janggutmu."

[Imamat 21:5] "Janganlah mereka menggundul sebagian kepalanya, dan janganlah mereka mencukur tepi janggutnya, dan janganlah mereka menggoresi kulit tubuhnya."

[2 Samuel 10:5] "Hal ini diberitahukan kepada Daud, lalu disuruhnya orang menemui mereka, sebab orang-orang itu sangat dipermalukan. Raja berkata; Tinggallah di Yerikho sampai janggutmu itu tumbuh, kemudian datanglah kembali."

4. Kata "Amin"

Orang-orang inkar Sunnah mengatakan bahwa kata "amin" yang selalu kita baca ketika shalat dan berdoa adalah saduran dari Bibel. Dalam Al-Qur'an sama sekali tidak ada kata "amin," termasuk dalam surat Al-Fatihah, tidak ada kata amin di sana. Dan, Allah tidak pernah memerintahkan umat Islam untuk membacanya. Namun, justru kata "amin" ini bisa kita dapatkan dalam Bibel. Tak kurang dari 50 kali kata "amin" ini diulang dalam Bibel, yaitu di:

Num 5:22.27 Num 5:22.28 Deut 27:15.40 Deut 27:16.17 Deut 27:17.15 Deut 27:18.18 Deut 27:19.23 Deut 27:20.25 Deut 27:21.17 Deut 27:22.27 Deut 27:23.17 Deut 27:24.16 Deut 27:25.19 Deut 27:26.22 IKgs 1:36.10 IChr 16:36.18 Neh 5:13.42 Neh 8:6.14 Neh 8:6.15 Pss 41:13.13 Pss 41:13.15 Pss 72:19.15 Pss 72:19.17 Pss 89:52.7 Pss 89:52.9 Pss 106:48.19 Jer 28:6.6 Mark 16:20.24 Rom 1:25.26 Rom 9:5.26 Rom 11:36.19 Rom 15:33.9 Rom 16:27.13 ICor 14:16.20 ICor 16:24.10 2Cor 1:20.18 Gal 1:5.10 Gal 6:18.13 Eph 3:21.19 Phil 4:20.12 ITim 1:17.19

 

Kedelapan; Hadits Membuat Umat Islam Terpecah-belah

 

Di antara alasan yang sering dilontarkan kenapa mereka menolak Sunnah Nabi adalah karena hadits dianggap membuat umat Islam berpecah belah. Banyaknya hadits yang berbeda satu sama lain, membuat kaum muslimin pecah menjadi sejumlah golongan. Ada Ahlu Sunnah wal Jama'ah, Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murji'ah, Qadariyah, Jabariyah, dan lain-lain. Belum lagi pecahnya Ahlu Sunnah dengan adanya berbagai madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, dan Zhahiriyah. Itu pun belum termasuk aliran tasawuf dengan berbagai tarekatnya.

Tuduhan orang inkar Sunnah dalam masalah inilah yang rnembuat mereka selalu mendengung-dengungkan istilah, "Satu Kitab, Satu Tuhan, dan Satu Umat! Mereka mengatakan, bahwa dengan hanya berpegang teguh pada Al-Qur’an sajalah umat Islam bisa bersatu dan tidak berpecah belah.

 

Kesembilan; Hadits Membuat Umat Islam Mundur dan Terbelakang

Menurut orang-orang inkar Sunnah, sesungguhnya hadits-hadits tentang mukjizat Nabi, takdir, adzab kubur, pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir, kisah-kisah yang bagaikan dongeng, cerita-cerita tentang akhir zaman, syafaat Nabi di akhirat, dan hal-hal ghaib lainnya, membuat kaum muslimin mundur dan terbelakang sehingga tidak bisa maju berkembang bersaing dengan umat-umat lain.

Begitulah keyakinan orang-orang inkar sunnah, yang bisa dibaca dalam bukunya Abduh Zulfidar Akaha halaman 69-105.

 

BAB VI

PENUTUP

 

 

Semoga paparan diatas memberikan pemahaman kepada kita, sehingga kita bisa terhindar dari mengikuti ajaran ingkar sunnah, Amin.



[1] Pustaka Maarif NU, Islam Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia hal 61

[2] PW. LP. Maarif NU Jawa Timur, Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an hal 39

[3] Muhammad bin Abdul Karim Asyarastani ”Al Milal wan Nihal”

[4] PW. LP. Maarif NU Jawa Timur, Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an hal 39

[5] Abduh Zulfidar Akaha, Debat Terbuka Ahlussunnah versus Inkar Sunnah hal 3

[6] Ibid hal 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar