A. KATA PENGANTAR
Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw. baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya. [1]
Mempelajari Hadis dengan segala permasalahan yang mengitarinya merupakan suatu usaha yang sangat mulia. Karena mempelajari dan mengetahui hadis dengan segala permasalahannya akan mengantarkan kepada kita suatu pemahaman bahwa hadis merupakan sumber ajaran islam yang kedua setelah Al Quran. Sehingga kita terhindar dari golongan orang-orang yang meragukan hadis dan bahkan mengingkarinya, sebagaimana golongan ingkar sunnah.
Dari berbagai permasalahan yang berkaitan dengan hadis itu dibagi menjadi dua cabang besar yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Diroyah.[2] Dari dua cabang besar ini masih dibagi lagi menjadi beberapa cabang-cabang ilmu lagi, diantaranya ; Rijalul Hadis, Al Jarh wat Ta’dil, Tarikh Ar Ruwah, Illal Hadis, Nasikh wal Mansukh, Asbabul wurud, Garibul Hadis, At Tashif wat Tahrif, Mukhtaliful Hadis. [3] Selanjutnya dari banyaknya cabang-cabang itu membahas tentang yang menjadi unsur-unsur pokok hadis yaitu ; Sanad, Matan dan Rowi.[4]
Semua itu membutuhkan perhatian yang sangat serius dari kita sebagai muslim, agar mau mempelajari, mengkaji selanjutnya mewariskan kepada generasi-generasi selanjutnya. Agar generasi setelah kita nanti tetap meyakini bahwa Hadis itu merupakan sumber ajaran agama Islam yang kedua.
Tulisan ini tidak membahas dari semua permasalahan yang terkait dengan hadis sebagaimana tersebut diatas, melainkan hanya tentang ”Sanad” saja yang ingin saya paparkan dalam tulisan ini.
Semoga sedikit paparan ini bisa menggugah pikiran kita untuk lebih memperdalam lagi ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan hadis.
B. PENGERTIAN SANAD
Sanad secara etimologi diartikan sebagai ” L<vã oi SZ%<ã äi ”(Ma irtafa’a minal ardli) artinya bagian yang menonjol dari bumi.[5] Sedang secara terminologi, Sanad adalah ” o&jîeã _}=Ê ” (Thoriqul Matni) artinya rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber primernya.[6] Atau sanad juga berarti ; tempat bersandar sesuatu.[7] Karena kita bersandar pada para periwayat untuk mengetahui pernyataan Nabi saw. Sanad atau thariq juga ialah jalan yang dapat menghubungkan matnul hadis kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw.[8]
Untuk lebih jelasnya, kita perhatikan sebuah contoh berikut [9]:
äîînî)91 ÀC~îîî^îeã éRæ < oæ =jRi oæ 9jI äînîî)91
qîsp 9î1ãqîeã 9çîîQ oQ éip?2îîîjîe ã häîFîîs qæ ü
oæã 9jI änî) 91k~îb1oæ läj*Q äînî)918ä}> oæã
läîîîîZîQ oîæ läjî*îQ oQ lã=îjîîQ oQ <9îîbînîjîeã
oi á kfîîîîîAp uîî~îfQ êã ûfI êã dqîîA< dä]á dä]
r9B- oi rä}äË5 #-=5 xqMqîeã oB1ýY ýMq%
kfBi rãp< r<äZÎü #7 oi ,=8 .1
Artinya : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ma’mur bin Rabi’i Al Qaisi, katanya telah menceritakan kepadaku Abu Hisyam Al Mahzumi dari Abu Al Wahid, yaitu Ibnu Ziyad, katanya telah menceritakan kepadaku Usman bin Hakim, katanya telah menceritakan kepadaku Muhammad bin al Munkadir, dari Amran, dari Usman bin Affan ra. Ia berkata”Barang siapa yang berwudlu dengan sempurna (sebaik-baik wudlu), keluarlah dosa-dosanya dari seluruh badannya, bahkan dari bawah kukunya”.
Dari hadis di atas, Muhammad bin Ma’mur bin Rabi’i Al Qaisi sampai dengan Usman bin Affan ra. disebut sanad dari hadis tersebut. Sedang mulai kata ” Man tawadldlo’a ” sampai dengan tahta adhfaarihi, disebut matan dari hadis teresebut. Sedangkan Imam Muslim yang ditulis di akhir hadis tersebut dinamakan perawi atau mudawwin.
C. SANAD PRA ISLAM DAN ZAMAN ISLAM
Meskipun periwayatan bukan hal yang baru, dan telah dikenal sebelum Islam, tetapi periwayatan sebelum Islam tidak menganggap penting terhadap kebenaran ceritanya, penyelidikan keadaan para perawinya dan kebenaran cerita itu dengan fakta yang sebenarnya, Mereka tidak memiliki sifat kritis, pembahas, penilai, dan penyaring segala yang diriwayatkan seperti yang dimiliki oleh Islam. Yang mereka riwyatkan itu tidak mengandung nilai-nilai suci yang harus diagungkan. Oleh karena itu kita dapat menemukan banyak dongengan bohong yang terdapat dalam kitab mereka, yang hanya untuk memuaskan perasaan sebagai hiburan, atau untuk membangkitkan semangat perjuangan dan keberanian dalam pertempuran. [10]
Adapun para perawi Islam, mereka sangat menyadari bahwa semua hukum syara’, halal dan haram itu harus berdasarkan kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi. Mereka mengetahui bahwa mempermudah menambah sesuatu dalam agama, sama dengan menambah dan mengurangi sesuatu dalam agama.
Al-Quran yang diriwayatkan secara mutawatir telah dijamin kemurniannya, melahirkan keyakinan dan kepastian. Karena di dalamnya sama sekali tidak ada yang meragukan. Sudah seharusnya para perawi meneliti dengan sungguh-sungguh kebenaran hadis yang disandarkan kepada Rasulullah saw. - Maka dari itu, para perawi memperketat dan menetapkan syarat-syarat bagi periwayatan, dasar-dasar dan kaidahnya yang menjadi ketentuan dalam ilmu naqid (kritik) baik di masa lalu maupun di masa kini. Perhatian terhadap kebenaran riwayat, meneliti dan mengkritiknya, baik sanad maupun matannya adalah ciri khas yang hanya terdapat dalam sistem periwayatan dalam Islam. Ibnu Hazem di dalam al-Milal Wan Nihal berkata: “Riwayat yang terpercaya dari orang yang terpercaya sampai kepada Nabi Muhammad saw. dengan sanad yang bersambung, adalah anugerah dari Allah yang dikhususkan bagi umat lslam, dan tidak diberikan kepada umat lain.[11]
Dalam dunia Arab pra Islam sanad belum mempunyai arti penting atau belum mendapat apresiasi yang cukup, begitu juga dalam literatur-literaturnya.[12] Adapun sanad memperoleh apresiasi atau arti penting di dunia Islam hususnya pada ilmu atau literatur Hadis[13]. Karena sunah Nabi merupakan sumber hukum yang asasi, adalah wajar membahas dokumen-dokumen ini dengan perhatian ekstra. Para ulama ahli hadis membuat aturan-aturan atau kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang sangat ketat dan hati-hati dalam menilai sebuah hadis. Bersamaan dengan pengenalan isnad, suatu disiplin ilmu yang unik, ’Ilm al Jarh wa at Ta’dil pun muncul untuk menilai isnad dan Hadis. [14]
D. AWAL MULA SANAD DAN KEDUDUKAN SANAD
Merupakan kebiasaan di kalangan sahabat pada saat Nabi masih hidup untuk menyampaikan hadis ketika mereka saling bertemu. Sebagaian dari mereka juga membuat kesepakatan di antara mereka untuk menghadiri majelis Nabi saw secara bergantian dan saling memberikan informasi tentang apa yang dilihat dan didengar dari Nabi saw apabila mereka tidak bisa menghadiri majelis Nabi karena suatu hal. Dengan demikian biasa terjadi, dalam menghabarkan kepada sesama teman mereka menggunakan kalimat-kalimat seperti ” Nabi saw berbuat begini dan begitu” atau ”Nabi saw berkata ini dan itu”. Dan juga bisa terjadi, bahwa salah seorang yang memperoleh pengetahuan lewat tangan kedua, ketika mengabarkan peristiwa itu kepada orang ketiga, mengungkapkan sumber infomasinya dan menceritakan lengkap peristiwa itu. Dari gambaran rangkaian sahabat yang saling sampai-menyampaikan hadis Nabi yang dilakukan oleh sahabat Nabi kepada beberapa sahabat yang lain itulah asal mula isnad dalam bentuknya yang sederhana. Namun setelah terjadi perang saudara, fitnah, bergolak, mereka pun mengatakan, ” Sebutkan pada kami nama orang-orangmu”, mereka yang dari golongan Ahlussunnah hadisnya diterima, sedang mereka yang dari golongan pembuat bid’ah, hadisnya ditolak[15]
Kedudukan sanad dalam hadis adalah sangat penting, karena dengan mengetahui sanad sebuah hadis, akan diketahui kualitas dari sebuah hadis dan juga dengan usaha mengisnadkan sebuah hadis, akan tercapailah maksud untuk membersihkan hadis dari noda-noda yang dapat merusakkan ke shahihan hadis.[16] Dan juga untuk membedakan shahih dan dloifnya suatu hadis.[17] Di antara salah satu sebab suatu hadis dapat menjadi maqbul bila sanadnya saling bertemu dan berakhir sampai kepada Nabi, dan di antara salah satu sebab mardudnya suatu hadis, karena sanadnya tidak sampai bertemu dengan Nabi Muhammd saw. [18]
Sudah menjadi pemahaman umum dari sistim isnad bahwa semakin bertambahnya kaum muslimin maka semakin banyak jumlah periwayatnya. Kadang suatu hadis yang diriwayatkan seorang sahabat memperoleh sepuluh murid dalam generasi berikut, yakni tabiin, dan sepuluh murid ini mempunyai lagi, dalam beberapa kasus, dua puluh atau tiga puluh murid dari berbagai negeri dan propinsi. [19]
Sebagai contoh untuk memperlihatkan bagaimana isnad mengembang. Contoh Pertama : Abu Hurairah melaporkan bahwa Rasulullah saw mengatakan, “Bila salah seorang di antara kalian bangun dari tidur, ia tak boleh meletakkan tangannya di perabot rumah sampai ia mencucinya tiga kali, karena ia tidak tahu di mana tangannya berada saat Ia tidur.[20]
Paling sedikit, tiga belas murid Abu Hurairah meriwayatkan hadis ini dari dia: 8 dari 13 orang Madinah
1 dari Kufah
2 dari Basrah
1 dari Yaman
1 dari Siria
Ada enam belas ulama yang meriwayatkan hadis ini dari mutid-murid Abu Hurairah :
6 dari 16 orang Madinah
4 dari Basrah
2 dari Kufah
1 dari Mekah
1 dari Yaman
1 dari Khurasan
1 dari Hims (Siria)
Contoh Kedua: Abu Hurairah melaporkan bahwa Nabi saw bersabda, “Imam itu untuk diikuti. Maka bacalah takbir ketika ia membacanya, dan rukuklah bila ia rukuk. Ketika ia mengucapkan sami’ Allah liman hamidah’ (Allah mendengar orang yang memuji-Nya), ucapkanlah Allahumma rabbana laka al-hamd’ (Ya Allah, Tuhan kami, bagi-Mu segala puji). Ketika ia sujud, Anda pun mesti sujud. Anda tidak boleh sujud sebelum ia sujud. Ketika ia mengangkat kepalanya, kepala Anda pun harus diangkat. Anda tak boleh mengangkat kepala sebelum ia mengangkatnya. Bila ia salat duduk, Anda semua juga harus salat duduk.”
Hadis ini dilaporkan oleh 26 orang pemegang otoritas generasi ketiga, semuanya bersumber dan sahabat Nabi saw. Hadis ini ditemukan nyaris sama bentuknya atau maknanya dalam semua versi yang ada di sepuluh tempat berbeda (Madinah, Mekah, Mesir, Basrah, Hims, Yaman, Kufah, Siria, Wasith, dan Tha’if). Tiga dan 26 orang tersebut mendengarnya lebih dari satu sumber.
Dokumen yang ada memperlihatkan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh paling sedikit sepuluh sahabat. Kita mempunyai keterangan rinci mengenai jalannya periwayatan untuk tujuh dan sepuluh sahabat ini, yang memperlihatkan bahwa mereka berasal dari tiga tempat berbeda; Madinah, Siria dan Irak.
Jalannya periwayatan dari satu sahabat saja Abu Hurairah dengan jelas mempenlihatkan bagaimana jumlah periwayat bertambah dari generasi ke generasi, dan bagaimana hadis menjadi terkenal di berbagai lokasi secara luas. Paling tidak, Abu Hurairah mempunyai tujuh murid yang meriwayatkan hadis dari dia: empat dari Madinah, dua dari Mesir dan satu dari Yaman. Tujuh murid ini selanjutnya, meriwayatkan kepada sedikitnya dua belas orang : lima dari Madinah, dua dari Mekah, dan masing-masing satu dari Siria, Kufah, Tha’if, Mesir, dan Yaman.
Pola periwayatan serupa dan sahabat lain menunjukkan bagaimana hadis menyebar lebih luas ke Basrah, Hims, dan Wasith dan memperkuat hadis di Madinah, Mekah, Kufah, Mesir, dan Siria.
Contoh ketiga: Abu Hurairah melaporkan, Nabi saw bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Setiap amal anak cucu Adam adalah untuk dia, perbuatan baik akan dibalas sepuluh kali, kecuali puasa, yang (secara khusus) dimaksudkan untuk Aku, dan Aku (sendiri) yang akan membalasnya. Orang meninggalkan makannya demi Aku, meninggalkan minumnya demi flu, dan meninggalkan kesenangannya demi Aku. Barang siapa di antara kalian berpuasa, ia tidak boleh mengadakan hubungan seks atau berbicara kotor. Jika ada yang mencercanya, dia harus bilang, “Saya sedang puasa.” Orang yang berpuasa mempunyai dua kegembiraan: ketika berbuka dan ketika menemui Tuhannya. Dan napas (orang yang berpuasa) lebih harum bagi Allah ketimbang aroma kestuni.”
Hadis panjang ini, secara sepotong-sepotong, diriwayatkan oleh banyak ulama. Ibn Hanbal meniwayatkan sedikitnya 24 kali. Hadis ini termasuk dalam koleksi A’masy (wafat 148 H), Ibn Juraij (wafat 150 H), dan Ibrahim b. Thamrin (wafat 168 H) para periwayat dan murid-murid Abu Hurairah. Hadis ini juga terdapat dalam sumber-sumber Syiah, Zaidi, dan Ibadi.
Bila kita membatasi pembicaraan hanya pada periwayat generasi ketiga dari Abu Hurairah, yang kebanyakannya hidup pada paruh pertama abad kedua Hijriah, muncul ciri berikut: Ada 22 periwayat generasi ketiga, sembilan dari madinah, lima dan Basrah, empat dan Kufah, dan masing-masing satu dari Mekah, Wasith, Hijaz, dan Khurasan. Mereka yang beimukim di Madinah, Basrah, dan Kufah. Makin panjang rantai periwayatan, makin bertambah jumlah periwayat, dan makin meluas pula tempat, sampai ke berbagai propinsi. Pertumbuhan isnad dan penyebaran hadis dengan cara ini memudahkan pengecekan kesalahan ulama atau setiap pemalsuan yang disengaja. Ini membuktikan eksistensi sistem isnad di masa awal dan memperlihatkan betapa mustahil memalsukan isnad. Dalam skala besar ini.
Butir menarik kedua adalah bahwa tak semua orang Madinah, Basrah atau Kufah berguru pada satu orang. Tiga dari lima orang Basrah berguru pada satu orang Basrah, tapi dua lainnya pada dua orang Madinah.
Contoh ini memperlihatkan betapa rapinya isnad kebanyakan hadis disimpan, bagaimana sistem itu digunakan dalam menguji pernyataan ulama, dan bagaimana ia telah dan dapat digunakan untuk menghilangkan kesalahan. Tak pelak lagi, tak semua hadis menyebar secara luas. Ada hadis yang diriwayatkan menurut berbagai sumber kami yang ada dari satu ke satu ulama selama tiga atau empat generasi. Hadis berikut adalah contohnya:
“Abu Hurairah melaporkan, Nabi saw bersabda, “Tiap kali salat jumat, salatlah empat rakaat setelah itu”
Sekarang kita hampir mempunyai gambaran lengkap tentang penyebaran isnad. Contoh diatas mendukung keterpercayaan sistem isnad, dan bahwa sistem ini telah dimulai selagi Rasul masih hidup. Mustahil memalsukan skala besar ini di zaman ketika fasilitas komunikasi masih kurang.
E. ISNAD DAN DAMPAKNYA PADA KIASIFIKASI
HADIS
Ciri umum banyak hadis di awal abad kedua Hijriah adalah besarnya jumlah periwayat yang berasal dari berbagai propensi dan negara. Namun, tak semua hadis mempunyai satu pola dalam pengembangan isnad-nya. Telah kita lihat bahwa sebagian hadis diriwayatkan oleh banyak sahabat dan, lebih banyak lagi, tabiin, sementara sebagian lain disampaikan oleh satu sahabat saja, lalu darinya disampaikan oleh satu murid juga.
Itulah sebabnya hadis diklasifikasikan menurut jumlah periwayat. Dalam hal ini, istilah-istilah berikut perlu mendapat perhatian: (a) mutawatir ; (b) ahad. [21]
A. Mutawatir: Laporan sejumlah besar periwayat yang mustahil sepakat berdusta. Kondisi ini harus ada dalam seluruh mata rantai dari awal hingga akhir laporan.
Dalam pandangan ulama, tiap hadis yang diriwayatkan secara tawatur, dan para periwayat mendasarkan riwayat mereka secara langsung, tidak samar, akan menghasilkan pengetahuan pasti.
Namun, ada perbedaan pandangan tentang jumlah pelapor yang dibutuhkan bagi hadis mutawatir, mulai dari empat sampai ratusan. Menurut saya, bila suatu hadis diriwayatkan oleh segelintir sahabat, katakanlah empat, dan masing-masing mempunyai sejumlah murid yang tersebar diseluruh dunia Islam, dan dalam perjalanan periwayatan jumlah dan tempat mereka makin bertambah, maka bahkan jumlah yang sedikit ini akan menghasilkan pengetahuan pasti, khususnya bagi mereka yang mengetahui karakter ulama awal.
Mutawatir dibagi menjadi dua macam:
1. Mutawatir redaksional (mutawatir tafdzi)
2. Mutawatir dalam makna (mutawatir ma ‘nawi)
B. Ahad: jumlah periwayatannya jauh di bawah mutawatir. Ini dibagi lagi ke dalam banyak subbagian. Sebagiannya sebagai berikut :
Masyhur: Diriwayatkan oleh tiga periwayat atau lebih dalam tiap tahap.
Aziz: diriwayatkan oleh sedikitnya dua periwayat dalam tiap generasi.
Gharib: Bila hanya terdapat seorang periwayat, baik dalam sepanjang isnadnya (sesudah sahabat) ataupun dalam suatu tahap.
Faridh: Dibagi lagi menjadi dua bagian:
1. Faridh Muthkq: hadis khusus tersebut hanya dinwayatkan oleh orang khusus juga
2. Faridh Nisbi: mempunyai beberapa arti:
a. Hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat terpercaya; yang lain meriwayatkan juga tapi mereka tak - terpercaya.
b. Hanya diriwayatkan oleh ulama dari satu wilayah.
Marfu’: isnad-nya berpangkal pada Rasul saw, karena rangkaiannya putus disuatu tahap.
Musnad: isnad-nya tidak terputus, dan berpangkal pada Rasul
saw.
Muttashil: isnad-nya tidak
terputus.
Mauquf: isnad-nya hanya berpangkal pada sahabat
Maqthu’: isnad-nya hanya berpangkal pada tabiin.
Mursal: diriwayatkan tabiin langsung dan Nabi saw, dengan membuang sahabat dari isnad.
Mu‘allaq: satu atau lebih periwayat dari awal isnad (dan penulis kitab) hilang
Munqathi’: satu mata rantai di tengah isnad hilang, di satu tempat atau lebih (tapi tidak berurut—peny.)
Mu‘dhal: dua mata rantai yang berurutan hilang, disatu tempat atau lebih.
Mu‘an‘an: dalam periwayatannya, istilah ‘an’ yang tidak tegas dalam menggambarkan metode penerimaan hadis digunakan.
Musalsal: seluruh periwayatnya mempunyai situasi yang sama. Misalnya, mereka semua memakai terminologi yang sama dalam periwayatan, seperti sami ‘tu, atau mereka semua berasal dari wilayah atau pekerjaan yang sama, atau mereka semua meriwayatkannya dengan sikap yang sama, misalnya semua periwayat senyum ketika menyampaikan sebuah hadis karena Nabi saw senyum saat mengatakannya. [22]
[1] Syaikh Manna’ Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Pustaka Al Kautsar, 2006 hal. 22
[2] Ustadz DR. Ahmad Umar Hasyim, Qowa’idul usulil hadis, ‘Alamul Kutub, Bairut 1997 hal 7
[3] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia 1999, hal 49
[4] Ibid hal 61
[5] DR. M. ‘Ajaj Al Khathib, Ushulu Al Hadits, Gema Media Pratama, 1998 hal 12
[6] Ibid
[7] M. M. Azami, MA, Ph.D. Ilmu Hadis, Penerbit Lentera, 2003, hal 70
[8] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT Almaarif Bandung 1987 hal 24
[9] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia 1999, hal 63
[10] DR. M.M. Abu Syuhbah, Kutubus Sittah, Pustaka Progresif, 1993 hal 30
[11] Ibid
[12] Nashir al Asad, Masadir al Syi’ra al Jahili, 255-267 yang dikutip oleh M.M. Azami, MA. Ph.D dalam Ilmu hadis, hal 71
[13] Ustadz DR. Ahmad Umar Hasyim, Qowa’idul usulil hadis, ‘Alamul Kutub, Bairut 1997 hal 139
[14] M. M. Azami, MA, Ph.D. Ilmu Hadis, Penerbit Lentera, 2003, hal 71
[15] Ibid, hal 72
[16] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT Almaarif Bandung 1987 hal 202
[17] Ustadz DR. Ahmad Umar Hasyim, Qowa’idul usulil hadis, ‘Alamul Kutub, Bairut 1997 hal 141
[18] Op. Cit.
[19] M. M. Azami, MA, Ph.D. Ilmu Hadis, Penerbit Lentera, 2003, hal 73
[20] Ibid hal 73-77
[21] Ibid, hal 77
[22] Ibid, hal 77-80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar