Sabtu, 21 November 2020

Unsur-unsur Dalam SANAD

 

F.      UNSUR-UNSUR DALAM SANAD

Dalam mempelajari sanad hadis harus ada beberapa unsur yang harus diketahui, diantaranya ialah ;

a.      Mata rantai para perawi

b.      Mengetahui biografi perawi

c.      Kuat dan lemahnya hafalan perawi

d.      Mengetahui apakah mata rantai sanad antara seorang perawi dengan yang lain bersambung ataukah terputus

e.      Mengetahui waktu lahir dan wafat perawi

f.       Mengetahui Al Jarhu wa At Ta’dil (menyebutkan hal-hal yang menunjukkan kekurangan seorang perawi dan hal-hal yang menunjukkan kelebihannya)

 

Setelah mempelajari semua unsur yang tersebut di atas, kemudian kita dapat memberikan hukum kepada sanad hadis. Seperti mengatakan, Sanad ini shahih, Sanad ini lemah atau Sanad ini dusta.[1]

 

G.     PEMBAGIAN SANAD

Sanad menurut DR. Ahmad Umar Hasyim dibagi menjadi dua bagian ;

1.            Sanad ’Aliy : yaitu dekatnya rijalus sanad dengan Nabi dikarenakan sedikitnya jumlah rijalussanadnya

2.            Sanad Nazil : yaitu selain dari sanad ’aly artinya jauhnya rijalus sanad dengan nabi karena banyaknya rijalus sanad

 

Di dalam sanad ’aliy, jumlah rijalus sanadnya sedikit sehingga dapat memperkecil noda-noda yang terdapat pada sanad. Sebab setiap rijalus sanad itu, adalah manusia biasa tidak terpelihara dari kekhilafan, baik sengaja ataupun tidak disengaja. Dengan sedikitnya rijalus sanad, sedikit pula kemungkinan adanya cacat dan noda. Sedangkan banyaknya rijalus sanad tidak menutup adanya kemungkinan adanya banyaknya noda. Oleh karena itu, derajat hadis yang bersanad banyak, lebih rendah (nazil) daripada yang bersanad sedikit.[2]

 

Jenis Sanad ’Aliy

Sanad ’aliy dibagi menjadi dua bagian yaitu; yang mutlak dan yang nisbi (relatif)[3]

1.      Sanad ’Aliy yang bersifat mutlak; adalah sebuah sanad yang jumlah perawinya hingga sampai kepada Rasulullah lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad yang lain. Jika sanad tersebut shahih, maka sanad itu menempati tingkatan tertinggi dan jenis-jenis sanad ‘ally.

2.      Yang bersif at nisbi (relatif). Yang dimaksud adalah sebuah sanad yang jumlah perawi di dalamnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan para imam ahli hadits. Seperti Syu’bah, Al-A’masy, Ibnu Juraij, Ats-Tsauri, Malik, Asy-Syafi’i, Bukhari, Muslim, dan sebagainya, meskipun jumlah para perawi setelah mereka hingga sampai kepada Rasulullah lebih banyak.

Sanad ‘ally yang bersifat nisbi ini terbagi menjadi empat bagian: muwafaqah, badal, musawah dan mushafahah.

1.      MuwaIaqah

Muwafaqah adalah seorang meriwayatkan sebuah hadits hingga sampai kepada guru salah seorarig penulis kitab hadits melalui jalur sanad lain yang jumlah para perawinya lebih sedikit dan pada jumlah para perawi yang ada pada jalur sanadnya sendiri melalui gurunya.

Sebagai contoh: Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Qutaibah, dan Malik. Seandainya kita meriwayatkannya melalui jalur sanad Imam Bukhari, maka jumlah para perawi antara kita dengan Qutaibah sebanyak delapan perawi. Akan tetapi jika kita meriwayatkannya dari jalur sanad Abu Al-Abbas As-Siraj (salah satu dan guru Imam Bukhari), maka kita dapatkan jumlah para perawi antara kita dengan Qutaibah sebanyak tujuh perawi.

Dari contoh di atas jelaslah bagi kita bahwa terjadi muwafaqah (kecocokan) antara Imam Bukhari dengan gurunya tentang jalur sanad. Namun jalur sanad gurunya lebih tinggi dan pada jalur sanadnya.

2.      Badal

Badal adalah seorang meriwayatkan sebuah hadits hingga sampai kepada guru dan guru seorang penulis kitab hadits melalui jalur sanad lain yang jumlah para perawinya lebih sedikit dari pada jumlah para perawi yang ada pada jalur sanadnya sendiri melalui gurunya.

Contoh badal ini sama dengan contoh muwafaqah yang tersebut di atas. Yaitu jika terdapat jalur sanad lain hingga sampai kepada Al-Qa’nabi (guru dari guru Imam Bukhari) dari Malik. Maka Al-Qa’nabi dalam jalur sanad ini sebagai badal (pengganti) dan Qutaibah.

3.      Musawah

Musawah adalah kesamaan jumlah para perawi dalam sebuah sanad yang dimiliki seorang perawi dengan jumlah para perawi yang ada dalam sanad lain milik seorang penulis kitab hadits dari awal sampai akhir.

Contohnya: Imam An-Nasa’i meriwayatkan sebuah hadits yang jumlah perawinya dari beliau sampai kepada Rasulullah sebanyak sebelas perawi. Kemudian kita meriwayatkan hadits tersebut melalui jalur sanad lain yang jumlah perawinya dari kita sampai Rasulullah sebanyak sebelas perawi. Berarti tenjadi musawah (persamaan) di antana kita dengan Imam An-Nasa’i dalam hal jumlah perawi.

 

4.      Mushafahah

Mushafahah adalah kesamaan jumlah perawi dalam sebuah sanad dengan jumlah perawi dalam sanad seorang murid salah satu penulis kitab hadits dari awal sampai akhirnya. Dinamakan mushafahah karena pada umumnya jika dua orang bentemu mereka melakukan jabat tangan. Sedangkan kita pada bagian yang keempat ini seakan-akan bertemu dengan Imam An-Nasa’i dan seakan-akan kita menjabat tangan beliau.

 

Jenis-jenis Sanad yang Rendah (Isnad Nazil)

Setiap jenis dari jenis-jenis sanad yang ‘aliy mempunyai lawan dari sanad yang nazil, karena sesuatu yang tinggi dapat diketahui dengan lawannya yaitu sesuatu yang rendah.[4]

Sanad yang ‘aliy (sedikit jumlah perawi) sangat dicari karena semakin sedikit jumlah perawi maka semakin dekat dengan keshahihan dan kesalahan menjadi sedikit. Hal ini disebabkan karena tidak ada seorang pun dari para perawi hadits kecuali ada kemungkinan melakukan kesalahan. Maka semakin panjang sebuah sanad dan semakin besar jumlah para perawinya, maka kemungkinan tenjadi kesalahan pun semakin besar pula. Begitu juga semakin pendek sebuah sanad dan semakin sedikit jumlah para perawinya, maka kemungkinan terjadinya kesalahan pun semakin sedikit.

Akan tetapi jika dalam sanad yang nazil terdapat kelebihan yang tidak ada pada sanad yang ‘aliy, misalnya para perawinya lebih terpercaya, lebih kuat hafalannya, atau lebih faham terhadap agama, maka sanad yang nazil itu lebih utama dari pada sanad yang ‘ally tersebut. Para ulama ahli hadits telah memberikan atensi mereka terhadap sanad yang ‘aliy. Sehingga mereka membukukan sebagian di antaranya dan mereka menamakannya dengan “Ats-Tsulatsiyyat”. Yang dimaksudkan dengan “Ats-Tsulatsiyyat” adalah hadits-hadits yang jumlah perawi dalam sanadnya antara perawi yang menulisnya dengan Rasulullah berjumlah tiga orang perawi.

Di antara kitab-kitab tersebut:

1. “Tsulatsiyyat Al-Bukhari” karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

2. “Tsulatsiyyat Ahmad bin Hanbal” karya Imam As-Safarini.

 

 

Silsilatul Dzdzahab (tinggi rendahnya rangkaian sanad)

 

Sebagaimana dimaklumi, bahwa suatu hadis sampai kepada kita, tertulis dalam dewan hadis, melaluisanad-sanad. Setiap sanad bertemu dengan rawy yang dijadikan sandaran menyampaikan berita (sanad yang setingkat lebih atas), sehingga seluruh sanad itu merupakan suatu rangkaian. Rangkaian sanad itu ada yang berderajat tinggi, sedang dan lemah, mengingat perbedaan ke-dlabith-an (kesetiaan ingatan) dan ke’adilan rawi yang dijadikan sanadnya. Rangkaian sanad yang berderajat tinggi menjadikan suatu hadis lebih tinggi derajatnya daripada hadis yang rangkaian sanadnya sedang atau lemah. Para muhaditsin membagi tingkatan sanad kepada;

1.      Ashahhul asanid (sanad-sanad yang lebih shahih)

         a.      Ashahhul asanid secara muthlaq

         b.      Ashahhul asanid secara muqoyyad

2.      Ahsanul asanid (sanad-sanad yang lebih hasan)

3.      Adl’aful asanid (sanad-sanad yang lebih lemah)[5]

 

H.     PENUTUP

Semoga tulisan tersebut diatas ada manfaatnya hususnya bagi penulis dan menjadi pendorong bagi para pembaca untuk mendalaminya, Amin.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Ajaj Al Khatib, Ushul Al Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1998

Azami, M.M., Memahami Ilmu Hadis, Lentera, Jakarta, 1995

Bustamin & M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Fatchur Rahman, Drs., Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT. Al Maarif, Bandung, 1997

Muh. Zuhri, Tela’ah Matan Hadis, LESFI, Jogjakarta, 2003

Manna’ Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2006

Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka setia, Bandung, 1999



[1] Syaikh Manna’ Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Terjmah Pustaka Al Kautsar, hal 193

[2] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT Almaarif Bandung 1987 hal 204

[3] Op. Cit, hal 195-197

[4] Ibid

[5] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT Almaarif Bandung 1987 hal 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar