I. Pendahuluan
Perkembangan Islam dan kaum muslimin sepeninggal Rasulullah saw. mengelamai berbagai perubahan-perubahan dan perkembangan. Baik perkembangan yang positif dalam arti Islam tersebar luas tidak hanya di Makkah dan Madinah saja, melainkan sudah menyebar ke seluruh jazirah Arabia. Perkembangan yang negatif adalah dengan kemenangan-kemengan yang dicapai umat Islam dari khalifah ar rosyidah sampai kepada khalifah-khalifah berikutnya, membuat umat islam terlena dengan kemengan yang telah dicapainya itu. Kelengahan itu berupa berbeloknya arah perjuangan yang dulu berjuang semata-mata untuk meninggikan kalimat Allah swt. selanjutnya menjadi hanya ingin memperoleh harta-harta rampasan yang jumlah tidak sedikit.
Begitu tersebarnya Islam ke berbagai penjuru negeri arab sangat mempengaruhi pola hidup para sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang dulu bersama-sama senantiasa hidup dalam kesederhanan dan kerukunan serta persaudaraan, berganti dengan suasana perebutan kekuasan, berfoya-foya dan saling bertengkar bahkan saling bunuh-membunuh dengan saudara muslim lainnya.
Dari keadaan yang demikian itu ternyata masih ada sahabat yang masih mau mempertahankan kesederhanaan dalam hidupnya, membersihkan jiwanya dari pengaruh hiruk pikuknya harta dan dunia, mereka inilah orang-orang sufi yang meninggalkan kesengan dunia dan hanya mengharap ridlo Allah swt. semata.
Selanjutnya, sebagaimana diketahui bahwa gerakan tasawuf tampil kepermukaan secara bertahap. Gerakan itu bergerak maju melalui perjalanan panjang, sejak dari Imam Hasan Al Bashri ra., Abdul Wahid bin Zaid, Ibrahim bin Adham, Syaqiq Al Balkhi, Hatim Al Asham, Sarri Al Saqathi, hingga sampai kepada Sayyid Al Tahifah Al Junaid.[1]
II. Pengertian Tasawuf
Kata tasawuf diambil dari kata shafa yang berarti bersih.[2] Dinamakan shufi karena haitinya tulus dan bersih di hadapan Tuhannya.[3] Teori lain mengatakan kata tersebut diambil dari kata shuffah yang berarti serambi mesjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh sahabat-sahabat Nabi yang miskin dari golongan muhajirin. Mereka ini disebut ahl al suffah yang sungguhpun miskin namun berhati mulia dan memang sifat tidak mementingkan dunia dan berhati mulia adalah sifat-sifat kaum sufi.[4]
Tasawuf sebagaimana disebutkan dalam artian diatas bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga betul-betul merasakan kedekatannya dengan Tuhan, dan intisari dari sufisme itu adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan tuhan dengan cara mengasingkan diri dan merenung. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad atau menyatu dengan Tuhan.[5]
Dalam ajaran tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja dapat berada dekat dengan Tuhan, melainkan terlebih dahlu ia harus menempuh latihan tertentu. Ia misalnya harus menempuh beberapa maqom, yaitu disiplin kerohanian yang ditujukanoleh seorang calon sufi dalm bentuk berbagai pengalaman yang dirasakan dan diperoleh melalui usaha-usaha tertentu.
Mengenai jumlah maqomat yang harus ditempuh oleh para sufi berbeda-beda, sesuai dengan pengalaman pribadi yang bersangkutan. Misalnya maqomat menurut Abu Nasr al Sarraj, Abu Bakar Muhammad al Kalabadzi dan Abu Sa’id Ibn Abd al Khair berbeda-beda, begitu juga maqomat menurut Muhammad Nafis yang sedang saya paparkan ini juga berbeda dengan yang lainnya.
[1] Sayyid Nur bin Sayyid Ali, Tasawuf Syar’i, Kritik atas Kritik, Terjemah, Hikmah 2003, hal 2
[2] Al Kalabadzi, al Ta’arruf li Madzhab ahl al Tasahawuf, dikutip oleh Drs. Abudin Nata, MA., Ilmu Kalam, Fisafat dan Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta hal, 151
[3] Ibrahim Basuni, Nasy’ah al Tashawuf al Islami, dikutip oleh Drs. Abudin Nata, MA., Ilmu Kalam, Fisafat dan Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta hal, 151
[4] Ali Sami al Nasyr, Nasy’ah al Fikri al Falsafi fi al Islam, dikutip oleh Drs. Abudin Nata, MA., Ilmu Kalam, Fisafat dan Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta hal, 152
[5] Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973 hal 56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar