1. PENDAHULUAN
Kita semua sedang mengamati dan bahkan ada di antara kita yang sedang mengalami yang namanya proses pendidikan. Bahkan memperbaiki pendidikan – dengan segala perubahan dan perkembangannya - menjadi cita-cita kita bersama setelah umat Islam mengalami yang namanya zaman kemunduran islam.
Di kalangan umat Islam nasional maupun Internasional sedang terjadi berbagai diskusi mencari format bagaimana cara untuk mengembalikan umat islam kepada kejayaan sebagaimana yang pernah di alami Islam pada saat itu. Islam saat itu sempat memperoleh sebutan ” Golden Age Of Islam ”.
Dari berbagai kegiatan diskusi, seminar sampai kepada kongres pendidikan islam sedunia mencari format ideal untuk mengembalikan umat islam kepada jaman keemasan itu, diantaranya adalah bagaimana umat islam dalam melaksanakan pendidikan. Dari sinilah kemudian berbagai definisi tentang pendidikan islam dicetuskan.
Bahkan ada gejala atau kecendrungan manusia untuk selalu membicarakan tentang pendidikan, baik orang yang ahli maupun yang tidak tahu sama sekali teori pendidikan, apa lagi di Negara kita akhir-akhir ini sedang berupaya memberi penghargaan yang tinggi kepada para pendidik dengan aktifitas kependidikannya.
Pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata lain pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi berlangsung pula di luar kelas. Pendidikan bukan bersifat formal saja, tetapi mencakup pula yang non formal.[1] Pandangan ini walaupun tidak secara langsung mengambil arti dari sebuah hadits Rasulullah saw. yang berbunyi : 92feã 1ã 9tjîeã oi kfReã èfÊã yang artinya kurang lebih ”Carilah ilmu mulai dari buaian ibu hingga ke liang lahad. Jelas ini merupakan pemaknaan pendidikan secara islami.
Serupa dengan pandangan tersebut diatas berkaitan dengan pendidikan, adalah pendapat John Dewey yang mengatakan bahwa ” Education is the process without end ” yang artinya pendidikan adalah suatu proses tanpa akhir.[2]
Orang Yunani, lebih kurang 600 tahun SM, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah suatu usaha membantu manusia menjadi manusia.[3] Ada dua kata yang penting dalam kalimat itu, pertama “membantu” dan kedua “manusia.” Manusia perlu dibantu agar Ia berhasil menjadi manusia. Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia bila telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Itu menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi manusia. Karena itulah sejak dahulu banyak manusia gagal menjadi manusia. Jadi, tujuan mendidik ialah me-manusia-kan manusia. Agar tujuan itu dapat dicapai dan agar program dapat disusun maka ciri-ciri manusia yang telah menjadi manusia itu haruslah jelas. Seperti apa kriteria manusia yang menjadi tujuan pendidikan itu? Tentulah hal ini akan ditentukan oleh filsafat hidup masing-masing orang. Orang-orang Yunani Lama itu menentukan tiga syarat untuk disebut manusia. Pertama, memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri kedua, cinta tanah air; dan ketiga berpengetahuan.
2. MERANCANG APLIKASI BERBAGAI PANDANGAN FILOSOFIS DALAM APLIKASI PENDIDIKAN
2.1. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat Pendidikan Islam menurut Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. adalah pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi masnusia Muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam.[4]
Jadi Filsafat pendidikan Islam itu berfikir mendasar, sitematik, logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan Islam, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu yang relevan. Pendapat ini memberi petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat pendidikan islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode dan lingkungan.
Karena itu dalam mengkaji filsafat Pendidikan Islam seseorang akan diajak memahami :
a). konsep tujuan pendidikan
b). konsep guru yang baik
c). konsep kurikulum, dan seterusnya.
Selanjutnya yang harus dilakukan adalah :
a). secara mendalam
b). Sistematik
c.) logis
d). Radikal
e). dan universal
Semua itu berdasarkan atas tuntutan ajaran Islam, khususnya berdasarkan al-Quran dan al-Hadits. Dalam hubungan ini, seseorang yang mengkaji filsafat pendidikan Islam, disamping harus menguasai masalah filsafat dan pendidikan pada umumnya, juga perlu menguasai secara mendalam kandungan al-Quran dan al-Hadist dan hubungannya dengan membangun pemikiran filsafat pendidikan Islam.
Dengan kata lain seorang pemikir filsafat pendidikan Islam adalah orang yang menguasai dan menyukai filsafat dan pendidikan secara mendalam, juga sekaligus harus berjiwa Islam.
2.2. Aplikasi Pandangan Filosofis Pendidikan.
Oleh karena itu dalam merancang aplikasi berbagai pandangan filosofis dalam aplikasi pendidikan, khususnya pendidikan Islam, perancang (desainer) harus benar-benar menguasai bidang fislafat pendidikan Islam, karena pada hakekatnya tujuan pendidikan yang ingin dituju itu erat kaitannya dengan pandangan hidup si desainer pendidikan itu sendiri, dan tujuan pendidikan itu harus diketahui bersama oleh seluruh komponen sekolah, sehingga segala bentuk aktifitas pendidikan dalam sebuah lembaga pendidikan benar-benar mengarah kepada pencapain tujuan pendidikan yang di canangkan secara bersama-sama.
Jika kita berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, berarti berbicara tentang nilai-nilai ideal yang bercorak islami. Hal ini mengandung makna bahwa tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah tujuan yang merealisasi idealitas islami. Sedang idealitas islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus dipatuhi.
Kepatuhan kepada Allah itu maknanya adalah penyerahan diri secara total kepada-Nya. Penyerahan diri secara total kepada Allah menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepada-Nya semata.
Bila manusia telah bersikap menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah berarti telah berada di dalam dimensi kehidupan yang mensejahterakan di dunia dan membahagiakan di akhirat. [5] Inilah akhir dari tujuan pendidikan Islam.
Dalam aplikasi praktis pendidikan, tujuan pendidikan ini dijadikan atau diformulasikan dalam Visi dari lembaga pendidikan yang bersangkutan. Semakin beragamnya latar belakang desainer lembaga pendidikan, memungkinkan terjadinya beberapa lembaga pendidikan islam satu dengan yang lainnya berbeda-beda dalam menentukan visi lembaga pendidikannya. Hal itu karena faktor atau latar belakang pendidikan desainer pendidikan yang ada pada lembaga pendidikan islam tersebut.
Oleh karena itu kami ingin menyampaikan rancangan aplikasi berbagai pandangan filosofis dalam aplikasi pendidikan sebagai berikut;
2.3. Aplikasi Pandangan Filosofis Tujuan Pendidikan
Pandangan filosofis tentang tujuan pendidikan telah banyak dikemukakan oleh para tokoh antara lain ;
2.3.1. Al Ghazali.
Menurut konsep Al Ghazali, tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri pada Allah SWT, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.[6]
2.3.2. Ibnu Kholdun.
Ibnu Kholdun berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah memberi pengalaman sebanyak-banyak kepada anak didik. Karena pada hakekatnya manusia itu berbeda dengan hewan, disamping manusia tidak bisa hidup sendiri melainkan membutuhkan interaksi dengan sesamanya, juga manusia adalah makhluq yang berfikir, dengan berfikir inilah akan melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat berfikirnya itu. manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses yang semacam ini melahirkan peradaban.[7]
Dalam aplikasi pandangan filosofis Ibnu Kholdun tentang tujuan pendidikan adalah lembaga pendidikan memberi dan menciptakan lingkungan atau ruang gerak bagi murid untuk berinteraksi dengan sesamanya lebih banyak dan lebih luas agar semakin memberi kematangan berfikir bagi siswa yang bersangkutan.
2.3.3. Ibn Maskawaih
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad Ibnu Ya'kub Ibn maskawaih – menurut beliau tujuan pendidikan itu adalah membentuk manusia yang berakhlaqul karimah.[8]
Ketika bebicara pendidikan islam di Inodenesia maka kita tidak boleh melupakan tujuan pendidikan nasional yang telah disusun oleh negara Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[9]
2.4. Aplikasi Pandangan Filosofis Tentang Pendidik atau guru
Berbicara tentang Pendidik atau Guru, ada beberapa pandangan yang selayaknya kita kaji dengan seksama, dengan tujuan agar pandangan-pandangan tersebut bisa kita aplikasikan pada dunia pendidikan kita saat ini. Pandangan-pandangan itu antara lain ;
2.4.1 Menurut Al-Ghazali
juga menjelaskan tentang ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan. Ciri-ciri tersebut adalah:
a. Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri
b. Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya (mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentukanya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
c. Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
d. Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
e. Di hadapan muridnya, guru harus rnemberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji lainnya.
f. Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
g. Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola di mata anak muridnya.
h. Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga di samping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya.
i. Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak didiknya tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu
Jika tipe ideal guru yang dikehendaki al-Ghazali tersebut di atas dilihat dari perspektip guru sebagai profesi nampak diarahkan pada aspek moral dan kepribadian guru, sedangkan aspek keahlian, profesi dan penguasaan terhadap materi yang diajarkan dan materi yang harus dikuasainya nampak kurang diperhatikan. Hal ini dapat dimengerti, karena paradigma (cara pandang) yang digunakan untuk menentukan guru tersebut adalah paradigma tasawauf yang menempatkan guru sebagai figur sentral, idola, bahkan mempunyai kekuatan spiritual, di mana sang murid sangat bergantung kepadanya. Dengan posisi seperti ini nampak guru memegang peranan penting dalam pendidikan [10].
2.4.2. Menurut Ibnu Khaldun.
Menurut Ibnu Kholdun, manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain karena manusia di samping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat yang antara satu dan lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang lain yang telah dahulu mengetahuinya. Mereka itulah yang kemudian disebut guru. Agar proses pencapaian ilmu yang demikian itu maka perlu diselenggarakan kegiatan pendidikan.[11]
2.4.3. Menurut Ikhwan al-Safa
Ikhwan al Safa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Perkumpulan ini berkembang pada abad kedua Hijriah di kota Bashrah, Irak). Keberhasilan seorang pelajar tergantung kepada guru yang cerdas, baik akhlaknya, lurus tabi'atnya, bersih hatinya, menyukai ilmu, bertugas mencari kebenaran.
Dalam aplikasi praktis pendidikan, sebuah lembaga pendidikan islam dalam merekrut guru atau pendidik hendaknya melalui seleksi atau melalui uji kelayakan dengan kriteria yang telah ditetapkannya. Misalnya; guru harus beriman dan bertaqwa kepada Allah, berakhlaq mulia, sehat jasmani dan rohani, cerdas, kreatif dan bertanggung jawab serta dapat menjadi uswah hasanah bagi anak didik. Dengan kreteria yang telah ditetapkan itu diharapkan dapat memperoleh guru yang baik, yang sesuai dengan visi yang akan dijalankan oleh lembaga pendidikan. Akan tetapi bila dalam perekrutan guru itu tanpa adanya kreteria sebagaimana yang telah ditetapkan dikhawatirkan akan dapat guru yang asal-asalan, ini yang harus dihindari sejauh mungkin.
2.5. Aplikasi Pandangan Filosofis Tentang Kurikulum
Secara tradisional kurikulum berarti mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kurikulum tersebut disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan.
2.5.1. Menurut pandangan al Ghazali
Dalam mengajarkan ilmu pengatahuan - sebagai kurikulum - kepada anak didik adalah ilmu pengetahuan yang digali dari kandungan al-Quran, karena ilmu model ini akan bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat, karena dapat menenangkan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah.
Sebaliknya, ilmu bahasa dan gramatika hanya berguna untuk mempelajari agama, atau berguna dalam keadaan darurat saja. Sedangkan ilmu kedokteran, matematika dan teknologi hanya bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia. Ilmu-ilmu syair, sastra, sejarah, politik dan etika hanya bermanfaat bagi manusia dilihat dari segi kebudayaan bagi kesenangan berilmu serta berbagai kelengkapan dalam hidup bermasyarakat.
Sejalan dengan itu al-Ghazali mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah. Ilmu pengatahuan tersebut adalah:
1. Ilmu al-Quran dan ilmu agama seperti fiqh, hadist dan tafsir.
2. Sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj serta lafdz-lafadznya, karena ilmu ini berfungsi membantu ilmu agama.
3. Ilmu-ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknologi yang beraneka macam jenisnya,termasuk juga ilmu politik.
4. Ilmu kebudayaan, seperti syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat[12]
2.5.2. Menurut pandangan Ibnu Kholdun.
Bahwa dalam negara islam tidaklah sama situasi dan kondisinya, oleh karena itu tidak ada keharusan untuk menyamakan kurikulum yang harus ditempuh oleh anak didik, akan tetapi disesuaikan dengan kondisi negara islam itu sendiri.[13] Tetapi di negara islam tidak boleh ditinggalkan kurikulum yang memuat pelajaran ; Al Quran, Al Hadits, Bahasa Arab, Membaca dan Menulis.
Sebagai aplikasi pandangan filosofis tentang kurikulum dalam pendidikan praktis adalah bagaimana lembaga pendidikan islam mampu mengemas kurikulum yang memuat banyak dimensi kehidupan. Utamanya adalah bagaimana kurikulum pendidikan islam mampu merespon tuntutan perkembangan zaman, sehingga lulusan dari lembaga pendidikan islam mampu bersaing tentang kualitas dengan lulusan pendidikan non islam.
Pendidikan islam bukanlah sekadar untuk menjadikan pendidikan agama islam sebagai ”cagar budaya” dengan mempertahankan paham-paham tertentu, tetapi sebagai agent of change, tanpa kehilangan jati diri keislamannya. Dengan dimikian pendidikan islam akan responsif terhadap tuntuan masa depan, yaitu bukan hanya mendidik siswanya menjadi manusia yang saleh, tetapi juga produktif. [14]
Malik Fadjar merumuskan, bahwa pendidikan Islam dapat menjadi pendidikan alternatif apabila ia dapat memenuhi empat tuntutan :
1). Kejelasan cita-cita dengan langkah-langkah yang operasional di dalam usaha mewujudkan cit-cita pendidikan islam;
2). memberdayakan kelembagaan dengan menata kembali sistemnya;
3). meningkatkan dan memperbaiki manajemen;
4). Peningkatan mutu sumber daya manusianya.[15]
2.6. Aplikasi Pandangan Filosofis Tentang Metode Mengajar
2.6.1. Menurut Ibnu Khadun
Bahwa mengajarkan pengetahuan kepada pelajar hanyalah akan bermanfaat apabila dilakukan dengan berangsur-angsur, setapak demi setapak dan sedikit demi sedikit. Pertama-tama ini harus diberi pelajaran tentang soal-soal mengenai setiap cabang pembahasan yang dipelajannya. Keterangan-keterangan yang diberikan harus secara umum, dengan memperhatikan kekuatan fikiran pelajar dari kesanggupannya memahami apa yang diberikan kepadanya[16]
2.6.2. Menurut Al Ghazali
Al Ghazali berpendapat bahwa ilmu itu tidak hanya bisa diperoleh melalui panca indra semata, melainkan bisa diperoleh dengan metode lain yang bersifat batin dan ilhami. [17] Dengan demikian sarana-sarana batiniah yang bisa menghubungkan manusia dengan alam ruhani bisa dicapai hanya dengan cara membersihkan diri dari dosa-dosa dan dari kotoran-kotoran materi terlebih dahulu.
Dari pemahaman pendapat Al Ghazali tersebut dalam aplikasinya adalah dengan memberikan pemahaman kepada anak-anak didik untuk selalu menjaga kebersihan jiwa dan raganya. Selanjutnya diajak untuk melakukan riyadloh-riyadloh untuk menguatkan sisi ruhanianya yang pada akhirnya anka-anak didik tersebut akan terbuka hatinya untuk menerima hidayah atau ilmu pengetahuan dari Allah swt.
Didalam Al Quran menawarkan berbagai pendekatan dan metode dalam pendidikan antara lain[18]
1. Metode Teladan
2. Metode Kisah-kisah
3. Metode Nasihat
4. Metode pembiasaan
5. Metode Hukum dan Ganjaran
6. Metode Ceramah
7. Metode Diskusi
Dalam aplikasi pendidikan praktis, kuriulum dan metode merupakan elemen penting dalam proses belajar mengajar. Berhasil dan tidaknya suatu tujuan pendidikan tergantung kurikulum yang dipersiapkan dan metode yang digunakannya. Tidak relevannya kurikulum dan metode yang dikembangkan di suatu sekolah dengan realitas kehidupan yang dialami oleh siswa, menyebabkan siswa terasing dari lingkungannya alias tidak bisa peka terhadap perkembangan yang terjadi disekitarnya.
Oleh karena itu berbagai setrategi, pendekatan dan metode terhadap kurikulum harus selalu mengalami perubahan dan pengembangan. Misalnya melalui pendekatan CTL, Tematik, serta penggunaan strategi Quantum Learning dan sebagainya.
Tidak adanya relevansi antara kurikulum dan strategi pembelajaran akan berakibat kurang baik terhadap anak-anak didik. Hal ini berarti, dalam konteks globalisasi, sekolah tersebut telah gagal untuk mengantarkan peserta didiknya untuk menjadi anak yang cerdas, tanggap dan dapat bersaing dipasaran bebas.[19]
Untuk merancang aplikasi berbagai pandangan filosofis dalam aplikasi pendidikan tergambar jelas pada saat kita menyusun KTSP, yang terdiri dari berberapa komponen antar lain;
1. Pendahuluan
2. Visi, misi dan Tujuan Sekolah
3. Kurikulum (pengertian, struktur, silabus, RPP)
4. Muatan lokal
5. Pengembangan Diri
6. Pengaturan Beban Belajar
7. Ketuntasan Belajar (KKM)
8. Kelulusan siswa (pelaporan/raport, skl)
Dengan memberi atau menambahkan nilai-nilai keislaman konstekstual pada komponen yang menjadi bagian dari KTSP tersebut, diharapkan bisa meningkatkan mutu lulusan lembaga pendidikan islam.
3. MENILAI APLIKASI BERBAGAI PANDANGAN FILOSOFIS DALAM APLIKASI PENDIDIKAN
Hal yang mendasar dari sebuah proses pendidikan adalah sejauh mana lembaga pendidikan itu siap memproses anak didik menjadi anak didik yang mampu menyerap dan mengamalkan nilai-nilai ajaran islam yang ditanamkan kepada mereka. Melalui serangkaian kurikulum yang ditetapkan, dilaksanakan oleh para guru yang berkualitas, baik kualitas keilmuannya maupun kualitas keagamaannya serta didukung oleh kecermatan dan kejelian dalam memilih pendekatan, strategi dan metode yang diterapkan dalam menyampaikan materi pelajaran, kemungkinan besar keberhasilan sebuah lembaga pendidikan itu akan tercapai.
Nilai-nilai keislaman yang kita tanamkan kepada peserta didik ini harus kita susun secara rapi dan kita pikirkan secara mendalam, menyeluruh dan terkonsep dengan baik. Nilai-nilai keislaman inilah yang menjadi masalah utama dan sekaligus mendasar dalam dunia pendidikan islam. Sayangnya tidak setiap orang memahami masalah besar ini. Lebih sayang lagi bila hal ini kurang disadari oleh pengambil keputusan dalam bidang pendidikan.
Nilai adalah angka atau harga.[20] Bernilai artinya berharga. Sesuatu barang bernilai tinggi karena barang itu harganya tinggi. Jelas, segala sesuatu tentu bernilai, karena segala sesuatu berharga, hanya saja ada yang harganya rendah ada yang tinggi. Sebetulanya tidak ada sesuatu yang tidak berharga; tatkala kita mengatakan ” ini tidak berharga sama sekali” sebenarnya yang kita maksud ialah ini harganya amat rendah. Kita mengatakannya dengan cara lain bahwa barang itu nilainya amat rendah.[21]
Dalam dunia pendidikan, lembaga pendidikan islam harus mampu menanamkan nilai-nilai keislaman secara mendalam, menyeluruh kepada peserta didik, sehingga peserta didik betul-betul bertingkah laku dan berakhlak sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Apabila lembaga pendidikan islam mampu mencetak generasi yang beriman, bertaqwa, berilmu serta berperilaku sesuai dengan ajaran-ajaran isalam, maka lembaga pendidikan islam itu mempunyai harga atau nilai yang tinggi.
Dan sebaliknya apabila lembaga pendidikan islam itu tidak mampu mencetak generasi yang beriman, bertaqwa, berilmu serta berperilaku sesuai dengan ajaran-ajaran islam, maka lembaga pendidikan islam itu gagal dalam mencetak generasi muslim mendatang.
Lembaga pendidikan Islam harus mampu mencetak generasi yang berakhlaqul karimah. Karena generasi yang berakhlakul karimah akan mampu membawa perubaha-perubahan positif di kalangan masyarakat sekelilingnya. Sebaliknya generasi yang berakhlak tercela akan menyebabkan timbulnya penyakit kejiwaan, yang pada akhirnya akan membawah dampak negatif dalam kehidupan sosialnya. Karena itulah awal dari krisis yang berkepanjangan di negara kita ini adalah bermula dari krisis akhlak yang melanda masyarakat kita.
Kesalahan mendesain pendidikan islam akan menyebabkan keimanan yang lemah, iman yang lemah akan menyebabkan kemerosotan akhlak, merosotnya akhlak akan menyebabkan penyakit kejiwaan, penyakit kejiwaan akan menimbulkan berbagai macam tindakan kriminal.
Oleh karena itu kita harus bisa membangun lembaga pendidikan yang baik yang bisa mengantarkan umat islam menuju tecapainya kebahagiaan dunia dan akhirat
4. KESIMPULAN
Dari paparan makalah ini, dapat saya simpulkan sebagai berikut;
4.1. Berbagai pandangan filosofis pendidikan dari berbagai filosof muslim setelah dikaji dan sesuaikan dengan keadaan sosial atau lingkungan dapat diaplikasikan pada praktis pendidikan mulai dari; tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, subyek pendidikan (pendidik), anak didik, lingkungan pendidikan, dan metode pendidikan. Namun pada makalah saya ini hanya pada tiga poin yang pertama saja.
Misalnya : Tujuan filosofis pendidikan islam yaitu : Mencetak generasi muslim yang beriman dan bertakwa (mempunyai tingkat intlektual, emosional dan spiritul yang tinggi) serta mampu merespon perubahan jaman.
Kurikulum pendidikan (dalam arti sejumalah mata pelajaran beserta silabus atau pokok bahasan): Kurikulum yang harus dilalui peserta didik pada lembaga pendidikan islam harus bisa memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang ;
Dari beberapa pandangan tokoh tentang pendidikan islam di atas adalah sangat penting untuk diambil intisarinya dan selanjutnya diterapkan pada sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan Islam saat ini.
Misalnya sebagaimana pandangan Al Ghazali kesucian jiwa pendidik dan anak didik harus dijaga pada saat-saat proses belajar mengajar, agar peserta didik dalam menerima ilmu yang disampaikan pendidik mudah diserap dan diamalkan oleh anak didik.
Pendidik yang ketaqwaannya kepada Allah sangat tinggi serta uswah hasanah dari seorang pendidik akan mudah terpancar kepada anak didik yang sedang mengikuti proses belajar mengajar.
Kita harus punya keyakinan yang kuat kepada Allah swt. bahwa barang siapa yang menolong agama Allah, pasti akan ditolong oleh Allah swt. Dengan keyakinan yang kuat atas pertolongan Allah swt kepada orang-orang yang menolong agama Allah swt. termasuk lewat dunia pendidikan, niscaya rizkinya akan dicukupi oleh Allah swt. sehinga dalam melaksanakan tugas mengajarnya tidak hanyak berfikir tentang imbalan yang akan diperolehnya setelah mengajar.
Metode Pendidikan : Seberapa banyak pendidik memiliki teroi tentang metode pendidikan, semakin banyak fariasi/kreatifitas pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan, semakin berfariasi metode dalam menyampaikan materi pelajaran maka semakin banyak pula materi yang diserap oleh anak didik.
4.2. Usaha untuk meningkatkan kualitas pendidik mutlak dilakukan. Usaha itu bisa berbentuk kegiatan memperbanyak membaca sumber-sumber ilmu pengetahuan oleh si pendidik itu sendiri, atau dengan mengikuti berbagai kegiatan yang bisa meningkatan kualitas diri pendidik. Misalnya mengikuti workshop, seminar, pelatihan-pelatihan tentang kependidikan. Atau melanjutkan kuliah S2 dan S3 tentang kependidikan dan lain-lain.
Demikian paparan makalah ini semoga bermanfaat, Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir (2006) Filsafat Pendidikan Islam. Rosdakarya, Bandung
Abdul Aziz Dahlan (2003) Pemikiran Falsafati dalam Islam. Djambatan, Jakarta
Abudin Nata (2005) Filsafat Pendidikan Islam. Gaya Media Pratama, Jakarta
Eguene A. Myers (2003) Zaman Keemasan Islam. Fajar Pustaka Jaya, Yogyakarta
Harun Nasution (1989) Falsafat Agama. Bulan Bintang, Bandung
Kemas Badaruddin (2007) Filsafat Pendidikan Islam. Pustaka Pelajar, Jogjakarta
Marimba, Ahmad D. (1974) Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Edisi IV, PT. Al Maarif Bandung
Muzayyin Arifin (2005) Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta
Sudjarwo (2006) Filsafat Pendidikan. Yayasan Kampusina, Surabaya
Thaha Abdul Baqi Suru (1993) Alam Pikiran Al Ghazali. Pustaka Mantis, Solo
Zuhairini (2004) Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Depag Jakarta
[1] Dra. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara hal, 149
[2] Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. Filsafat Pendidikan Islam, hal 33
[3] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, hal 33
[4] Prof. Dr. H. Abduddin Nata, MA, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Baru hal, 14
[5] Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. Filasafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, 108
[6] op.cit 212
[7] Ibid, 224
[8] Prof. Dr. Suwito, MA, Fauzan, MA., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Kencana hal, 79
[9] UU No.20/2003 tentang Pendidikan Nasional
[10] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., GMP, hal 214
[11] Ibid, 234
[12] Prof. H. Muzayin Arifin, M.Ed. hal 81
[13] Op. cit, hal 226
[14] Ibid hal 226
[15] Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, hal 150
[16] Prof. Dr. H. Abduddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam, hal 226
[17] Thaha Abdul Baqi Surur, Alam Piemikiran Al Ghzalai, Pustaka Mantiq hal 55
[18] Ibid, hal 147
[19] Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Graha Ilmu hal, 42
[20] Drs. Suharta, Drs. Tata Iryanto, Kamus Bahasa Indonesia Terbaru, PT Indah Surabaya hal, 178
[21] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam Rosda Bandung, hal, 50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar