Kamis, 16 Maret 2023

ANALISIS PERUBAHAN KURIKULM DAN DAMPAK DARI PERUBAHANNYA

 

SOAL

 

1.              Dalam perkembangan sejarah pendidikan di Indonesia seringkali terjadi perubahan kurikulum. Buat analisis, mengapa kurikulum seringkali berubah dan bagaimana dampak perubahan itu bagi perkembangan pendidikan di Indonesia !?.

 

JAWAB

Analisis Pertama

Perubahan kurikulum terjadi karena adanya faktor yang mendorong terjadinya perubahan itu. Faktor tersebut adalah antara lain :

1.              Social Demand (kebutuhan masyarakat)

2.              Science and Technology Development (perkembangan IPTEK)

3.              Man Power Resources (kebutuhan tenaga kerja) [1]

 

1.              Social Demand (kebutuhan masyarakat)

Pada dasarnya, pendidikan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum harus berdasarkan kebutuhan masyarakat dan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kurikulum yang dimikian adalah kurikulum yang relevan dengan masyarakat[2] Sedangkan kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat akan meningkatkan jumlah lulusan yang menganggur[3]

Kalau kita melihat sejarah pendidikan di Indonesia kita tidak boleh melupakan tokoh-tokoh yang melakukan proses pendidikan di Indonesia jaman dahulu, yaitu para Kiyai dan Ustadz di pesantren-pesantren. Mereka melakukan proses pendidikan karena kebutuhan masyarakat saat itu adalah supaya bisa pandai sehingga tidak mudah di akali oleh para penjajah. Kurikulum yang digunakannya pun bersifat sangat sederhana yaitu belajar menulis dan membaca Al Quran. Seiring dengan berjalannya waktu, kebutuhan masyarakat akan pendidikan pun berubah mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat setempat. Kita lihat misalnya pendidikan yang dilaksanakan oleh KH. Ahmad Dahlan ( Jogjakarta), Ki Hajar Dewantara (Jogjakarta) Kyai Mohammad Syafei (Sumatera Barat dengan INSnya), kurikulum yang dipakai berkisar pada kebutuhan masyarakat saat itu yaitu bagaimana bisa mempersiapkan kemerdekaan RI. [4] Pada masa-masa selanjutnya kurikulum mulai terlembagakan sebagaimana yang kita lihat pada fase-fase berikut ;

a. Tahun 1968       :   Kurikulum berorentasi pada Materi (Subject Matter Oriented)

b. Tahun 1975       :   Kurikulum berorentasi pada Tujuan (Out put Oriented)

c. Tahun 1984       :   Kurikulum penyempurnaan dari kurikulum tahun 1975

d. Tahun 1994       :   Kurikulum berorientasi pada Tujuan Nasional dan Lokal

e. Tahun 1999       :   Kurikulum Suplemen

f. Tahun 2004       :   Kurikulum berorientasi pada Kompetensi (Integrasi Tujuan Umum)

g. Tahun 2006       : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan [5]

Semua perubahan yang dilakukan pada kurikulum yang terlihat sebagaimana fase-fase diatas bertujuan agar bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.

Perubahan yang terjadi di masyarakat baik dimensi kebudayaan, geografis, politik, sosial dan ekonomi harus bisa dijawab oleh kurikulum yang sedang dilaksanakan oleh suatu lembaga pendidikan.

2. Science And Technology Developments :

Kita mengetahui bahwa berkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi sekarang sedang berkembang pesat, guru sebagai agen pembelajaran tidak boleh kalah dengan perkembangan tersebut, paling tidak bisa mengikuti perkembangan tersebut. Oleh karena itu  guru harus bisa memanfaatkan segala kecanggihan teknologi tersebut dalam rangka untuk memyampaikan bahan ajar kepada para siswa. Perkembangan teknologi dan pertumubhan masyarakat itu digambarkan  oleh A.J. Lewis yang dikutip Omar Hamalik ‘’ bahwa anak yang dilahirkan saat ini menamatkan bangku kuliah, maka dunia informasi yang akan dihadapi nanti sudah berkembang empat kali lipat. Ketika si anak tersebut berumur 50 tahun, dunia informasi menjadi berkembang 32 kali lipat.[6] Kurikulum harus di desain agar siswa mampu menghadapi dunianya saat ini dan waktu yang akan datang. Dengan Teknologi komunikasi yang canggih siswa bisa belajar lewat televisi dan hasilnya sama dengan siswa yang belajar dengan bertatap muka di kelas [7]

Lebih dahsyat lagi dengan perkembangan teknologi Internet, yang memuat jutaan informasi dari berbagai belahan dunia dan berbagai segi kehidupan yang sewaktu-waktu siap untuk diambil oleh banyak orang ke dalam komputer pribadinya. Oleh karena itu Kurikulum akan dengan sendirinya tidak relevan jika tidak bisa mengikti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

3. Man Power Resources (kebutuhan tenaga kerja)

Sebuah lembaga pendidikan harus menyiapkan kurikulum yang siap mencetak lulusan siap kerja. Oleh karena itu harus ada studi yang mendalam tentang apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat sekitar sekolah. Masyarakat merupakan suatu proses yang senantiasa dalam perubahan, dengan perubahan itu masyarakat akan selalu mengalami dinamisasi baik bidang ekonomi, budaya, politik dan sosial.

Dalam dunia yang sedang berkembang, tentu sangat membutuhkan orang-yang bisa menggerakkan roda perekonomian suatu negara dari segala faktornya. Maka lembaga pendidikan yang baik adalah lembaga yang mempunyai kurikulum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya masyarakat membutuhkan tenaga ahli bidang komputer, lembaga pendidikan siap menyuplai orangnya. Masyarakat membutuhkan insinyur mesin, lembaga pendidikan siap mengirim ahlinya dan seterusnya, sehingga semua kebutuhan masyarakat terlayani oleh lembaga pendidikan.

Dari hasil studi Perencanaan Pendidikan dan Ketenagakerjaan menyarankan perlunya diberikan program-program keterampilan yang lebih banyak terhadap program-program di sekolah untuk memperkecil angka pengangguran[8]

Jadi kurikulum pendidikan disusun berdasarkan tingkat kebutuhan atau lapangan kerja di masyarakat [9]

Disamping tiga faktor yang menyebabkan berubahnya kurikulum sebagaiman tersebut diatas adalah lagi faktor yang menyebabkan berubahnya kurikulum yaitu faktor politis. Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan di Indonesia pada masa pra orde baru, dimana politik dijadikan sebagai panglima oleh pemerintah berakibat pendidian diarahkan pada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur dari luar. Selama masa itu pendidikan diarahkan bukan pada peningkatan kualitas tapi sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan politik [10]

Pada masa Orde Baru pendidikan merupakan alat kekuasaan dan bersifat militeristik. Hal ini ditunjukkan dengan penyeragaman pakaian sekolah SD-SLTA dan sentralisasi kurikulum. Padahal sentralisasi, misalnya, merupakan kerangka politik untuk menyeragamkan pola pikir, sikap, dan cara bertindak siswa.[11] Sehingga pada masa orde baru muncul tradisi ganti menteri ganti kebijakan dalam bidang pendidikan.

Kerapnya pergantian kebijakan hususnya kurikulum yang tidak berkesinambungan memperlihatkan tidak dimilikinya blue print mengenai pendidikan nasional. Sekaligus membuktikan bahwa Indonesia belum memiliki pondasi pendidikan yang kuat dan benar.[12]

Analisis Kedua

Dengan berubahnya kurikulum sebagaimana tersebut diatas, akan menimbulkan dampak pada kurikulum dan pendidikan itu sendiri. Namun sebelum menguraikan dampak dari seringnya perubahan kurikulum, kami sampaikan terlebih dahulu tentang pengertian kurikulum sebagai berikut ;

a. Kurikulum dalam arti tradisional

Kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh murid untuk memperoleh ijazah.[13]

Pengertian seperti itu mempunyai implikasi sebagai berikut :

1)              Program sekolah bersifat sangat formal dan hanya berlangsung dalam kelas

2)              Guru sebagai pemegang otoritas pembelajaran di sekolah

3)              Buku paket atau guru sebagai sumber belajar satu-satunya

b. Kurikulum dalam arti modern

‘’ Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not ’’

Pengertian kurikulum tersebut berimplikasi sebagai berikut ;

1)              Sumber belajar ; semua media informasi

2)              Cakupan kurikulum; semua pengalaman, pengetahuan, aktivitas yang berpengaruh terhadap perkembangan perserta didik

3)              Kegiatan pembelajaran dilakukan secara integrated; intra, co dan extra kurikuler[14]

Jelas, bahwa perbedaan pengertian kurikulum akan membawa implikasi yang berbeda-beda pula pada konsep pendidikannya atau proses belajar mengajar.

Dampak dalam arti negatif yang ditimbulkan akibat berubahnya kurikulum adalah antara lain sebagai berikut ;

a. Kebingungan di kalangan sekolah :

Sekolah sebagai pelaksana kebijakan pendidikan di tingkat paling bawah merasa sangat bingung dengan silih bergantinya kurikulum, yang pada akhirnya sekolah harus mengikuti apa yang dimaui oleh pusat. Belum selesai mensosialisasikan kebijakan pusat di tingkat sekolah sudah ganti lagi kebijakan lain, seperti dalam hal konsep CBSA, Link and Match, Suplemen, KBK dan KTSP. Yang lain pun belum disosialisasikan datang lagi yang lainnya. Sehingga sekolah tidak bisa mandiri dan kreatif, yang dikejar hanya bagaimana siswa bisa memperoleh NEM sesuai yang di patok oleh Pusat yang menjadi tolok ukur kelulusan siswa.

b. Tidak Jelas Arah pendidikan

Sering berubahnya kurikulum pendidikan menunjukkan tidak jelasnya arah pendidikan, kita akan sulit merancang pendidikan masa depan.

Dalam istilah HAR Tilaar, pendidikan nasional tidak memiliki blue print [15]

c. Tertinggal dengan negara lain

Negara lain sudah jauh melesat meninggalkan kita, misalnya Malaisia dan Singapura, kita masih berkutat mencari format pendidikan Indonesia yang ideal. Kedua negara tersebut dahulunya masih dibawah negara kita secara kualitas tapi sekarang sudah meningglkan kita. Didik Darmanto (2004) yang dikutip oleh Joko Susilo, gagalnya sitem pendidikan Nasional dalam mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya, terlihat dari despotisme moral masyarakatnya.

Pendidikan di Indonesia tidak memiliki standar pagu mutu yang diinginkan itu seperti apa. Standar pagu mutu dilihat dari sudut pandang siswa, sudut pandang dari orang tua, sudut pandang dari pemerintah, sudut pandang dari masyarakat dan sudut pandang dari dunia usaha tidak ada patokannya.[16]

Dari hasil penelitian HDI tahun 2003, pendidikan di Indonesia menempati urutan ke 112 dari 175 negara. Sungguh hasil yang menyayat hati, Malaisia yang pada era 50-an mengimport guru dari negara kita menempati urutan ke 58, sedang Singapura yang mencontoh konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara menempati urutan ke 28[17]

Dengan demikian menunjukkan kurang bagusnya sitem pendidikan nasional kita termasuk di dalamnya adalah kurikulum, akan membawa dampak ketertinggalan pendidikan kita dari negara lain semakin jauh.

SOAL

2.       Berdasarkan penelitian yang dilakukan World Bank, bahwa kualitas pendidikan di Indonesia belum menunjukkan hasil peningkatan signifikan;

a.     Uraikan apa relevansi antara peningkatan kualitas pendidikan dengan kualitas warga negara pada umumnya.

b.          Uraikan faktor yang dominan mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia !

 

JAWAB

a. Relevansi antara kualitas penndidikan dengan kualitas warga negara         

Relevansi antara peningkatan kualitas penndidikan dengan kualitas warga negara pada umumnya sangat kuat, artinya apabila kualitas pendidikan suatu negara baik maka kualitas warga negara pada umumnya akan ikut baik. Akan tetapi bila kualitas pendidikan suatu negara buruk akan buruk pula kualitas warga negara itu. Karena itu pendidikan akan selalu dibicarakan banyak orang dan banyak negara. Pendidikan adalah merupakan masalah yang tidak pernah selesai. Pendidikan bahkan selalu menjadi perdebatan. Di negara yang sudah maju pun masih selalu membicarakan tentang pendidikan. Semua orang akan mengambil bagian kalau yang dibicarakan masalah pendidikan. Orang yang ingin memperbaiki seseorang, sekelompok orang, suatu negara dan bahkan dunia pasti akan melakukannya melalui pendidikan. Orang yang akan merusak negarapun akan melakukannya melalui pendidikan[18].

Begitu pentingnya pendidikan untuk kemajuan sebuah bangsa, Sindhunata menerangkan bahwa pada tahun 1972 The International Commision For Education Development dari Unesco sudah mengingatkan bangsa-bangsa, jika ingin membangun dan berusaha memperbaiki keaadaan sebuah bangsa, harus dimulai dengan pendidikan sebab pendidikan adalah kunci.[19]

 

b. Bagaimana memperbaiki kualitas pendidikan

Untuk memperbaiki pendidikan dilakukan dengan mengkaji ulang pendidikan pada tingkat filsafat, pada level ini dilakukan renungan mendalam yang universal dimana pendidikan dihubungkan dengan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, pemikiran mendalam, universal dan bersifat umum ini selanjutnya diturunkan pada level kedua yaitu filsafat pendidikan. Pada level dua ini pendidikan itu dipikirkan secara mendalam dan universal tetapi terfokus pada masalah pendidikan yang akhirnya muncul dalam bentuk paradigma baru tentang pendidikan. Renungan-renungan mendalam ini selanjutnya diturunkan pada level ketiga yaitu penyusunan dan pembangunan kembali teori-teori ilmu pendidikan yang disesuaikan dengan paradigma yang telah dihasilkan pada level dua. Setelah itu barulah didesain model-model pendidikan yang sejalan dengan teori ilmu pendidikan yang baru tersebut. Inilah cara yang benar dalam memperbaiki pendidikan.[20]

Kejayaan suatu bangsa dapat dimanifestasikan dalam banyak cara melalui pendidikan, antara lain dalam tujuannya, keberanian, tanggung jawab moral, keutamaan ilmiah, kebudayaan serta tujuan hidup sehari-hari.[21] Tetapi pada akhirnya sumber dari kejayaan adalah pada individu dan masyarakat yang merupakan subtansi hidup dari bangsa dan negara. Tiada tugas negara yang paling mulia kecuali meluaskan kesempatan mengenyam pendidikan yang sebaik-baiknya kepada setiap warga negaranya.

Oleh karena itu perbaikan pendidikan dengan yang sifatnya tambal sulam tidak akan bisa menyelesaikan problem perbaikan pendidikan. Misalnya, lulusan kurang cinta negara, lantas buru-buru pelajaran PKn ditambah jamnya. Melihat murid-murid suka tawuran ditambah jam pelajaran akhlaknya, mencetak buku agama dan sebagainya.

Untuk memperbaiki pendidikan perlu adanya reformasi pendidikan artinya upaya perbaikan pada bidang pendidikan. Reformasi pendidikan memiliki dua karateristik dasar, yaitu terprogram dan sistemik. Reformasi pendidikan yang terprogram menunjuk pada kurikulum atau program suatu institusi pendidikan. Yang termasuk ke dalam reformasi terprogram ini adalah inovasi, yaitu memperkenalkan ide baru, metode baru atau sarana baru untuk meningkatkan beberapa aspek dalam proses pendidikan agar terjadi prubahan. Sementara itu, reformasi sistemik berkaitan dengan adanya kewenangan dan distribusi serta alokasi sumber daya yang mengontrol system pendidikan secara keseluruhan. Reformasi sistemik berada baik di dalam lingkup sekolah maupun luar lingkup sekolah. Namun yang seringkali terjadi kesulitan dalam pelaksanaan reformasi sistemik ini adalah yang berada di luar lingkup sekolah. Tidak jarang reformasi ini melibatkan kekuasaan dan politik, mencakup pelimpahan dan distribusi kewenangan dari birokrasi pada tingkat operasional yang paling rendah. Reformasi sistemik menyatukan inovasi-inovasi yang dilakukan di dalam sekolah dan di luar sekolah secara lebih luas.[22]

Disamping itu pemerintah juga mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan antara lain ;

1.      membenahi kurikulum

2.      peningkatan profesionalisme guru

3.      membuat standar kelulusan

4.      menerap kan otonomi pendidikan (MBS)

5.      memberikan life skill

 

c.   Faktor Dominan yang mempengaruhi Pendidikan di Indonesia

1.   Kebijakan tentang Pendidikan

Ketika Megawati menjadi Presiden RI, beliau memberikan kritik tentang pendidikan sebagai berikut “ kegiatan pendidikan yang disusun dari tahun ke tahun tidak pernah konsisten dan tidak pernah menjamah aspek manusia secara langsung ( Media, 23 September 2000). Ini mengindikasikan bahwa pendidikan di Negara kita secara internal belum bisa memberikan pelayanan prima kepada seluruh warga Negara. Adapun secara eksternal pendidikan di Indonesia ketinggalan jauh dari gerbong globalisasi, dimana tuntutan globalisasi adalah desentralisasi, otonom, dan beragam, sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing [23]. Kalaupun desentralisasi, otonom, dan penerapan MBS telah diberlakukan akan tetapi belum berjalan dengan lancar.

Terlebih lagi dengan adanya klasifikasi sekolah Negeri, Swasta, Unggulan dan Non Unggulan, menjadikan masyarakat memperoleh pendidikan secara tidak merata, dikernakan kebijakan pemerintah untuk masing-masing sekolah tersebut berbeda-beda [24].

2.   Kurikulum Pendidikan

Kurikulum pendidikan seharusnya berorentasi demi kepentingan anak didik, pasar dan pembangunan IPTEK, karena tuntutan era globalisasi adalah kurikulum pendidikan harus integrallity, holistic, wholistic, continuitiy dan consistency, utuh, satu kesatuan, menyeluruh [25]

Diakui bahwa pengembangan kurikulum itu berangkat dari ide yang pada gilirannya diwujudkan dalam bentuk program. Siapa yang memiliki ide tersebut ? Ide biasanya muncul dari peranan tokoh atau orang yang dipercaya atau diberi kekuasaan untuk menangani masalah pendidikan, dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional. Ironisnya, jika ia tidak memiliki ide baru atau hanya meniru ide-ide terdahulu, biasanya masyarakat akan segera bereaksi dan mengkritik kinerja Menteri tersebut. Karena itulah ia harus tampil dengan wajah dan ide baru, salah satunya dengan melakukan perubahan kurikulum. Padahal ganti kurikulum berarti ganti buku, ganti cara membuat silabus dan persiapan mengajar, dan seterusnya [26].

 

3.   Guru

UUD Republik Indonesia secara jelas mencantumkan kata-kata “ ikut mencerdaskan kehidupan bangsa” ini berarti secara konstitusional Negara kita sudah berjanji untuk mencerdaskan seluruh warga Negara melalui dunia pendidikan. Namun sangat ironi sekali kenyataan pendidikan kita jauh tertinggal dengan Negara-negara tetangga kita yang tidak mencantumkan kata-kata “ ikut mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam Undang-undang Dasar negaranya. Karena rendahnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan yang salah satu indikator rendahnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan nasionalnya terlihat dari terpuruknya profesi guru. Profesi guru yang di dalam masyarakat Indonesia sebagai profesi yang terhormat dan ditinggikan, tetapi sekaligus dicampakkan. Pengamatan ini tentunya merupakan lampu kuning terhadap upaya bangsa Indonesia untuk hidup dan bersaing di dalam kehidupan global abad 21 [27]. Secara formal status guru di dalam masyarakat dan budaya Indonesia masih menempati tempat terhormat, namun secara material profesi guru mengalami kemerosotan yang mengkhawatirkan. Dengan diberlakukannya UU RI Nomor : 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, diharapkan bisa merubah penilaian buruk terhadap profesi guru. Karena dalam UU tersebut mencantumkan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut, antara lain ;

a.   memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme

b.   memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.

c.   memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas dst. [28].

 

4.   Sarana Prasarana Pendidikan

      Sarana dan prasarana akan sangat mempengaruhi terhadap kemampuan para pelaksana pendidikan, semakin lengkap sarana yang dimiliki akan mengangkat prestasi pendidikan tersebut

5.   Dana Pendidikan

Dana merupakan salah satu syarat atau unsur yang ikut menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan bermutu. Selama ini, dikeluhkan bahwa mutu pendidikan nasional rendah karena dana yang tidak cukup. Namun dana bukan satu-satunya unsur yang menentukan keberhasilan usaha penyelenggaraan pendidikan bermutu disamping dana juga sitem, keahlian dan moral pelaksana pendidikan juga menjadi faktor utama keberhasilan pendidikan [29].

 

Kesimpulan :

Pada dasarnya tidak seluruhnya pendidikan di Indonesia tidak baik. Kalau kita mengatakan baik-buruknya pendidikan hanya karena kita melihat hasil release penelitian World Bank yang menunjukkan keberadaan pendidikan kita pada rangking jauh di bawah, itu rasanya kurang adil. Kita sebenarnya mempunyai orang-orang yang dikenal dunia sebagai orang yang berkualitas misalnya, era tahun 1970 an kita mengenal Habibie, Gus Dur, Nur  Cholis Majid. Belakangan kita mengenal Anis, Rektor Paramidana, masuk dalam kelompok orang berpengaruh dunia, Andi Octavian Latif siswa SMAN 1 Pamekasan Peraih medali emas Olimpeade Fisika Internasional ke 37 tahun 2006, Adam dan Surya Siswa SMA 1 Jember, peraih medali emas pada Asia Physic Olimpiad tahun 2008 dan lain sebagainya.

Keberadaan orang-orang yang berkualitas tersebut memang tidak sebanding dengan jumlah penduduk di Indonesia yang jumlahnya dua ratus juta lebih, sehingga tidak bisa mengangat citra pendidikan di Indonesia pada umumnya.

Demikian analisis tentang perubahan kurikulum dan dampaknya serta relevansi kualitas pendidikan dengan kualitas warga Negara pada umumnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Arikunto, Suharsimi, Hand out Konsep Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam, Unv. Muhammadiyah Yogyakarta

Hamim, Nur, Hand out Materi Kuliah Perkembangan Kurikulum PAI

Hamalik, Oemar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Rosda, 2007

Irawan, Ade , Mendagangkan sekolah, ICW, 2004

Muhaimin, MA. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Raja Grafindo, Jakarta, 2006

Mulyasa, E., Manajemen Berbasis Sekolah, Rosda, 2007

Mastuhu, M.Ed. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional abad 21, Safrina Insania Press, 2004

Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah, Grasindo, 2003

Pidarta, Made, Landasan Kependidikan,  Rineka Cipta, Jakarta, 1997

Syukur, Fatah NC, M.Ag. Teknologi Pendidikan, RaSail, 2005

Susilo, M. Joko Pembodohan siswa tersistimatis, Pinus, 2007

Tafsir, Ahmad Filsafat Pendidikan Islam, Rosda, 2006,

Tilaar, H.A.R. M.Sc. Ed., Membenahi Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, 2002,

 



[1] Hand out Materi Kuliah Perkembangan Kurikulum, Dr. Nur Hamim

[2] Prof. Dr. H. Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Rosda, 2007 hal 76

[3] Drs. Nurkolis, M.M. Manajemen Berbasis Sekolah, Grasindo, 2003 hal 280

[4] Landasan Kependidikan,  Prof. Made Pidarta, Rineka Cipta, Jakarta, 1997 hal 123

[5] Hand out Konsep Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam, Prof. Dr. Hj. Suharsimi Arikunto, Unv. Muhammadiyah Yogyakarta

[6] Prof. Dr. H. Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Rosda, 2007 hal 43

[7] Drs. Fatah Syukur, NC, M.Ag. Teknologi Pendidikan, RaSail, 2005 hal 149

[8] Dr.E. Mulyasa, M.Pd. Manajemen Berbasis Sekolah, Rosda, 2007 hal 8

[9] M. Joko Susilo, Pembodohan siswa tersistimatis, Pinus, 2007 hal 227

[10] Ade Irawan, Mendagangkan sekolah, ICW, 2004 hal 11

[11] ibid hal 12

[12] Ibid hal 16

[13] Prof. Dr. H. Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Rosda, 2007 hal 3

[14] Hand out Materi Kuliah Perkembangan Kurikulum, Dr. Nur Hamim

[15] Ibid

[16] Drs. Nurkolis, M.M. Manajemen Berbasis Sekolah, Grasindo, xvii

[17] M. Joko Susilo, Pembodohan siswa tersistimatis, Pinus, 2007 hal 16

[18] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, Rosda, 2006, hal 40

[19] M. Joko Susilo, Pembodohan siswa tersistimatis, Pinus, 2007 hal 226

[20] Ibid, hal 43

[21] Dr. H. Sujarwo & Dr. H. Basrowi, Filsafat Pendidikan, Yayasan Kampusina, 2006 hal 103

[22] Drs. Nurkolis, M.M. Manajemen Berbasis Sekolah, Grasindo, hal 35

[23] Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional abad 21, Safrina Insania Press, 2004 hal, 32.

[24] Ibid, hal 33

[25] Ibid, hal 37

[26] Prof. Dr. H. Muhaimin, MA. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Raja Grafindo, Jakarta, 2006 hal, 81

[27] Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed., Membenahi Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, 2002, hal 85

[28] Dr. E. Mulyasa, M.Pd. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Rosda, 2008, hal 21

[29] Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional abad 21, Safrina Insania Press, 2004 hal, 51.

ROH DAN KEMATIAN MENURUT AL GHAZALI

 

Bab I

Pendahuluan

 

Dalam dunia Islam ada dua ulama salaf dan kontemporer, yang menurut penulis mempunyai pandangan tentang kematian, yaitu Al Ghazali dan Fazlur Rahman. Al Ghazali merupakan sosok intlektual yang menguasai banyak lapangan intelektual, di samping berhasil pula menyelaraskan kehidupan intelektualnya dengan penguasa.[1] Al Ghazali adalah ulama yang produktif yang meninggalkan banyak karya, yang ditulis dalam banyak lapangan disiplin keilmuan Islam. Di antaranya ialah; Ar Risalah al Qudsiyyah, Ihya’ ’Ulum ad Din, Ad Durrah al Fakhirah fi Kasyf Ulum al kahirah dll.

Disamping itu Al Ghazali juga menulis tentang filsafat, sufisme, fikih dan juga kalam. Dalam bidang sufisme inilah yang membuat Al Ghazali memutuskan untuk menarik diri dari kehidupan umum. Karena beliau menganggap metode sufisme inilah yang merupakan metode terbaik dalam pencarian kebenaran.[2]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab II

Biografi Al Ghazali

 

Dalam dunia Islam tidak henti-hentinya orang selalu menyebut dan membicarakan sosok ulama, cendekia, tokoh  yang sangat berpengaruh di dunia Islam, yang dikagumi baik oleh kawan maupun lawan, yang sangat masyhur dengan sebutan ”Hujjatul Islam”. Beliau adalah Al Ghazali. Nama lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad A1-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H (1 085M) di kota Thus, Khurasan, wilayah Persia.[3] Tepatnya di desa Gazaleh.[4] Sebelum ayahnya meninggal dunia, ketika A1-Ghazali masih kecil, beliau dan saudaranya telah diserahkan kepada seorang ahli tasawuf yang kelak mendidiknya. Di Durjan, beliau mempelajari ilmu fiqih dan bahasa Arab. Dari sana beliau meneruskan perjalanannya ke kota Naisabur, dekat Thus. Di sini beliau dalam usia 20-28 tahun berguru dan bergaul dengan Imam al Juwaini (Imam Al-Haramain) yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan.[5] Di sini pulalah beliau dengan amat tekun mulai memperdalam berbagai ilmu: ilmu logika, ilmu kalam, dan ilmu-ilmu lainnya yang penting. Lama sesudah itu beliau pindah ke Baghdad, kota pusat kebudayaan Islam pada masa itu. Di sini beliau mulai mengajarkan ilmunya. Namanya mulai termasyhur dan banyak orang tertarik kepadanya. Kebesaran jiwa yang tumbuh dalam pribadi Al-Ghazali mendapat perhatian dari perdana menteri Nizharn Al-Mulk yang pada masa itu memerintah di bawah Dinasti sultan-sultan Saljuk. Atas kebijaksanaan perdana menteri itu, A1-Ghazali diangkat menjadi guru besar pada universitas Nizhamiyyah, yaitu pada tahun 484 Hijriah.

Kedudukannya sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan, namanya yang termasyhur telah mempengaruhi jiwanya untuk cinta kepada kebendaan. mengharap kehormatan, kemewahan dan harta benda. Tetapi pengaruh yang demikian itu tidak lama menyelinap pada dirinya, karena kemudian timbul pergolakan-pergolakan dalam batinnya, pergolakan dan pertentangan antara “ilmu” dan “amal.” Semua suara batin yang mengajak kepada kebendaan itu dapat dikalahkan. Tetapi pergolakan-pergolakan di dalam batinnya itu menyebabkan beliau jatuh sakit. Seorang dokter yang hendak menolongnya mengatakan bahwa penyakitnya sukar disembuhkan, karena penyakit itu bukan berasal dan “luar”, melainkan dan “dalam”. Oleh karena itu, segala pengobatan dan luar tidak akan dapat membawa manfaat baginya. Oleh sebab itu beliau berusaha untuk mengobati penyakitnya dengan kekuatan jiwanya sendiri. Diobatinya penyakitnya itu dengan melindungkan dirinya kepada Allah, memohon bantuan dan pertolongan agar disembuhkan-Nya, agar penyakit itu lepas dari dirinya. Akhirnya, berkat anugerah Allah, sakitnya menjadi sembuh, bahkan beliau mendapat ilham dan petunjuk dari-Nya. Hatinya menjadi terang, sikapnya menjadi tabah serta memperoleh “kepastian” tentang ilmu. Beliau berani meninggalkan segala kemewahan, harta kekayaan, kehormatan dan keluarga yang ada di Baghdad untuk kemudian pergi ke Suriah pada Tahun 489 H. Sebelumnya, segala harta kekayaan yang diperoleh di Baghdad telah diwakafkan terlebih dahulu. Di kota Damaskus, beliau tinggal selama sebelas tahun. Di Damaskus inilah mula-mula beliau melakukan pertobatannya dengan melakukan khalwat, beriktikaf, menyucikan diri dan jiwanya, membersihkan akhlak dan budi pekertinya, selalu berpikir tentang Allah SWT Dari situ kemudian beliau pergi ke Yerusalem. Di sini pun beliau menetap dan berkhalwat di masjid Baitul Maqdis. Lama kemudian sesudah itu, beliau pergi ke Mesir dan seterusnya ke Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji.

Kadang-kadang A1-Ghazali pulang ke Baghdad untuk sekadar menengok keluarganya. Kehidupan yang demikian ini berjalan bertahun-tahun. Setelah sekian lama berada di dalam pengembaraan, akhirnya beliau pulang kembali dan menetap di Baghdad. Sekali lagi beliau diminta oleh perdana mentri Nizham Al-Mulk untuk menjadi guru besar pada universitas Nizhamiyyah, yaitu pada tahun 500 H (1106 M).[6]

Menurut Sulaiman karangan al Ghazali mencapai 300 buah, ia mengarang pada usia 25 tahun sewaktu masih di naisabur. Ia menggunakan waktu 30 tahun untuk mengarang. Dengan demikian setiap tahun ia menghasilkan 10 buah kitab besar kecil yang meliputi beberapa bidang ilmu pengetahuan, antara lain Filsafat, Ilmu Kalam, Fiqih-Ushul Fiqh, Tafsir, Tasawuf dan Akhlaq.

Sesudah mengarungi lautan hidup yang luas itu, menyelami ilmu yang sangat dalam serta menegakkan ibadah, maka pada tanggal 9 Desember 1111 M (505 H), Hujjah al-Islam, waliyyullah, dan filosof Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad A1-GhazâlI berpulang ke rahmatullah.[7] Bertepatan dengan hari Senin, 14 Jumadil Akhir 505 H. Berdasarkan keterangan saudara kandung al Ghazali, mengatakan bahwa pada hari Senin ketika waktu Shubuh, al Ghazali berwudlu kemudian melakukan sholat, lalu mengatakan ”Saya harus menenakan kain kafan”. Kemudian beliau mengambil sendiri, menciumi dan menutupkan kain tersebut pada kedua matanya seraya mengatakan: “Dengan rasa tunduk dan patuh saya menghadap keharibaan Raja Diraja, kemudian beliau memanjangkan kedua kakinya menghadap kiblat, lalu wafatlah beliau sebelum pagi menyingsing [8]

 

 

Bab III

Pandangan Al Ghazali Tentang Roh dan Kematian

 

1.      Roh

Pada dasarnya kalau kita berbicara tentang roh, kita harus punya rambu-rambu terlebih dahulu. Ruh mana yang boleh kita bicarakan dan yang tidak boleh kita bicarakan. Sebab dalam  QS. Al Isra’ : 85 telah dinyatakan yang artinya : Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".[9]

Jadi membicarakan roh disini adalah hanya sebatas luarnya saja bukan pada hakikat roh itu sendiri. Karena kemampuan yang diberikan Allah kepada manusia tentang roh ini memang dibatasi oleh Allah. Yang jelas manusia akan mempunyai hidup kedua. Dalam hidup kedua nanti manusia juga akan mempunyai tubuh. Hal itu ditegaskan dalam QS. Al Isra’ : 49 : Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?"

Al Ghazali berpendapat bahwa ruh terbagi menjadi tiga, ruh tumbuh-tumbuhan, ruh binatang dan ruh manusia. Manusia mempunyai tiga macam ruh itu. Dalam hal ruh Al Ghazali membedakan antara ruh dan nafs. Ruh adalah yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, sedang nafs khusus ada dalam manusia. Jadi manusia mempunyai badan, ruh dan nafs, sedang binatang hanya mempunyai badan dan ruh. [10]

Untuk lebih jelasnya pembagian ruh menurut Al Ghazali, sebagai berikut ; Ruh binatang mempunyai dua daya : gerak dan mengetahui. Daya gerak terbagi dua ; dari luar dan dari dalam.

Nafs mempunyai dua daya ; praktis yang menggerakkan badan manusia dalam perbuatan-perbuatannya, dan teoritis yang menangkap pengetahuan-pengetahuan. [11]

Nafs merupakan suatu substansi yang berdiri sendiri. Dan nafs dijadikan atau diciptakan Tuhan tiap kali ada manusia yang lahir ke dunia ini. Sungguhpun nafs dijadikan, artinya mempunyai permulaan, nafs bersifat kekal dan tak akan hancur. [12]

 

2.      Makna Kematian

Pembahasan mengenai kematian tampaknya tidak bisa semata-mata didekati secara rasional-ilmiah. Filsuf-filsuf besar sekalipun, semisal Karl Marx (1818-1883), Sigmund Freud (1856- 1939), dan Jean-Paul Sartre (19O-198O).[13] bila hanya mengandalkan rasionalitas atau indriawi, akan ‘gagal’ mengkonsepsikan kematian. Pada akhirnya, tokoh-tokoh ini sampai pada kesimpulan bahwa kematian adalah akhir dan segalanya; kesimpulan yang sama sekali bertentangan dengan doktnin eskatologi dalam setiap agama.

Islam, dalam hal ini Al Qur’an, memiliki seperangkat argumen untuk merespon pandangan bahwa kematian adalah akhir dan segalanya. Respon ini mula-mula ditujukan kepada masyarakat Arab Jahiliah yang secara umum tidak mau mengakui Keesaan dan Kekuasaan Allah. Mereka membuat pertanyaan-pertanyaan seperti “mungkinkah tulang-belulang yang sudah hancur akan bisa dibangkitkan kembali?”,[14] sampai Alqur’an datang memberikan jawabannya. Namun, respon Alqur’an ini tidaklah diperuntukkan bagi keseluruhan masyarakat Arab Jahiliah. Sebab, melalui syair-syair mereka yang masih terpelihara sampai kini, ada indikasi kuat yang menunjukkan bahwa sebagian di antara mereka telah beriman kepada Allah dan menerima doktrin Kebangkitan-kembali. Dengan demikian, sejak masa-masa awal, Alqur’an sebetulnya sudah mengajukan berbagai argumen untuk membungkam para pengingkar doktrin Akhir.

Al-Gazali mengemukakan tiga argumen, Pertama, bahwasanya Alqur’an menantang para pengingkar untuk meimikirkan sesuatu yang kelihatan sangat mustahil tetapi bagi Allah sangat mudah diwujudkan. Tantangan semacam ini sudah sering disampaikan melalui berbagai konteks, dan selalu terbukti akan kebenarannya. Kedua, betapa kekuasaan Allah telah begitu nyata di depan mata, yaitu dengan mampu membuat Ashhab al-Kahf hidup selama ratusan tahun. Kisah ini memberi kesan bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Ketiga, mengembalikan sesuatu yang sudah ada sebelumnya pada dasarnya tidaklah berbeda dengan memulai sesuatu untuk yang kedua kalinya.[15]

Al-Gazili selanjutnya memperkuat argumentasinya dengan suatu pernyataan apologetik bahwa, adanya kehidupan setelah kematian ini tidak perlu diherankan dan diragukan lagi, sebab secara logis banyak hal sebetulnya yang lebih patut lagi diherankan tetapi toh kemudian diterima. Al-Gazali memberikan contoh seorang bayi yang semula adalah makhluk yang tidak berdaya tetapi kemudian mampu menjadi raja yang menguasai dunia. Jadi, penjelasan ini menyiratkan suatu konsep “sunnatullah”, bahwa kematian dan kehidupan merupakan proses yang terjadi secara alami menurut kehendak-Nya. Jika demikian halnya, maka tentu kematian dan kehidupan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kematian dan kehidupan memang merupakan proses kontinuitas yang saling terkait. Karena itu, kedua proses yang pasti dialami manusia ini kerapkali digambarkan secara beriringan di dalam Alqur’an. Kematian dan kehidupan, misalnya, sama-sama digambarkan terjadi dua kali.[16] Kematian pertama ‘diwujudkan’ ketika roh kehidupan belum dihembuskan kepada manusia, dan kematian kedua terjadi ketika roh kehidupan yang telah dihembuskan tersebut dicabut kembali. Adapun tentang kehidupan, Al qur’an menginformasikan bahwa manusia juga pasti mengalami dua kehidupan; yang pertama adalah kehidupan yang terjadi pada saat kesaksian roh akan ketuhanan Allah. Dengan demikian, menurut a1-Gazali, setelah kematian kedua (tercabutnya roh dan badan), akan ada lagi kehidupan yang ketiga, yang merupakan kehidupan abadi, yakni kehidupan Akhirat. Karena itu, kematian kedua, meski tampak sebagai kepunahan, tetapi pada dasarnya adalah sebuah proses menuju kehidupan yang ketiga, yaitu saat manusia dibangkitkan kembali. Kematian kedua, dalam konsepsi al-Gazali, adalah “Kiamat Kecil” (al Qiyimah as-Sughra), sehingga bila seseorang meninggal dunia, maka ia telah mengalami Kiamat Kecil. Hal ini sebagaimana yang terungkap dalam sebuah Hadis: “Siapa yang meninggal dunia, maka kiamatnya telab bangkit.”

A1-Gazali, menganalogikan tidur dengan kematian dari Sebuah Hadis: “Manusia sebenarnya tidur, bila mereka niati, barulah mereka bangun.”[17] Oleh karena itu, tatkala seseorang telah mati maka tampaklah berbagai perkara yang tidak sesuai lagi dengan apa yang telah disaksikannya pada saat di dunia.[18] Dari sinilah Al Ghazali berpendapat bahwa kematian bukanlah akhir dan pengalaman eksistensial manusia. Kematian adalah ‘pintu’ untuk memasuki suatu kehidupan baru yang sama sekali lain dan sebelumnya, kehidupan yang abadi, kehidupan Akhirat.

Dengan kesadaran bahwa kematian bukan akhir dan kehidupan, maka keyakinan akan adanya suatu alam setelah kematian adalah suatu keniscayaan. Dalam kaitan ini, doktrin Akhirat menjadi sebuah wacana penting sebagai upaya untuk menyikapinya. Keyakinan terhadap doktrin ini menyebabkan seseorang berusaha untuk menjangkau nilai-nilai jangka panjang, yang boleh jadi mengantarkannya untuk hidup dengan cara meninggalkan kepentingan-kepentingan duniawi.

 

3.      Lukisan Terjadinya Kematian

Kematian yang dimaksud di sini adalah kematian kedua, yakni tercerabutnya nyawa (roh) dan jasad. Pada umumnya orang sepakat bahwa kematian ini merupakan peristiwa yang paling mengerikan, sehingga, mungkin tidak ada penistiwa yang lebih menakutkan di dunia ini selain daripada kematian. Namun demikian, kematian adalah sebuah fakta dan keniscayaan yang tidak bisa ditolak kehadirannya oleh suatu makhluk hidup. Persoalan ini memunculkan misteri, sebab tidak seorang pun manusia yang telah mati dapat hidup kembali untuk kemudian ditanyakan kepadanya bagaimana kondisi yang dialami ketika kematian, kejadian-kejadian apa yang dihadapi setelah kematian, dan aneka teka-teki lain yang menyelimuti.

Dari sudut pandang asketis, kematian dianggap sebagai sesuatu yang akan mengakhiri kehidupan jangka pendek (fana), sebagai pintu-masuk menuju kehidupan jangka panjang yang lebih mulia. Kendati demikian, bukan berarti bahwa kematian boleh ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar, seperti melakukan tindakan bunuh diri, sebagai upaya untuk mempercepat proses jalan menuju kehidupan jangka panjang. Bunuh diri, apa pun alasannya, tidak dibenarkan oleh ajaran agama mana pun, dan hal ini juga secara keras ditolak oleh al-Gazali,

Dari sudut etika universal, bunuh diri tidak dihenarkan karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dengan sengaja menghabisi usia hidup secara biadab.[19] Larangan ini secara implisit (tersirat) dalam Alqur’an Surat 2: 195: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah, dan janganlah kamuu menjatuhkan dirimu sendin ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnja Allah mnyukai orang-orang yang berbuat baik

Al-Gazali, beralasan tentang persoalan bunuh diri, adalah Hadis Rasulullah Saw.:

Barangsiapa membunuh dirinya sendiri dengan besi ia akan datang pada Hari Kiamat dengan membawa besi yang Ia tusukkan diperutnya dalam perut Neraka jahanam yang abadi untuk selama-lamanya, dan  barang siapa menjatuhkan dirinya dari atas gunung kemudian ia membunuh dirinya, maka ia akan jatuh ke dalam Neraka Jabanam. [20]

Terkait dengan soal kematian ini, Al Ghazali menuturkan secara naratif. Menurutnya, apabila kematian seseorang telah mendekat, maka pada saat itu ada empat malaikat yang mendatanginya: satu malaikat yang akan mencabut nyawanya dari kaki sebelah kanan, satu yang akan mencabutnya dari kaki sebelah kiri, satu yang akan mencabutnya dari tangan sebelah kanan, dan satu lagi akan mencabutnya dari tangan sebelah kiri.[21] Terlepas dan apakah jumlah “empat” ini didasarkan atas sumber-sumber yang sahih ataukah merupakan riwayat-riwayat Israiliyat, a1-Gazali mengakui bahwa yang bertugas mencabut nyawa manusia yang akan meninggal adalah Malaikat ‘Izrai1, satu sosok yang kerap digambarkan sebagai sosok yang amat mengerikan ataupun menyenangkan. A1-Gazali mensinyalir bahwa seorang calon mayit akan mengerti tentang perihal Malaikat ‘Izrail ini sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya. Sang mayit akan menyaksikan ‘Izrail dan stafnya sesuai dengan hakikat amal perbuatan yang pernah dikerjakannya. Kalau lidahnya masih dapat bergerak, ia pasti akan berkata-kata dan mengajak dirinya sendiri berbicara sesuai dengan apa yang disaksikannya. Ketika itulah ia mengira bahwa peristiwa-peristiwa yang dialaminya tersebut diakibatkan oleh perbuatan setan, kemudian ia diam sampai lisannya bisa berbicara secara sadar. Para malaikat akan mencabut nyawa dan ujung jari-jemarinya, dan nyawanya akan lepas dan tubuhnya laksana terbuangnya kotoran dan saluran air. Sementara itu, orang yang kufur, nyawanya akan lepas dan tubuhnya laksana lepasnya tusuk berduri dan kain wol yang basah. Sang calon mayit ini mengira perutnya penuh dengan duri, seakan-akan nyawanya keluar dari lubang jarum, seakan-akan pula langit runtuh di atas bumi kemudian ia merasa terjepit di tengah-tengahnya. Oleh karena itulah, Ka’ab, menurut a1-Gazali, ketika ditanya tentang ‘rasa’ kematian, ia menjawab, “Adalah seperti ranting berduri yang dimasukkan ke dalam perut seseorang yang kemudian ditarik keluar oleh seseorang yang sangat kuat. Yang bisa putus akan terputus dan tertinggal, sedangkan yang masih bisa melekat kuat pada rantingnya akan tetap ikut keluar”. Dalam kaitan ini, al-Gazali mengutip sebuah Hadis bahwa Rasulullah pernah bersabda:
“Sungguh, satu kali sekarat mati adalah jauh lebih sakit di bandingkan tiga ratus kali pukulan pedang.”[22]

Dari uraian di atas, kelihatan sekali bahwa dalam teknik penguraian yang bersifat naratif, al-Gazali coba menghidupkan gambaran ketakutan-ketakutan kepada para pembacanya tentang pedih dan seramnya kematian itu. Pada gilirannya, ketakutan semacam ini diharapkannya dapat mencambuk umat untuk segera memberikan pengabdian yang tulus kepada Allah Swt agar mampu menghindarkan diri mereka dari bencana sakaratul maut yang sangat menyeramkan itu.

A1-Gazali memang berupaya menjadikan sebuah wacana keagamaan dapat digiring ke dalam pemahaman teologis. Sehingga, uraian yang memberikan ketakutan-ketakutan seperti itu sangat wajar diejawantahkan ke dalam masalah kematian, sebab bukankah manusia itu sendiri akan mengakhiri angan-angan keduniaannya ketika ia mengingat kematian? Manusia pada saat membayangkan dirinya sekarat (akan menemui kematian), yang kerap dibayangkannya adalah sekujur tubuhnya akan berkucuran keringat, kedua mata menjuling, dan sebagainya, sebagaimana pemandangan yang lazim disaksikan terhadap orang-orang yang sedang sekarat. Al-Gazali, dalam menanamkan upaya teologisnya, mengatakan bahwa Rasulullah sendiri pun juga telah mengalaminya. Implikasi yang ditimbulkan dan sekaligus dicanangkannya dari prosedur semacam ini adalah bahwa manusia senantiasa merasa takut, sebab tidak ada satupun di antara manusia yang mampu luput dari peristiwa itu; Nabi saja mengalaminya.

Menurut al-Gazali, yang menyebabkan calon mayit mengalami hal-hal maha dahsyat tersebut adalah karena ia herhadapan langsung dengan realitas kematian. Realitas kematian itu sendiri meniscayakan: Pertama, terjadinya peristiwa dahsyat yang akan menjadikan dada terasa sempit karena sesaknya jiwa di dalamnya. Kedua, terjadinya peristiwa yang sangat rahasia yang memunculkan getaran suara secana otomatis akibat bergejolaknya suhu temperamen tubuh sampai akhirnya suhu tersebut hilang. Dan proses ini, jiwa akan berubah menjadi dua kondisi: boleh jadi suhu badan naik sampai demikian panasnya, atau justru sebaliknya, terlalu dingin lantaran suhu temperatur badannya telah hilang. Dalam kondisi seperti ini, keadaan mayit akan sangat bervariasi. Di antara mereka ada yang ditikam oleh malaikat dengan menggunakan tombak api yang dilumuri dengan racun, sampai nyawa sang mayit mengalir keluar sebagaimana mengalirnya air raksa oleh reaksi panas, dan selanjutnya dicabut ketika sampai di tangannya yang tampak gemetaran. Hal ini sangat tergantung pada kadar keimanan seseorang.

Bahkan, al-Gazali, lebih jauh, melampaui pemikiran para psikolog, yakni dengan memaparkan tentang proses yang dialami seseorang manakala ia sedang menjalani kematian: Di antara mayit ada yang dicabut nyawanya setahap demi setahap sampai tertahan di tenggorokan, namun masih tetap ada sambungan dengan jantmig. Pada saat itulah ia akan ditikam dengan tombak api beracun, karena sesungguhnya nyawa tidak bisa meninggalkan jantung sampai ia ditikam. Dengan demikian, fungsi tombak tersebut adalah dapat menenggelamkan nyawa dalam lautan kematian. Sebagian para ahli ilmu kalam telah mengatakan bahwa hidup bukanlah jiwa saja, maksudnya adalah bahwa tubuh dan jiwa menyatu. Pada saat sekarat, jiwa akan menghadapi berbagai tantangan dan fitnah. Iblis akan mengirim dan menugaskan para pendukung dan teman-temannya, khusus mendatangi manusia yang berada dalam kondisi sakaratul maut ini, dengan mengubah wujud mereka menyerupai para leluhurnya yang telah tiada yang sangat dicintai dan disayangi, yang semasa hidup mereka bisa memberi nasihat kepadanya, seperfi ayah, ibu, saudara, dan teman-teman dekatnya. Ia datang kepadanya dengan berkata, “Engkau kini dalam proses kematian wahai Fulan! Sedangkan kami telah mendahuluimu dalam masalah ini, maka matilah engkau dalam keadaan Yahudi, karena Yahudi adalah agama yang diterima di sisi Allah!” Kalau mereka (petugas-petugas Iblis, —pen.) telah selesai menghadap kepada si calon mayit tetapi tipu-dayanya tidak berhasil lantaran si calon mayit tidak mau mengikuti nasihatnya, maka akan datang lagi sekelompok teman-teman Iblis yang lain dan berkata, “Matilah engkau dalam keadaan Nasrani, karena Nasrani adalah agama Almasih dan yang menyalin Nabi Musa!” Demikianlah seterusnya, mereka menyebutkan akidah masing-masing agama—sesuai dengan misi mereka.

Namun demikian, penggambaran naratif a1-Gazali tersebut, yang sepertinya sudah diajarkan secara massif di lingkungan Islam tradisonal,63 pada akhirnya dipertegas dengan pengakuan akan keterbatasannya dalam mengungkap realitas kematian itu sendiri, terutama dalam hal efek-efek fisikal yang dirasakan. Ia mengatakan bahwa, “Kesangatan-pedih mengenai sakaratul maut pada dasarnya tidak diketahui secara persis selain oleh orang yang langsung merasakannya”. Yang pasti harus diyakini menurutnya adalah bahwa kepedihan tercerabutnya nyawa yang dilakukan Malaikat ‘Izra’il itu langsung menyerang pada ‘diri’ nyawa itu sendiiri dan menghabiskan semua bagiannya. ‘Diri’ nyawa itulah yang dicabut, ditarik dan setiap urat, dan setiap saraf, dan dari setiap bagian atau organ tubuh; dan pangkal setiap rambut dan kulit, puncak kepala sampai telapak kaki, hingga terlepasnya nyawa (roh) dari raga. Di sini, benih-benih dualisme, yang membuat polarisasi antara jiwa (nyawa, roh) dan raga, yang kelak berimplikasi pada konsep Kebangkitan-kembalinya, sudah keliharan. Al.Gazali menganggap bahwa kematian hanya terjadi pada raga, dan tidak terjadi pada jiwa (nafs).

Demikian pemikiran al Ghazali tentang roh dan kematian yang bisa saya sampaikan semoga bermanfaat, Amin.



[1] Sibawaihi, Eskatologi Al Gazali dan Fazlur Rahman, Islamika, 2004, hal 38

[2] Ibid, hal 45

[3] Ahmad Khudori Sholeh, Kitab al Munqidz min adh-Dhalal, Al Ghazali, Pustaka Hidayah, 1998

[4] Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafati dalam Islam, Djambatan, 2003, hal 105

[5] Ibid, hal 106

[6] Loc. Cit

[7] Ibid

[8] Sayid Abu Bakar Ibn Muhammad terjemaha, Menapak jejak Kaum sufi, Surabaya, ofset 1997 hal 272

[9] QS. Al Isra’ : 85

[10] Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973 hal 86

[11] Ibid, hal 87

[12] ibid

[13] Marx dan kaumnya tidak mempercayai konsep Kebangkitan-kembali setelah kematian. Demikian juga Freud, sepanjang hayatnya, … tidak menemukan satu pun alasan untuk percaya kepada Tuhan, sehingga ia mengangap ritual keagamaan tidak punya arti dan manfaat apa pun dalam kehidupan ini. Jean-Paul Sartre punya asumsi dasar bahwa Tuhan itu tidak ada.

[14] QS. An Naazi´aat : 11 artinya : Apakah (akan dibangkitkan juga) apabila kami telah menjadi tulang belulang yang hancur lumat?" dan juga dala QS. Al Waqiah ayat : 47. Dan mereka selalu mengatakan: "Apakah bila kami mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami akan benar-benar dibangkitkan kembali? Dan juga QS. Ash Shoffat : 53 53. Apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan?"

[15] Argumen pertama berdasar QS. Al Isra’ : 51 artinya atau suatu makhluk dari makhluk yang tidak mungkin (hidup) menurut pikiranmu". Maka mereka akan bertanya: "Siapa yang akan menghidupkan kami kembali?" Katakanlah: "Yang telah menciptakan kamu pada kali yang pertama". Lalu mereka akan menggeleng-gelengkan kepala mereka kepadamu dan berkata: "Kapan itu (akan terjadi)?" Katakanlah: "Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat", Argumen kedua berdasar QS. Al Kahfi : 18. Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka. Argumen ketia berdasar QS. Yasin : 78. Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" 79. Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.

[16] QS. Al Mukmin : 11. Mereka menjawab: "Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?"

[17] Achmad Khudori Soleh, Kegelisahan Al Ghazali, Pustaka Hidayah, Bandung 1998 hal 19

[18] Al Ghazali, Al Munqidz hal 30-31

[19] Berbeda dengan kebiasaan orang Eskimo, apabila sudah tua mengasingkan diri di atas es tidak makan tidak minum sampai meninggal dunia.

[20] Dikutip Sibawaihi dalam Eskatologi Al Ghazali hal 85

[21] Ibid, 86

[22] Ibid hal 87