Sabtu, 09 Januari 2021

ISLAM DAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN Part II

 

Pada zaman Dinasti Umaiyyah, puncak kekuasaan berada di tangan keluarga Marwan, yang digantikan oleh anaknya, Abd al Malik (685-705), ayah para raja. Di bawah kepemimpinan Abd al Malik dan keempat anaknya yaitu Al Walid, Sulaiman, Yazid II, Hisyam, Dinasti Umaiyyah di Damaskus mencapai puncak kekuasaan dan kejayaan. Selama pemerintahan al Walid dan Hisyam, imperium Islam berhasil memperluas wilayah sampai batas-batas yang terjauh, membentang dari pantai Lautan Atlantik dan Pyrenees hingga ke Indus dan perbatasan Cina, perluasan yang hampir tak tertandingi sejak masa klasik, dan hanya dilampaui pada masa modern oleh kerajaan Inggris dan Rusia [1]

Sedangkan zaman Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka segerah setelah didirikan. Kekhalifahan Bagdad yang didirikan oleh Al Saffah dan Al Manshur mencapai masa keemasannya antara masa khlifah ketiga, al Mahdi, dan khalifah kesembilan, al Watsiq, dan lebih khusus lagi pada masa Harun Al Rasyid dan anakanya, al Makmun.[2]

Zaman keemasan dunia islam ini tergambar jelas bahwa betapa banyaknya ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh kaum muslimin waktu itu, karena pemerintah atau kholifah yang berkuasa pada zaman ini memberikan perhatian yang sangat serius kepada kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada ilmu pengetahuan. Diantara perhatian kholifah dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah dengan didirikannya perpustakan yang sangat besar yang diberi nama “ Baitul Hikam”. Di dalam Baitul Hikam ini berkumpul beberapa pakar dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda-beda. Mereka selalu mendiskusikan berbagai ilmu dari berbagai Negara-negara di luar Negara islam.

Dari “ Baitul Hikam” inilah ilmu-ilmu baru dari hasil penterjemahan naskah-naskah klasik dari berbagai Negara tersedia dengan salinan berbahasa Arab yang sangat mudah di baca dan dipahami oleh setiap orang yang ingin mengembangkan keilmuannya. Diantara naskah-nakah klasik yang berlainan bahasa, ada yang berbahasa yunani, bahasa Persia, bahasa India itu memuat berbagai disiplin ilmu yang berbeda, antara lain ;

1.      Dari India banyak diterjemahkan buku-buku yang berhubungan dengan ilmu obat-obatan, ilmu hisab, astronomi, musik dan kesusasteraan

2.      dari Persia banyak diterjemahkan buku yang berhubngan dengan ilmu astronomi, hukum, sejarah, musik dan kesusteraan

3.      dari Yunani, banyak diterjemahkan buku-buku yang berhubungan dengan filsafat, mantiq, tatanegara dan astronomi

4.      dari Mesir banyak diterjemahkan buku-buku yang berhubungan dengan ilmu kimia dan anatomi

5.      dari Kaldani banyak diterjemahkan buku yang berhubungan dengan ilmu pertanian

Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan dalam bukunya Pemikiran Falsafi dalam Islam menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam tidak lepas dari pengaruh pemerintah, dalam bukunya beliau mengatakan : Gerakan besar-besaran untuk membangun segala bidang ilmu dan falsafat diawali dengan turun tangannya Khalifah Ja’far al-Mansur (khalifah kedua Bani Abbas) yang memerintah pada 136-158 H/754-775 M), dalam bentuk pemberian dana yang besar untuk kegiatan tersebut. Al-Mansur selain besar perhatiannya pada ilmu agama, juga sangat besar perhatiannya pada ilmu-ilmu non-agama. Setelah ia membangun kota Bagdad pada tahun 144 HJ762 M, dan menjadikannya sebagai ibukota negara, ia menarik banyak ulama dan para ahli dan berbagai daerah untuk datang dan menetap di Bag- dad. Ia rangsang usaha pembukuan ilmu-ilmu agama dan penerjemahan buku-buku non-agama ke dalam Bahasa Arab. Gerakan mi diteruskan oleh khalifah-khalifah berikutnya, seperti Al-Mahdi (memerintah pada 158-169 H/775-785 M), Harun al-Rasyid (memerintah pada 170-193 H/786-809 M), dan memuncak hebat pada masa pemerintahan Al-Makmun (198-218 H/8 13-833 M), khalifah yang memperhebat peranan lembaga ilmiah/falsafi “Bait al-Hikmah” di Bagdad, yakni satu lembaga yang dilengkapi dengan observatorium, perpustakaan besar, dan majlis terjemah.

Naskah-naskah ilmu pengetahuan dan falsafat yang tersedia dalam Bahasa Yunani, Siryani, Persia, Sangskerta, dan lain-lain cukup banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Pasukan-pasukan Islam yang menyerang ke daerah lawan, misalnya ke Asia Kecil, diperintahkan agar tidak menghancurkan naskah-naskah yang mereka jumpai, tapi mengirimnya ke Bagdad.[3]

 

 

Yang mempertemukan ilmu Yunani dengan pemeluk Islam adalah bahasa Syria. Dengan perantaraan bahasa inilah maka sekolah-sekolah tinggi Harran dan Junde Shapur menjadi hidup subur.

Perkembangan ilmu pengetahuan, apalagi ilmu kedokteran pada masa itu dapat dikatakan menjulang ke langit, sinar bayangannya menyinari seluruh umat manusia di searitero jagad, baik Timur maupun Barat. Pendek kata eksistensi Islam sebagai ajaran yang "rahmatan lil 'alamien" benar-benar dapat menjadi kenyataan pada waktu itu. Perkembangan demikian terjadi pada masa kekuasaan Abbasiyah (750 - 900 M)[4]

Pada masa kejayaan kekuasaan Islam, khususnya pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah, ilmu berkembang sangat maju dan pesat. Kemajuan ini membawa islam pada masa keemasannya, di mana pada saat yang sama wilayah-wilayah yang jauh di luar kekuasaan Islam masih berada pada masa kegelapan peradaban [5].

Demikian banyaknya ilmu yang sudah diterjemahkan dan ditulis dengan bahasa arab, membuat semangat kaum muslimin untuk meningkatkan keilmuan semakin besar dan selama beratus tahun dunia islam menjadi pemimpin dunia dibidang keilmuan dan selama itu pula dunia islam mengalami zaman keemasan.

Namun sekarang kondisi umat islam tidak seperti zaman itu lagi sehingga zaman keemasan dunia islam itu kini mulai diimpikan banyak kalangan muslimin yang mendorong lahirnya berbagai kelompok pembaharu-pembaharu islam.



[1] Philip K.Hitti, History of the Arabs, Serambi, hal 255.

[2] Ibid hal 369

[3] Pemikiran Falsafi dalam Islam, Prof. Dr. Abdul Azizi Dahlan, hal 22

[4] Kebangkitan Islam, Imam Munawir, hal 95

[5] Ibid, hal 40