Senin, 18 September 2023

KONSEP, TEORI DAN MOTIVASI BELAJAR

 

KONSEP, TEORI DAN MOTIVASI BELAJAR

 

 Pendahuluan

 

Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, keterampilan, dan sikap. Belajar dimulai sejak manusia lahir sampai akhir hayat. Pada waktu bayi, seorang bayi menguasai keterampilan-keterampilan yang sederhana, seperti memegang botol dan mengenal orang-­orang di sekelilingnya. Ketika menginjak masa anak-anak dan remaja, sejumlah sikap, nilai, dan keterampilan berinteraksi sosial dicapai sebagai kompetensi. Pada saat dewasa, individu diharapkan telah mahir dengan tugas-tugas kerja tertentu dan keterampilan-keterarnpilan fungsional lainnya, seperti mengen­darai mobil, berwiraswasta, dan menjalin kerja sama dengan orang lain.[1]

   Belajar, sebagai karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain, merupakan aktivitas yang selalu dilaku­kan sepanjang hayat manusia, bahkan tiada hari tanpa belajar. Dengan demikian, belajar tidak hanya dipahami sebagai aktivi­tas yang dilakukan oleh pelajar saja. Baik mereka yang sedang belajar di tingkat sekolah dasar, sekolah tingkat pertama, sekolah tingkat atas, perguruan tinggi, maupun mereka yang sedang mengikuti kursus, pelatihan, dan kegiatan pendidikan lainnya. Tapi lebih dari itu, pengertian belajar itu sangat luas dan tidak hanya sebagai kegiatan di bangku sekolah saja.

Belajar merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui pelatih­an-pelatihan atau pengalaman-pengalaman.[2] Dengan demikian, belajar dapat membawa perubahan bagi si pelaku, baik perubahan pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Dengan perubahan-perubahan tersebut, tentunya si pelaku juga akan terbantu dalam memecahkan permasalahan hidup dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Perubahan dan kemampuan untuk berubah merupakan potensi yang dimiliki oleh manusia sehingga manusia dapat berkembang lebih jauh dari pada makhluk-makhluk lainnya[3].

Oleh karena itu banyak pakar membuat definisi belajar yang berbeda-beda karena perbedaan sudut pandang masing-masing yang sama-sama bertujuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh manusia. Misalnya Belajar menurut Skinner adalah suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progesif. Belajar menurut Chaplin adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman. Belajar menurut Hintzman adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme, manusia atau hewan, disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut. Jadi dalam pandangan Hintzman, perubahan yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar apabila mempengaruhi organisme[4]. Belajar menurut Howard L. Kingsley adalah proses di mana tingkah laku (dalam artian luas) di timbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan [5]

Pada hakikatnya hal-hal yang berkaitan dengan belajar sangatlah banyak dan membutuhkan kajian yang mendalam sehingga betul-betul memberikan pijakan kepada kita dalam mengelola sebuah lembaga pendidikan supaya bisa kualitas out putnya lebih baik dan bisa bersaing di dalam era globalisasi di masa yang akan datang.

Beberapa hal penting yang berkaitan dengan belajar antara lain adalah ; Konsep Belajar, Teori Belajar dan Motivasi Belajar yang akan kami paparkan sedikit dalam makalah ini.

 

PEMBAHASAN

1. Konsep Belajar menurut Al Quran dan Hadits

Islam sebagai agama rahmatan lil ’alamin sangat mewajibkan umatnya untuk selalu belajar. Hal itu bisa kita lihat di dalam Al Quran dan Al Hadits yang menyatakan perintah untuk belajar baik secara tersirat maupun tersurat. Sebagai imbalan bagi orang yang mau belajar (orang yang berilmu) Allah akan meninggikan derajat mereka, baik di dunia maupun di akhirat.

Sebagai pembeda manusia dengan makhluk lainnya adalah kemampuannya untuk belajar. Untuk inilah Allah memberikan akal sebagai alat untuk belajar, sehingga membuat manusia mampu menjadi pemimpin di bumi ini. Karena itu kemampuan belajar adalah salah satu di antara sekian banyak nikmat yang diberikan Allah kepada manusia [6].

Berkaitan dengan belajar islam memberikan pemahaman bahwa ;

1.1.   Orang yang belajar akan dapat memiliki ilmu pengetahuan yang akan berguna untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupannya.

1.2.   Allah melarang manusia untuk tidak mengetahui segala sesuatu yang manusia lakukan. Apapun yang dilakukan, manusia harus mengetahui kenapa mereka melakukan. Dengan ilmu pengetahuan yang didapat, manusia terhindar dari taqlid buta.

1.3.   Dengan ilmu yang dimiliki manusia melalui proses belajar, maka Allah akan memberikan derajat yang lebih tinggi kepada hambanya [7].

 

2.      Konsep Belajar menurut Al Ghazali dan Al Zarnuji

Al Ghazali disamping sebagai seorang filosuf, ia juga salah satu tokoh sufi yang memberikan perhatian sangat serius terhadap masalah pendidikan. Menurut Al Ghazali, proses belajar yang dilakukan seseorang adalah usaha orang tersebut untuk mencari ilmu, oleh karena itu belajar itu sendiri tidak terlepas dari ilmu yang akan dipelajari.

2.1    Pemikiran Al Ghazali dibidang Pendidikan ;

Berkaitan dengan ilmu, Al Ghazali berpendapat, ilmu yang dipelajari dapat dipandang dari dua segi, yaitu ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek.

2.1.1.   Ilmu sebagai proses.

-     ilmu hissiyah, yaitu ilmu yang didapatkan melalui pengindraan (alat indra).

-     ilmu aqliyah, yaitu ilmu yang diperoleh melalui kegiatan berfikir

-     ilmu ladunni, yaitu ilmu yang diperoleh langsung dari Allah tanpa melalui proses pengindraan atau berfikir.[8]

2.1.2.   Ilmu sebagai obyek.

-     ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, seperti ilmu sihir

-     ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetapi bila mendalaminya tercela, seperti ilmu ketuhanan [9].

Sebetulnya masih banyak hal yang disampaikan Al Ghazai tentang ilmu, bisa dibaca lebih lanjut di : Teori Belajar dan Pembelajaran, Baharuddin hal 42- 48.

 Selanjutnya konsep belajar menurut Al Zarnuji tertuang dalam karya monumentalnya, kitab, “ Ta’lim al Muta’allim Thuruq al Ta’allum”. Kitab ini diakui sebagai karya yang monumental dan sangat diperhitungkan keberadaannya. Kitab ini juga banyak dijadikan bahan penelitian dan rujukan dalam penulisan karya-karya ilmiah, terutama dalam bidang pendidikan. Kitab ini tidak hanya digunakan oleh ilmuwan Muslim saja, tetapi juga dipakai oleh para orientalis dan penulis barat [10].

2.2.   Pemikiran Al Zarnuji dibidang pendidikan adalah ;

2.2.1.   Pembagian Ilmu ;

-     Ilmu Fardlu ‘ain : yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap Muslim secara individual.

-     Ilmu Fardlu kifayah : yaitu ilmu yang kebutuhannya di saat-saat tertentu saja, seperti ilmu shalat jenazah

-     Ilmu Haram : yaitu ilmu yang haram untuk dipelajari seperti ilmu nujum (ilmu perbintangan yang biasanya digunakan untuk meramal)

-     Ilmu Jawaz : yaitu ilmu yang hukum mempelajarinya adalah boleh karena bermanfaat bagi manusia. Misalnya ilmu kedokteran

2.2.2.   Niat dan Tujuan belajar

-     Niat mencari keridloan Allah swt.

-     Niat memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat

-     Niat berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain

-     Mengembangkan ajaran islam dan mensyukuri nikmat Allah swt.

2.2.3.   Metode Pembelajaran

Dalam kitab Ta’lim Muta’allim, Al Zarnuji menjelaskan bahwa metode pembelajaran meliputi dua kategori. Pertama, metode bersifat etik mencakup niat dalm belajar. Kedua, metode yang bersifat teknik strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman, dan langkah-langkah dalam belajar.

 

3.      Teori-teori Belajar

         Di antara sekian banyak teori belajar yang berdasarkan hasil eksperimen terdapat tiga macam teori yang sangat menonjol, yakni: Connectionism, Classical Conditioning, dan Operant Conditioning [11]. Disamping itu juga ada beberapa teori belajar yang lainnya.

3.1.   Toeri Connectionism (Koneksionisme) : adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874/1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an.

         Dalam teori ini menggunakan kucing sebagai obyek penelitian untuk mengetahui fenomena belajar. Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi. Pada akhirnya Edward berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R” Bond Theory[12].

         Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen Throndike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentuk tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan barangkali ia akan tidur saja dalam sangkar. Dengan kata lain kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk keluar. Sehubungan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi (rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.

         Kedua, tersedianya makanan di muka pintu sangkar. Makanan ini merupakan efeks positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat [13].

3.2.   Teori Classical conditioning (Pembiasaan Klasikal) : adalah teori berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah Nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut.

         Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), unconditioned response (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respon yang dipelajari itu sendiri disebut DR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari dan respons yang tidak dipelajari itu disebut UCR.

         Percobaan Ivan Pavlov ini berupa anjing yang diketahui bahwa sebelum dilatih secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika bel dibunyikan, secara alami pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relevan, yakni mengeluarkan air liur.

         Kemudian dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS) bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah latihan yang berulang-ulang ini selesai, suara bel tadi (CS) didengarkan lagi tanpa disertai makanan (UCS). Apakah yang terjadi? Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suara bel (CS). Jadi CS akan menghasilkan CR apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama.

         Berdasarkan eksperimen diatas, semakin jelaslah bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons [14].

3.3.   Teori Operant conditioning (Pembiasaan Prilaku Respons) : adalah teori yang diciptakan oleh Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904). Dalam eksperimennya Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenaldengan nama “Skinner Box”. Peti sangkar ini terdiri dari dua macam komponen pokok, yakni manipulandum dan alat pemberi reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan reinforsment. Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit.

         Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara lari kesana kemari, mencium benda-benda yang ada di sekitarnya, mencakar dinding, dan sebagainya. Aksi-aksi seperti ini disebut “emitted behavior“ (tingkah laku yang terpancar) yakni tingkah laku yang terpancar dari organisme tanpa mempedulikan stimulus tertentu. Kemudian pada gilirannya, secara kebetulan salah satu emitted behavior tersebut (seperti cakaran kaki depan atau sentuhan moncong) dapat menekan pengungkit. Tekan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir makan ke dalam wadahnya.

         Butir-butir makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah disebut tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan reinforcement, yakni penguatan berupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.

         Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike, Pavlov dan Skinner di atas secara principal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur.[15]

3.4.   Tori Contiguous Conditioning  (Pembiasaan Asosiasi Dekat) : Teori ini ditemukan oleh Edwin R. Guhrie (1886-1959) adalah sebuah teori belajar yang mengasumsikan terjadinya peristiwa belajar berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dengan respons yang relevan. Contiguous Conditioning sering disebut sebagai teori belajar istimewa dalam arti paling sederhana dan efisien, karena di dalamnya hanya terdapat satu prinsip, yaitu kontiguitas (contiguity) yang berarti kedekatan asosiasi antara stimulus-respons [16]. Dalam kenyataan sehari-hari, memang acapkali terjadi peristiwa belajar dengan contiguous conditioning sederhana seperti ; mengasosiasikan 2 + 2 dengan 4, mengasosiasikan kewajiban di bulan Ramadlan dengan berpuasa dan mengasosiasikan 17 Agustus dengan HUT RI dan sebagainya.

3.5.   Cognitive Theory (Teori Kognitif) : adalah teori belajar yang lebih mementingkan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, yakni motivasi, kesengajaan, keyakinan dan sebagainya. Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada dasarnya adalah peristiwa mental, bukan behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hamper setiap peristiwa belajar siswa[17]. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya [18].

3.6.   Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial) : adalah teori yang diciptakan oleh Albert Bandura. Dia mengatakan bahwa sebagian besar yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Dalam hal ini seorang siswa belajar mengubah perilakunya sendiri melalui penyaksian cara orang atau sekelompok orang mereaksi atau merespons sebuah stimulus tertentu. Siswa ini juga dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya guru atau orang tuanya. Prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku social dan moral pada dasarnya sama dengan prosdeur belaja dalam mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan reward (ganjaran) dan punishment (hukuman) [19].

Teori-teori di atas (3.1, 3.2, 3.3.) memiliki kelemahan-kelemahan sebagai berikut ;

a.      Proses belajar itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya

b.      Proses belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan diri) dan self control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati.

c.      Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan [20].

Disamping kita memahami teori-teori belajar sebagaimana tersebut diatas kita harus menguasai teknik, strategi belajar mengajar di dalam kelas agar pelajaran yang disampaikan dapat ditangkap, dipahami dan digunakan oleh siswa dengan baik[21].

Teknik atau strategi belajar mengajar antara lain ;

a.      Diskusi

b.      Kerja Kelompok

c.      Penemuan

d.      Simulasi

e.      Mikro Teaching dan sebagainya

Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan konsep pembelajaran dan pengajaran konstektual atau Contextual teaching and learning (CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja (US. Departement of Edocation the National School to Work Office yang dikutip oleh Blanchard, 2001)[22]

Selanjutnya lebih detail tentang strategi belajar bisa di pelajarai dalam bukunya Trianto, S.Pd., M.Pd. Model-model Pembelajaran Inovatif. Strategi yang dimaksud yaitu [23];

 



[1] Drs. Burhanuddin, M. Pd.I., Teori Belajar dan Pembelajaran, Ar Ruzz Media, 2007, hal 11

[2] Ibid, hal 12

[3] Drs. Muhibbin Syah, M.Ed., Psikologi Belajar, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal 59

[4] Drs. Muhibbin Syah, M.Ed. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Rosdakarya, Bandung, 1995 hal 89

[5] Drs. Wasty Soemanto, M.Pd. Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, 1998 Jakarta, hal 104

[6] Op. Cit, hal 30

[7] Ibid, hal 32-33

[8] Ibid, hal 42

[9] Ibid

[10] Ibid, hal 51

[11] Muhibbin Syah, M.Ed. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Rosdakarya, Bandung, 1995 hal 103

[12] Ibid, hal 104

[13] Ibid

[14] Ibid, hal 106

[15] Ibid

[16] Muhibbin Syah, M.Ed. Psikologi Belajar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 101

[17] Ibid

[18] Ibid

[19] Ibid, hal 106                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           

[20] Op Cit, hal 108

[21] Dra. Roestiyah, N.K. Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, hal 1

[22] Trianto, S.Pd. M.Pd., Model-model Pembelajaran Inovatif berorentasi konstruktivistik, hal 101

[23] Ibid, hal 90

Jumat, 01 September 2023

PERADABAN ISLAM DI AFRIKA PART II

 

D. Dinasti al-Muwahidun

Kelahiran dinasti al-Muwahidin ini hampir sama dengan kelahiran dinasti al-Murabitun. Jika al Murabitun lahir sebagai bentuk respon terhadap dekadensi moral para penguasa muluk at tawaif, maka al-Muwahidun lahir sebagai reaksi atas hegemoni intelektual dari aliran Maliki yang ortodoks, kaku, konservatif dan legalistik, sebagai mazhab resmi dinasti al-Murabitun, di samping juga sebagai bentuk protes terpadap kehidupan istana al-Murabitun yang glamor, kurang memiliki kepedulian terhadap nasib rakyatnya.[1] Meskipun demikian, kelahiran dinasti al Muwahidun ini memberikan semangat politik baru bagi komunitas Islam di Spanyol. Dinasti al-Muwahidun tidak mengakui otoritas penguasa Bani Abbasiyyah di Baghdad atas wilayahnya, suatu hal yang bertentangan dengan pemahaman dinasti sebehunnya. Dinasti ini muncul di tengah-tengah meluasnya paham anthropomorfisme (mujassimah) yang dianut oleh dinasti al-Murabitun. Oleh karena itu, gerakan ini bemama al-Muwahidun, yang dapat diartikan. sebagai. kelompok yang menegakkan keesaan Allah (tauhid) dan memustahilkan-Nya dari mempunyai sifat yang sama dengan bentuk manusia secara fisik-biologis.

Gerakan ini pertama kali dipimpin Muhammad bin Tumart yang kemudian dibantu. oleh murid sekaligus panglima perangnya, Abdul Mu'min bin Ali. Ibnu Tumart pertama kali menyebarluaskan propagandanya kepada penduduk di desa-desa padang pasir wilayah dinasti al-Murabitun. Meskipun mendapat simpati dan pengikut yang tidak sedikit, pada masa selanjutnya, dia mendapatkan tantangan atau penolakan dari penguasa dinasti al-Murabitun karena dianggap membahayakan keamanan negara.

Hal inilah yang menyebabkan Ibnu Tumart diusir dari kota Marakesy, ibu kota al­ Murabitun ketika itu, yang selanjutnya lari ke Tinmul.

Meskipun demikian, pengusiran tersebut justeru mempertegas perjuangan Ibnu Tumart untuk melawan dinasti al-Murabitun. Dengan dalih sebagai seseorang yang ma’sum, terjaga dari mengerjakah perbuatan dosa dan masih keturunan Nabi melalui garis keturunan dari raja-raja Idrisiyya yang menguasai Spanyol pada periode sebelumnya, Ibnu Tunmul mendapatkan legitimasi dan para pengikutnya sehingga diangkat menjadi pemimpin mereka. Inilah faktor politis sebagai modal awal untuk memperluas wilayah geografisnya.

Dinasti al-Muwahidun mendapatkan sebagian besar wilayahnya di Spanyol sebagai konsekwensi logis dari ketidakmampuan dinasti al-Murabitun secara politis dalam menghindari disintegrasi geografis, sehingga muncul raja-raja lokal yang berlangsung selama kurang dari tiga tahun. Untuk itu, dinasti ini sebenamya mendapatkan faktor keberuntungan dengan keadaan tersebut sehingga dengan tidak terlalu sulit untuk menguasainya, bahkan Marakesy pun jatuh ke tangan mereka yang selanjutnya dijadikan sebagai ibu kotanya, sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti al­ Murabitun sebelunmya. Ibnu Tumart sendiri meninggal dunia tahun 1130 setelah mendengar kekalahan pasukannya ketika melawan pasukan al Murobitun pada perang Buhairah tahun 1129.

Dalam perkembangannya, kota Marakesy menjadi pusat peiadaban Islam dalam bidang ilmu sastra dan seni serta pengayom komunitas Muslim yang akan mempertahankan Islam dari ambisi ekspansi Kristen. Dalam periode inilah lahir teolog terkenal Ibnu Tufail yang mendapatkan mayoritas ilmunya dari gurunya, Ibnu Bajjah dan Ibnu Rusyd, filosof besar Islam yang membela filsafat dari kritikkan tajam yang dilancarkan aI-Ghazali, bahkan ada pengharaman mempelajarinya. Peradaban yang maju tersebut juga didukung oleh sikap beberapa penguasa al-Muwahidun yang menunjukkan antusiasmenya terhadap perkembangan ilmu. Meskipun demikian, dinasti al-Muwahidun ini akhirnya juga tidak mampu memadamkan pemberontakan pada masa Muhammad al-Nasir (1198-1214), penguasa kelima. Aludin al-Gumari mengadakan pemberontakan. Ibnu Ghaniyah, yang sebelumnya dapat dikalahkan penguasa sebelum al-Nasir memberontak kembali. Wilayah Ifriqiyyah (Tunisia) dikuasai kaum pemberontak pada tahun 1203. sehingga berdiri dinasti Hafshiyyah di sana. Alfonso VIII di Castille membuat kebijakan penaikan  pajak terhadap komuntas Muslim di sana, yang hal ini menyebabkan al-Nasir harus memeranginya. Namun perang yang terjadi tahun 1213 tersebut justru dimenangkan pihak Alfonso, suatu kekalahan secara politis bagi umat islam ketika itu yang berimbas pada kemerosotan mental para penguasa selanjutnya. Hal inilh yang  mengharuskan al­ Muwahidun menarik diri dari Spanyol dan mengkonsentrasikan kekuatannya di Afrika Utara.

Ternyata nasib tidak bisa ditoiak, susteru di ibu kota dinasti ini, Marakesy, kaum pemberontak telah menguasai wilayah tersebut, yaitu Bani Marrin. Penguasa al-Muwahidun ketika itu, Abu  Ula Idris al-Wasiq (1266-1269), harus membuat perjanjian dengan kekuatan baru tersebut.  Inilah akhir riwayat dari dinasti al­ Muwadun, setelah al-Wasiq sendiri tewas dibunuh.

Para penguasa dinasti al-Muwahidun dan masa pemerintahannya ;

1. Muhammad bin Twnart aI-Malldi (1121-1130) .

2. Abdul-Mu'min bin Ali (1130-1163)

3. Abu Ya'qub Yusuf(1163-1184)

4. Abu YusufYa'qub ai-Mansur (1184-1198)

5. Muhammad al-Nasir (1198-1214)

6. Abu Ya'qub Yusuf al-Muntasir (1214-1224)

7. Abu Muhammad Walid al-Malkhu (1224)

8. Abu Abdullah Muhammad al-Adil (1224-1227)

9. Abu Ula Idris al-Ma'mun (1227-1232)

10. Abu Muhammad Abdul Wahid al-Rashid (1232-1242)

11. Abu Hasan Ali al-Sa’id (1242-1243)

12. Abu Hafs Umaral-Murtada (1248-1266)

13. Abu Ula Idris al-Wasiq (1266-1269)

 

E. Keruntuhan Kekuatun Islam di Afrika Utara dan Spanyol

Kekuatan Islam di Afrika Utara sering membantu saudaranya di Spanyol, seperti dinasti al-Murabitun dan al-Muwahidun. Hal inilah yang menyebabkan pihak Kristen berambisi balas dendam dengan mengekspansi wilayah tersebut. Hal itu juga didorong oleh kekalahan Kristen Timur dari Turki Utsmani yang telah menguasai Kontantinopel, suatu ancaman serius bagi eksistensi Kristen di Eropa Tengah dan Barat (Roma). Sedangkan di Spanyol, dengan dikuasainya Granada, otomatis kekuatan Islam sudah tidak ada.

Tidak terlalu lama setelah jatuhnya Granada, Ferdinan memberikan dua altematif bagi umat Islam di Spnyol, yaitu (1) tetap tinggal di Spanyol tetapi harus memeluk agama Kristen dan bersedia dibaptis atau (2) bertahan dengan agama Islamnya dan harss keluar dari wilayah itu. Kebijakan inilah yang menjadi puncak hilangnya komunitas Islam di sana. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Islam di Afrika Utara dan Spanyol hilang, di antaranya adalah

1.      Kebangkitan komunitas Kristen yang dimotori oleh perkawinan politis antara Ferdinan-Isabella dengan bantuan dari Perancis, Jerman, Inggris dan Italia. Mereka mengobarkan holy war, perang sucinya. Sedangkan pihak Islam, dengan kehancuran al-Muwahidun dan jatuhnya Granada, penguasa dinasti Mamluk dan Kesultanan Utsmani tidak memberikan bantuan, meskipun relatif lebih kuat.

2.      Loyalitas militer yang menurun. Karena terdiri dari tiga etnis, Arab asli, suku Barbar dan mawalli Eropa, maka mayoritas loyalitas diberikan kepada kelompoknya, tidak kepada pemerintah pusat.

3.      Pergolakan antar suku dan lemahnya para penguasa. Pergolakan tersebut terjadi disebabkan heterogenitas unsur yang membangun dinasti-dinasti Afrika Utara dan Spanyol, sehingga hal ini melahirkan penguasa-penguasa lokal sebagaimana periode muluk at tawaif yang merupakan suatu kemunduran. Sedangkan di pihak lain, para kerabat istana disibukkan dengan pengaturan mekanisme-prosedural pergantian raja (sultan) yang baru dan kurang mempunyai political will terhadap eksistensi dinastinya.

4.      Politik de vide et impera yang dijalankan pihak Kristen. Dengan menawarkan bantuan pasukan kepada penguasa Islam yang sedang perang saudara, pihak Kristen diberikan kemudahan dalam merebut kembali wilayahnya, bahkan tanpa harus berperang terlebih dahulu. Hal ini juga, secara politis, merupakan kekalahan umat Islam dalam mengatasi konflik yang terjadi.

 

Jatuhnya kota-kota Muslim kepada pihak Kristen berarti lenyapnya pusat peradaban, singgasana ilmu pengetahuan dan singgasana para ilmuwan Muslim di wilayah tersebut. Maka semenjak saat itu, kemuraman menyelimuti Afrika Utara dan Spanyol

 

Demikian sedikit makalah ini kami sampaikan semoga menjadi pendorong semangat untuk memperdalam pengetahuan tentang peradaban Islam di Afrika.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Ali, K. Sejarah Islam, Tarikh Pramodern, ter, Ghufron A. Mas’adi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003

Bosworth, C.E. Dinasti Dinasti Islam, ter. Ilyas Hasan, Bandung Mizan, 193

Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam, ter. Ghufron A. Mas’adi Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999

Mufrodi, Ali. Kekuasaan Daulah Bani Umaiyah, Murobitun dan Muwahidun di Andalusia. Diktat tidak diterbitkan, Surabaya : Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 1996

Umar Lubis, Amani Burhanuddin, Dunia Islam Bagian Barat, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, ed. Abdullah Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 2002

Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998

Sri Wigati, Makalah seminar kelas, Pasca Sarjana IAIN Surabaya, 2003

 



[1] Ali Mufrodi, 112