Senin, 17 April 2023

PESANTREN LEMBAGA PENDIDIKAN TERTUA DI INDONESIA Part II

 

Pesantren dengan madrasah/Sekolah

Waktu berlalu, masa pun kini berubah, kehidupan pesantren belum selesai. Di masa renta usianya, yang kini berada di tengah- tengah internasionalisasi dunia pendidikan, ternyata pesantren semakin menarik untuk diamati. Untuk dapat memahami ikhwal pesantren secara utuh dan lengkap, kiranya tidak cukup hanya mengungkap sebatas identifikasi pengamatan moment, hanya sebatas kurun waktu tertentu saja, akan tetapi perlu mengungkap banyak kasus dan fenomena yang terjadi pada pondok pesantren dari waktu ke waktu.­

Perubahan wakru yang begitu cepat, diiringi dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seakan,memaksa kita unruk mengikuti perkembangan itu dalam berbagai aspekkehidupan, termasuk kehidupan di pondok pesantren. Untuk mengetahui lebih jauh, kiranya perlu mengungkap lebih qalam ten tang problematika pesantren yang kini sedang dihadapi secara rind, meski uraiannya sangat singkat dan tidak sistematis.

Keparipurnaan pondok pesantren harus dipahami dari semua aspek. Apakah, itu aspek politik, aspek sosial dan aspek perjuangan sekali pun. Ibaratnya, kita mengangkat satukasus sebagai bukti perjuangan pondok pesantren. Di awal 70 an, ketika ada kalangan yang mengupayakan pondok pesantren perlu memberikan pendidikan/pelajaran umum bagi para santrinya. Terjadi silang pendapat dikalangan para pengamat dan pemerhati pondok pesantren, ada yang menyetujui, namun ada pula yang tidak menyetujui sama sekali. Sebagian pengamat menganggap, pondok pesantren dengan karakter khas yang tradisional harus tetap dijaga dan dipertahankan. Namun sebaliknya pengamat yang lain, justru tertarik untuk mendorong pesantren agar mengadopsi elemen-elemen budaya luar, antara lain masuknya sistem pendidikan sekolah atau madrasah (Nurcholis Madjid, 1985: 126).

Dari dua pandangan yang berbeda di an tara pengamat dan pemerhati pesantren, melahirkan keinginan yang berbeda pula dikalangan pengelola pondok pesantren. Pertama, tetap bersikeras dan mempertahankan pondok pesantren pada posisi semula, dengan sistem khas tradisional pesantren. Sedangkan keinginan kedua, justru sebaliknya, ingin mengakomodasikan sistem pendidikan sekolah atau madrasah ke dalam sistem pendidikan pondok pesantren.

Akhimya, terjadi persentuhan antara pondok pesantren dengan madrasah dan sekolah. Walau saat itu, kondisi pondok pesantren amat beragam, baik sisi kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki pondok pesantren tersebut. Sejarah mencatat, pondok pesantren (surau) yang pertama kali membuka madrasah formal ialah Tawalib di Padang Panjang padci 1921 di bawah pimpinan Syekh Abdul Karim Amrullah, ayahnya Hamka. Sedangkan di Jawa pondok pesantren Tebuireng Jombang pada 1919 didirikan madrasah formal, bernama Salafiyah yang diasuh oleh K.H. Ilyas. Menyusul Pondok modern Gontor Ponorogo pada 1926 oleh K.H. Imam Zarkasi dan K.H. Sahal (Zuhairini, 1992: 193).

Pondok pesantren yang memiliki kriteria tertentu, ciipandang telah mapan, didukung dengan persyaratan yang cukup, seperti: bangunan/ruang belajar memadai, lahan tanahnya luas, dana untuk pengembangan tersedia, jumlah muridnya banyak, tenaga pengajar yang mempunyai kelayakan serta tersedianya tenaga administrasi, mungkin kondisi seperti ini dipandang layak untuk mengakomodasikan sistem pendidikan sekolah/madrasah pada sistem pendidikan pondok pesantren. Proses belajar mengajar akan dapat berjalan dengan baik.

Sedangkan, pondok pesantren yang tidak memiliki kriteria tertentu, dengan syarat-syarat yang diperlukan seperti tadi, kemudian memaksakan kehendak untuk mengakomodasikan sistem pendidikan sekolah/madrasah dengan sistem pendidikan pondok pesantren, jangan berharap bisa berjalan dengan baik. Bahkan ada kemungkinan pondok pesantren yang sebelumnya berjalan lancar jadi terhenti. Sementara sekolah/madrasah sarna tersendat-sendat. Pada akhirnya kedua lembaga itu hidup tidak, mati pun tidak (Laa yahya walaa yaamut).

Di kalangan para pengamat dan pemerhati pondok pesantren, memprediksi beberapa kemungkinan, bahkan tengah terjadi di beberapa pondok pesantren dampak negatif terhadap pondok pesantren serta lingkungannya, akibat dari penggabungan dua lembaga pendidikan yang berbeda itu, antara lain sebagai berikut:

1) Kehadiran para siswa sekolah/madrasah di lingkungan pondok pesantren, setidaknya akan mengusik kekhusyuan para santri dalam belajar di pesantren. Lama kelamaan para santri menjadi tidak kerasan, akhirnya memutuskan untuk pindah ke pesantren lain yang tidak berdampingan dengan sekolah/madrasah.

2)    Dari hari ke hari pond ok pesantren makin mengecil, terhijab sekolah/madrasah. Sehingga, tidak mustahil pondok pesantren jadi terkubur, tinggal simbol saja. Akhirnya, yang berkembang pesat adalah sekolah/madrasah.

3)    Akan menurunnya daya tarik pond ok pesantren terhadap masyarakat. Terutama masyarakat kalangan ekonomi lemah ke bawah, di samping fanatisme masyarakat tertentu yang lebih antusias terhadap pondok pesantren yang khas tradisional, dalam hal ini pesantren yang murni.

Persentuhan pondok pesantren dengan sekolah/ madrasah, menuntut para pengelola pesantren untuk melakukan berbagai perubahan dan penyempurnaan. Baik perubahan perangkat keras, maupun perangkat lunak (hard ware and soft ware). Akibat dari persentuhan itu, kondisi pondok pesantren menjadi serba berubah segalanya. Dulu, bangunan sederhana, bangunan tua yang dibuat dari kayu dan bambu, kini disulap menjadi gedung megah, permanen karenadibangun dengan biaya cukup besar. Sekalipun dana yang tersedia tidak mencukupi untuk keperluan itu, namun ada upaya lain dalam menutupi kekurangannya, dengan menarik infak dari para orangtua siswa/santri mereka.

Sekarang nuansa kehidupan pondok pesantren menjadi lain;

Dulu para santri hidup dalam kesederhanaan, penuh bersahaja, sekarang berganti dengan kemewahan, dulu para santri hidup serba mandiri, kini menjadi serba ketergantungan, dulu para santri tidur hanya di atas tikar, kini berganti dengan kasur busa, dulu yang didengar di asrama suara santri menghapal kitab-kitab kuning, kini berganti dengan kebisingan suara-suara kaset, dulu para santri bisa makan bebas di warung-warung, atau masak sendiri, sekarang tidak lagi diperbolehkan.

Seiring dengan tuntl.ltan perkembangan zaman dan kemajunan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, telah memaksa kitauntuk melakukan upaya yang serius dalam mewujudkan undang,undang tersebut. Salah satunyaadalah melaksanakan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Untuk sekolah dasar dan lanjutan pertama yang berciri khas agama Islam diselenggarakan oleh Departemen Agama dengan sebutan madrasah ibtidaiyah ,dan madrasah tsanawiyah ataupondok pesantren, sebagaimana dituangkan dalam peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1990.

Dalam undang, undang nomor 20 tahun 2003 pasa130

ayat (3) dan (4) disebutkan; pendidikan keagamaan diselenggarakan pada jalur formal, non formal dan informal. Pendidikmi keagamaan berbentuk diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja sa1!1anera, dan bentuk lain yang sejenis (UU sisdiknas nomor 20 tahun 2003:14).

Posisi integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional, tercermin dalam berbagai aspek. Pertama, pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur dan jenjang pendidikan. Kedua, dalam sistem pendidikan nasional ini madrasah dengan sendirinya dimasukan ke dalam kategori pendidikan jalur sekolah. Sehingga kedudukan antara keduanya menjadi sama, tidak ada lagi sikap sub-ordinasi pada pendidikan madrasah (Muchtar Maksum, 1999: 159).

Sekarang cerita itu sudah terjawab dengan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada pondok pesantren salafiyah, yang kini telah mendapat pengakuan dari pemerintah. Ijazahnya diakui, sarna dengan ijazah yang setara dari sekolah/madrasah sebagai lembaga pendidikan formal.

Sumber daya manusia pondok pesantren yang kini menjadi hagian dari sub sistem pendidikan nasional harus mendapat dukungan teramat penting, terhormat dan menentukan di tengah-tengah kehidupan bangsa yang sedang membangun manusia Indonesia seutuhnya. Sudah terbukti sumbangan amaliahnya dalam perjuangan bangsa selama ini. Keberadaannya perlu lebih mendapat perhatian dan dipacu sebagaimana layaknya lembaga pendidikan yang menjadi aset nasional (DPP. SUI, 1995: 247).

Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, demi lestarinya pendidikan pondok pesantren sebagai tumpuan harapan umat serta merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, maka perlu pembinaan'dan pengembangan potensi pondok pesantren secara optimal.

 

Pesantren dengan Perguruan Tinggi

Pertumbuhan dan perkembangan perguruan tinggi di lingkungan pondok pesantren, merupakan fenomena yang cukup menarik untuk disimak dan dicermati. Pondok pesantren merupakan khazanah budaya masyarakat Islam di Indonesia. Pesantren ikut memperkaya dan menjadi penyangga budaya masyarakat Islam dan bangsa Indonesia selama berpuluh-puluh tahun (terutama pada, masa kolonial Belanda). Tetapi juga di era pembangunan hingga kini pondok pesantren telah ikut andil dengan fungsi dan perannya yang cukup signifikan dalam, menggerakkan partisipasi sosial dan memberikan orientasi nilai bagi pembangunan tersebut. Terutama bagi masyarakat yang berada di wilayah pengaruh pondok pesantren itu.

Eksistensi perguruan tinggi di pondok pesantren secara fungsional telah menambah, sarana bagi proses pendidikan dan pengembangan ilmu yang menjadi tujuan utama pondok pesantren, sebagai lembaga tafaqquh fiddien. Bersamaan dengan itu, sebenarnya telah terjadi berbagai perkembangan di dunia pondok pesantren sebagai hasil dari proses dialog antara pondok pesantren dengan dirinya sebagai lembaga tafaqquh fiddien tersebut, maupun, dengan lingkungannya. Baik lingkungan lokal, nasional maupun globa1.

Dari ketiga komentar sesepuh pondok pesantren sekaligus rektor di perguruan tinggi tersebut, terdapat kesamaan persepsi mengenai dampak perguruan tinggi di pesantren. Pada intinya, pesantren harus tetap bertahan pada jati dirinya, sehingga keberadaan dua lembaga itu akan dapat saling menguntungkan, walaupun adanya sisi kelemahan dari kedua lembaga yang berbeda itu.

Kehadiran perguruan tinggi di pondok pesantren yang mengalami pencepatan perubahan pada peralihan abad ini merupakan proses dialog yang dinamis dan terus menerus. Untuk itu, pada setiap tahap perkembangannya perlu untuk selalu dilakukan penajaman analisis, tujuan dan sasaran serta penajaman alat analisis.

Pondok pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddien dengan lembaga perguruan tingginya mempunyai peluang yang besar untuk mengambil peran sentral di dalam proses pembangunan nasional dengan meneguhkan komitmen nilai, mengembangkan semangat keilmuan, metodologi dan wawasannya termasuk di dalamnya penguasaan bahasa,bahasa asing. Dengan sistem pondok pesantren yang berasrama, hal tersebut akan lebih dimungkinkan pencapaiannya. Namun, hal ini memerlukan kerjasama dan kesungguhan dalam waktu yang panjang, karena yang akan dibangun oleh sistem ini adalah sebuah peradaban yang luhur.

Pesantren dengan Dunia Modem Pondok pesantren dengan kekhasan corak dan wataknya serta kemandiriannya yang kemudian disebut lembaga pendidikan Islam tradisional, kini berada di abad modern. Bagaimana pesantren dalam menyikapi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi atau lebih trendnya disebut dunia modern. Ilmu pengetahuan dan teknologi modern amat diperlukan dalam kehidupan manusia saat ini. Manusia tak dapat terpisah dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang senantiasa terus berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan waktu yang dialami oleh manusia.

Setiap manusia akan mengalami siklus kehidupan, berkeinginan untuk maju mengikuti perkembangan 'zaman. Istilah modern secara bahasa berarti baru, keinginan, up to date. Oleh karena itu, istilah modern bisa diterapkan untuk manusia dan juga untuk lainnya (Qodri Azizi, 2003: 5).

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, semakin besar materialisme, kompetisi global dan bebas tanpa mengenal belas kasih menjadi ciri paling menonjol. Sedangkan, salah satu dampak negatifnya adalah menurunnya nilai agama. Kehidupan manusia dewasa ini memerlukan teknologi modern, berbagai kesulitan akan dapat diatasi, kekerasan dan kekuatan alam akan dapat ditaklukan, jarak yang jauh bisa didekatkan, tanah yang tandus bisa dimanfaatkan, persoalan-persoalan yang sulit dapat dimudahkan. Bahkan sesuatu yang dulu tidak mungkin kini menjadi mungkin, yang dulli hanya sebuah mimpi kini menjadi kenyataan.

Oleh karena itu, manusia hidup di dunia modern seperti sekarang ini harus pandai-pandai memanfaatkan kemajuan teknologi. Manusia ikut dalam proses kesinambungan dan perubahan budaya (continuity And change), namun tetap harus mempertahankan jati dirinya.

Kehidupan pondok pesantren hingga kini tetap disebut lembaga tradisional, tak pernah urung dalam menyikapi perkembangan- perkembangan serta perubahan-perubahan yang dialaminya. Pondok pesantren senantiasa beradaptasi terhadap proses modernisasi, terutama modernisasi pendidikan. Sebagaimana dikemukakan Sukamto dalam bukunya Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, saat, ini pesantren cenderung beradaptasi terhadap pengaruh modernisasi, terutama modernisasi di bidang pendidikan. Munculnya madrasah/sekolah dari mulai tingkat lanjutan pertama hingga perguruan tinggi di lingkungan pesantren.

Keberadaan pondok pesantren seperti sekarang ini, yang telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan, berarti kehidupan pondok pesantren tidak statis. Pondok pesantren telah menunjukan kemampuan dalam mengimbangi perkembangan zaman. Namun demikian, pondok pesantren harus tetap menjaga dan mempertahankan jati dirinya sebagai lembaga tafaqquh fiddien. Oleh karena iru, pondok pesantren hendaknya memperoleh perhatian dan dukungan serta kerjasama dengan berbagai pihak yang memiliki kepedulian dan keterpanggilan terhadap dunia pendidikan. Sedangkan, untuk dapat berperan secara sentral di masa mendatang, pondok pesantren perlu membenahi diri untuk melakukan antisipasi terhadap berbagai kecenderungan dan kemungkinan yang akan terjadi di masa-masa yang akan datang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

 

H. Mahpuddin Noor, Potret dunia Pesantren, Humaniora, Bandung, 2006

Aceng Abdul Aziz Dy, dkk Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia, Pustaka Maarif NU, Jakarta, 2006

M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, 1974

Abd A’la, Pembaharuan Pesantren, LkiS Pelangi Aksara, Bantul, 2006

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, LP3ES, Jakarta, 1986

Ir. Zein M. Wiryoprawiro, IAI., Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur, Bina Ilmu, 1986

Dra. Hj. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1998

PESANTREN LEMBAGA PENDIDIKAN TERTUA DI INDONESIA

 

A.     ETIMOLOGI DAN TERMINOLOGI

 

Kalimat Pondok Pesantren sudah tidak asing lagi bagi kita semua sebagai seorang muslim yang berada di Indonesia khususnya di Jawa, karena keberadaan Pondok Pesantren memang tersebar dimana-mana.

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang tertua di Indonesia sebagaimana di ungkapkan oleh H. Mahpuddin Noor dalam Potret dunia Pesantren. Dalam kamus umum bahasa Indonesia WJS. Poerwadarminto mengartikan pondok sebagai tempat mengaji, belajar agama Islam. Sedangkan pesantren diartikan tempat orang yang belajar atau menuntut pelajaran agama Islam. Istilah pesantren pada masyarakat Minangkabau disebut surau, di Madura disebut penyantren, di Jawa Barat disebut Pondok, sedang di Aceh disebut Rangkang [1]

Istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa pesantren yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran –an, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa [2]

Adapun pengertian pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang minimal terdiri dari tiga unsur, yaitu : kyai atau ustadz yang mendidik serta mengajar, masjid atau langgar dan pondok atau asrama.[3]

Lingkungan pesantren pada umumnya terdiri dari rumah kyai, sebuah tempat peribadatan yang juga berfungsi sebagai tempat pendidikan (disebut masjid kalau digunakan untuk sholat jum’at, kalau tidak di gunakan untuk jum’atan desebut langgar atau surau) sebuah atau lebih rumah pondokan yang dibuat oleh para santri dari bambu atau kayu, sebuah atau lebih ruangan untuk memasak, kolam atau ruangan untuk madi atau berwudlu [4]

Kegitannya mencakup kegiatan-kegiatan yang disebut Tri Darma Pondok Pesantren, yaitu:

a.       Keimanan dan ketakwaan terhadap Allah swt.

b.      Pengembangan keilmuan yang bermanfaat

c.       Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara [5]

 

B.     SEJARAH PESANTREN DI INDONESIA

Pondok pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang didirikan oleh para ulama tempo dulu, ratusan tahun yang silam, hingga saat ini masih eksis bahkan terus berkembang. Keberadaan pondok pesantren menjadi bagian dari sistem kehidupan umat Islam sekaligus penyangga budaya masyarakat Islam dan bangsa Indonesia, terutama pada masa penjajahan.

Kalau kita mau menelusuri sejarah pesantren, tentu tidak bisa lepas dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Karena pada asal mulanya pesantren adalah tempat orang-orang yang ingin mempelajari ilmu agama pada orang-orang atau pedagang arab yang masuk ke Indonesia. Dengan demikian kemungkinan besar pesantren di Indonesia sudah ada setelah kedatangan para pedagang dari Arab tersebut yaitu pada abad ke 7, ditandai dengan terbentuknya komunitas muslim di wilayah kerajaan Sriwijaya di Sumatra, demikian menurut Azra yang dikutip oleh Tim Penulis Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia.

Selanjutnya penyebaran Islam  ke Jawa terutama pesisir utara dilakukan oleh para ulama yang kemudian dikenal dengan sebutan Wali Sanga (sembilan wali). Adapun wali sanga yang dimaksud adalah Maulan Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria [6].

Masih dalam kaitan penyebaran Islam ke Jawa tidak ketinggalan pula Islam masuk ke pulau Madura, Bawean, Kangean terus sampai ke Maluku, Sulawesi pada tahun 1415.[7] Selanjutnya Kalimantan bagian selatan mulai di Islamkan pada 1550 an, Nusa Tenggara, Lombok, Sumba, Sumbawa dan Timor diperkirakan pada abab ke 16

 Dari sekian banyak ulama yang berhasil mengislamkan masyarakat sekitarnya itu tidak menutup kemungkinan ada usaha-usaha untuk mendirikan pesantren, pemondokan atau menjadikan masjid sebagai tempat untuk orang-orang yang ingin memperdalam agama Islam, walupun hal ini tidak di ungkap oleh sejarawan.

Adapun pesantren di Jawa yang mula-mula berdiri adalah pesantren yang didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim yang ada di Gresik, kemudian pesantren di kembang kuning yang didirikan oleh Sunan Ampel yang selanjutnya di kembangkan di Ampel.[8]

Selanjutnya pada tahun-tahun berikutnya tumbuh pesantren-pesantren baru hingga sampai saat ini jumlahnya sudah tidak terhitung lagi. Pesantren-pesantren itu  tersebar di pedesaan-pedesaan yang sangat jauh terpencil dari kota besar. Berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kyai yang menetap (bermukim) pada suatu tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar kepadanya dan turut pula bermukim di situ. Semakin hari semakin banyak pula orang yang belajar pada kyai itu merekapun akhirnya mendirikan pondok di sekitar rumah kyai atau masjid.[9]

Jawa Timur dapat disebut sebagai pusat pondok-pondok terbesar di Jawa, malahan mungkin di Indonesia. Konsentrasi daerah pesantren sebenarnya adalah di bagian timur wilayah ini hingga ke Banyuwangi, serta daerah pantai Selat Madura[10]

Semula pondok pesantren lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam: lembaga yang dipergunakan untuk penyebaran agama dan tempat mempelajari agama Islam. Selanjutnya lembaga ini mengusahakan tenaga-tenaga bagi pengembangan agama Islam.

Untuk menggambarkan pondok pesantren secara persis terasa sangat sulit, dikarenakan setiap pondok pesantren mempunyai karakteristik sendiri sehingga untuk mendiskripsikan yang persis mengenai pondok pesantren mustahil rasanya. Kemajemukan pondok pesantren yang ditunjukkan oleh kekhususan motif dan sejarah berdirinya, ruh, sunnah, isi serta cara penyelenggaraan masing-masing pondok pesantren tidak dapat begitu saja diverbalkan. Maka jalan pengenalan yang paling tepat adalah dengan menghayati kehidupan di dalamnya. [11]

 

C. TIPOLOGI PESANTREN

Fenomena awal terjadinya perubahan dan perkembangan pada lembaga pendidikan pesantren, saat sistem pendidikan pondok pesantren mengadopsi sistem sekolah atau madrasah. Gejala ini muncul di awal 70-an, yang dikenal dengan sebutan pondok pesantren modern. Kemudian pondok pesantren mengalami perkembangan dan perubahan bentuk dari keadaan semula. Sejalan dengan perkembangan dan perubahan bentuk pondok pesantren, Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan peraturan, nomor 3 tahun 1979, yang mengklasifikasikan pondok pesantren sebagai berikut:

1)      Pondok pesantren Tipe A, yaitu di mana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan atau sorogan)

2)      Pondok pesantren Tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal, dan pengajaran oleh kyai bersifat aplikasi, diberikan pada waktu-waktu tertentu. Santri tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren.

3)      Pondok pesantren Tipe C, yaitu pondok pesantren hanya merupakan asrama, sedangkan para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) kyai hanya mengawasi dan sebagai pembina para santri tersebut.

4)      Pondok pesantren Tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.

 

Peraturan pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama yang mengelompokkan pesantren dalam empat tipe tersebut, bukan suatu keharusan bagi pondok pesantren untuk menyesuaikan diri dengan tipe-tipe pondok pesantren tersebut. Namun, pemerintah menyikapi dan menghargai perkembangan serta perubahan yang terjadi pada pondok pesantren itu sendiri. Walaupun, sebenarnya perkembangan dan perubahan yang dialami oleh pondok pesantren tidak terbatas hanya pada empat tipe, namun akan lebih beragam lagi. Dari tipe yang sama pun akan terdapat perbedaan-perbedaan tertentu yang menjadikan satu sama lainnya berbeda.

Dari sekian banyak tipe pondok pesantren, dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi para santrinya, secara garis besar dapat dikelompokan ke dalam dua bentuk pondok pesantren.

1).     Pondok pesantren Salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran Al Quran dan ilmu-ilmu agama Islam, serta kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya.

2).     Poridok pesantren khalafiyah, yaitu pondok pesantren yang selain menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah dan madrasah).

 

D.          PEMBAHARUAN DUNIA PESANTREN

Melihat kenyataan di lapangan (lokasi pesantren) kita harus jujur dan mengakui pondok pesantren salafiyah sebagai lembaga pendidikan alternatif bagi kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Dengan biaya yang relatif terjangkau semua lapisan masyarakat, putra-putri mereka bisa belajar di pesantren. Mereka mengharapkan anak-anaknya menjadi saleh, berakhlak mulia, dapat hidup mandiri dengan ilmu yang didapat dari hasil belajar di pondok pesantren. Sebagai bukti keberhasilan belajar di pondok pesantren tersebut, kenyataannya banyak alumni pesantren yang kembali ke tempat asalnya mampu mendirikan pondok pesantren dengan tipe yang sama, atas dukungan masyarakat di sekitarnya.

Perkembangan dan perubahan yang dialami pondok pesantren sebagaimana dijelaskan di atas, penyebab utamanya adalah akibat persentuhan pondok pesantren dengan sekolah atau madrasah. Sukamto dalam buku Kepemim Pinan Kyai Dalam Pesantren,  yang dikutip oleh Mahpuddin, mengungkapkan, saat ini pesantren cenderung beradaptasi terhadap pengaruh modernisasi, terutama modernisasi di bidang pendidikan. Munculnya madrasah/sekolah dari mulai sekolah lanjutan pertama hingga perguruan tinggi di lingkungan pesantren, merupakan fenomena yang menarik untuk dicermati.

Dengan keluarnya surat keputusan Menteri Agama tersebut diatas, maka pendidikan pesantren dewasa ini telah mendapatkan perhatian yang sama dari pemerintah terutama Departemen Agama. Saat ini telah menjadi Direktorat terendiri, yaitu Direktorat pendidikan keagamaan dan pondok pesantren, yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat secara optimal

Secara eksplisit untuk operasionalnya, setahun kemudian keluar surat keputusan Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam, nomor E/239/2001 tentang panduan teknis penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar pada pondok pesantren salafiyah.

Dari sini kita akan melihat hubungan antara lembaga pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan nasional. Apakah antara keduanya terdapat persamaan dan keselarasan atau terdapat perbedaan tujuan. Jika melihat sejarahnya, identifikasi dan prototype pondok pesantren, serta pengakarannya di masyarakat, jelas sistem pendidikan pesantren ini merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional (Agus Muhyidin, 1992: 19).

   Perlu diketahui, tujuan penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada pondok, pesantren salafiyah, seperti tercantum pada buku panduan teknis penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar pada pondok pesantren salafiyah, dikemukakan:

1)    Mengoptimalkan pelayanan program nasional wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun melalui salah satu jalur alternatif, dalam hal ini pondok pesantren.

2)    Meningkatkan peran serta pondok pesantren salafiyah dalam penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun bagi para santri, sehingga dapat memiliki kemampuan setara dan kesempatan yang sama untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada pondok pesantren salafiyah, bukan lagi sebuah wacana, namun kini telah digulirkan dan dilaksanakan.

Beberapa pondok pesantren salafiyah secara proaktif tengah dan sedang melaksanakan program tersebut dalam kondisi yang beragam, antara pesantren yang satu dengan yang lainnya. Dari keragaman itu muncul persoalan, persoalan baru yang harus dibenahi, terutama dari sisi kelemahan sumber daya manusia, termasuk dalam pengelolaan manajemen. Hal ini memang wajar terjadi, karena pemahaman pondok pesantren adalah lembaga tradisional, sehingga pengelolaan manajemennya tidaklah menjadi hal yang amat penting diperhatikan. Terlebih dengan wataknya yang bebas, menjadikan pola pembinaan pondok pesantren tergantung hanya pada kehendak dan kecenderungan pimpinan saja, dalam hal ini kyai (Ma'sum Saefulah, 1998: 37).

Semua ini dilakukan, bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan wawasan masyarakat pesantren dalam menghadapi serta menyikapi perkembangan, perkembangan maupun perubahan-perubahan yang dialami oleh pondok pesantren tersebut. Apalagi menjelang masa-masa yang akan datang. Adanya perkembangan dan perubahan yang terjadi sekarang ini, telah dapat dirasakan. Pondok pesantren cukup sarat dengan berbagai kegiatan, sementara di pesantren sendiri masih banyak kelemahan-kelemahan, terutama kelemahan sumber daya manusia.

     Oleh karena itu, pembinaan dan pengembangan pondok pesantren diarahkan mengacu kepada:

a)      Kemandirian. Pondok pesantren diarahkan agar mampu menjadi motivator di dalam mensejahterakan kehidupan masyarakat sekelilingnya, untuk itu pada lingkungan pondok pesantren perlu adanya kegiatan usaha seperti: pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan dan usaha lainnya yang sesuai dengan kondisi dan potensi daerah/alamnya. Sehingga ketika para santri selesai mengikuti program pondok pesantren dapat menjadi insan mandiri dalam meningkatkan mutu kehidupan umat. Dengan kata lain, mereka sebagai penegak panji-panji agama di manapun mereka berada.

b)      Pembentukan kader ulama. Pondok pesantren sebagai sarana untuk melahirkan kader-kader ulama dalam pembangunan. Upaya ke arah tersebut menghendaki pengetahuan yang dimiliki tidak hanya bersifat keagamaan, tetapi juga dilengkapi dengan keterampilan. Pondok pesantren harus mengikuti perkembangan dan kemajuan yang sekarang bergerak secara cepat sejalan dengan derasnya arus globalisasi. Perpustakaan pondok pesantren sekarang ini telah menjadi tuntutan. Sarana-sarana informasi dan komunikasi dalam media cetak dan elektronik sepertij Koran, radio dan televisi tak dapat terpisah lagi dari lingkungan pondok pesantren, karena kader ulama perlu diberi muatan informasi yang mutakhir.

c.      Tempat lahirnya Ulama Muda. Dalam rangka ikut mengupayakan lahirnya ulama-ulama muda, maka sarana dan prasarana pendidikan pondok pesantren perlu seirama dengan kebutuhan pembangunan seperti penambahan bangunan fasilitas. Program ini sesuai dengan kebutuhan para santri sebagai kader ulama yang ingin dicapai setiap tahunnya.

d)      Mutu Pendidikan Pondok Pesantren. Para santri pondok pesantren senantiasa mempunyai prinsip selalu meningkatkan kualitas diri untuk mencapai prestasi yang optimal Prestasi itu hanya bisa diraih dengan persiapan dan upaya peningkatan pendidikan dengan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.



[1] Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, 1974

[2] Islam Ahlussunnah waljama’ah di Indonesia, Pustaka Maarif, 2006, hal 30

[3] H. Mahpuddin Noor, Potret dunia Pesantren, Humaniora, 2006, hal 19

[4] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, LP3ES,1986 hal 16

[5] Op. Cit

[6] Islam Ahlussunnah waljama’ah di Indonesia, Pustaka Maarif, 2006, hal 16

[7] Ibid hal 18

[8] Ir. Zein M. Wiryoprawiro, IAI, Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur, Bina Ilmu, 1986 hal, 123

[9] Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, 1974 hal 83

[10] Ibid, hal 27

[11] Ibid, hal 76