Senin, 19 September 2022

PANDANGAN FILOSOFIS DALAM PANDANGAN PRAKTIS PENDIDIKAN ISLAM part I

1.      PENDAHULUAN

Kita semua sedang mengamati dan bahkan ada di antara kita yang sedang mengalami yang namanya proses pendidikan. Bahkan memperbaiki pendidikan – dengan segala perubahan dan perkembangannya - menjadi cita-cita kita bersama setelah umat Islam mengalami yang namanya zaman kemunduran islam.

Di kalangan umat Islam nasional maupun Internasional sedang terjadi berbagai diskusi mencari format bagaimana cara untuk mengembalikan umat islam kepada kejayaan sebagaimana yang pernah di alami Islam pada saat itu. Islam saat itu sempat memperoleh sebutan ” Golden Age Of Islam ”.

Dari berbagai kegiatan diskusi, seminar sampai kepada kongres pendidikan islam sedunia mencari format ideal untuk mengembalikan umat islam kepada jaman keemasan itu, diantaranya adalah bagaimana umat islam dalam melaksanakan pendidikan. Dari sinilah kemudian berbagai definisi tentang pendidikan islam dicetuskan.

Bahkan ada gejala atau kecendrungan manusia untuk selalu membicarakan tentang pendidikan, baik orang yang ahli maupun yang tidak tahu sama sekali teori pendidikan, apa lagi di Negara kita akhir-akhir ini sedang berupaya memberi penghargaan yang tinggi kepada para pendidik dengan  aktifitas kependidikannya.

Pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata lain pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi berlangsung pula di luar kelas. Pendidikan bukan bersifat formal saja, tetapi mencakup pula yang non formal.[1] Pandangan ini walaupun tidak secara langsung mengambil arti dari sebuah hadits Rasulullah saw. yang berbunyi : 92f 1ã 9tjîeã oi kfReã èfÊã  yang artinya kurang lebih ”Carilah ilmu mulai dari buaian ibu hingga ke liang lahad. Jelas ini merupakan pemaknaan pendidikan secara islami.

Serupa dengan pandangan tersebut diatas berkaitan dengan pendidikan, adalah pendapat John Dewey yang mengatakan bahwa ” Education is the process without end ” yang artinya pendidikan adalah suatu proses tanpa akhir.[2]

Orang Yunani, lebih kurang 600 tahun SM, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah suatu usaha membantu manusia menjadi manusia.[3] Ada dua kata yang penting dalam kalimat itu, pertama “membantu” dan kedua “manusia.” Manusia perlu dibantu agar Ia berhasil menjadi manusia. Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia bila telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Itu menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi manusia. Karena itulah sejak dahulu banyak manusia gagal menjadi manusia. Jadi, tujuan mendidik ialah me-manusia-kan manusia. Agar tujuan itu dapat dicapai dan agar program dapat disusun maka ciri-ciri manusia yang telah menjadi manusia itu haruslah jelas. Seperti apa kriteria manusia yang menjadi tujuan pendidikan itu? Tentulah hal ini akan ditentukan oleh filsafat hidup masing-masing orang. Orang-orang Yunani Lama itu menentukan tiga syarat untuk disebut manusia. Pertama, memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri kedua, cinta tanah air; dan ketiga berpengetahuan.

 

 

2.      MERANCANG APLIKASI BERBAGAI PANDANGAN FILOSOFIS DALAM APLIKASI PENDIDIKAN

 

2.1.   Pengertian Filsafat Pendidikan Islam

Filsafat Pendidikan Islam menurut Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. adalah pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi masnusia Muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam.[4]

Jadi Filsafat pendidikan Islam itu berfikir mendasar, sitematik, logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan Islam, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu yang relevan. Pendapat ini memberi petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat pendidikan islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode dan lingkungan.

Karena itu dalam mengkaji filsafat Pendidikan Islam seseorang akan diajak memahami :

a).  konsep tujuan pendidikan

b).  konsep guru yang baik

c).  konsep kurikulum, dan seterusnya.

Selanjutnya yang harus dilakukan adalah :

a).  secara mendalam

b).  Sistematik

c.)  logis

d).  Radikal

e).  dan universal

Semua itu berdasarkan atas tuntutan ajaran Islam, khususnya berdasarkan al-Quran dan al-Hadits. Dalam hubungan ini, seseorang yang mengkaji filsafat pendidikan Islam, disamping harus menguasai masalah filsafat dan pendidikan pada umumnya, juga perlu menguasai secara mendalam kandungan al-Quran dan al-Hadist dan hubungannya dengan membangun pemikiran filsafat pendidikan Islam.

Dengan kata lain seorang pemikir filsafat pendidikan Islam adalah orang yang menguasai dan menyukai filsafat dan pendidikan secara mendalam, juga sekaligus harus berjiwa Islam.

 

2.2.   Aplikasi Pandangan Filosofis Pendidikan.

Oleh karena itu dalam merancang aplikasi berbagai pandangan filosofis dalam aplikasi pendidikan, khususnya pendidikan Islam, perancang (desainer) harus benar-benar menguasai bidang fislafat pendidikan Islam, karena pada hakekatnya tujuan pendidikan yang ingin dituju itu erat kaitannya dengan pandangan hidup si desainer pendidikan itu sendiri, dan tujuan pendidikan itu harus diketahui bersama oleh seluruh komponen sekolah, sehingga segala bentuk aktifitas pendidikan dalam sebuah lembaga pendidikan benar-benar mengarah kepada pencapain tujuan pendidikan yang di canangkan secara bersama-sama.

Jika kita berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, berarti berbicara tentang nilai-nilai ideal yang bercorak islami. Hal ini mengandung makna bahwa tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah tujuan yang merealisasi idealitas islami. Sedang idealitas islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus dipatuhi.

Kepatuhan kepada Allah itu maknanya adalah penyerahan diri secara total kepada-Nya. Penyerahan diri secara total kepada Allah menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepada-Nya semata.

Bila manusia telah bersikap menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah berarti telah berada di dalam dimensi kehidupan yang mensejahterakan di dunia dan membahagiakan di akhirat. [5] Inilah akhir dari tujuan pendidikan Islam.

Dalam aplikasi praktis pendidikan, tujuan pendidikan ini dijadikan atau diformulasikan dalam Visi dari lembaga pendidikan yang bersangkutan. Semakin beragamnya latar belakang desainer lembaga pendidikan, memungkinkan terjadinya beberapa lembaga pendidikan islam satu dengan yang lainnya berbeda-beda dalam menentukan visi lembaga pendidikannya. Hal itu karena faktor atau latar belakang pendidikan desainer pendidikan yang ada pada lembaga pendidikan islam tersebut.

Oleh karena itu kami ingin menyampaikan rancangan aplikasi berbagai pandangan filosofis dalam aplikasi pendidikan sebagai berikut;

 

2.3.   Aplikasi Pandangan Filosofis Tujuan Pendidikan

Pandangan filosofis tentang tujuan pendidikan telah banyak dikemukakan oleh para tokoh antara lain ;

2.3.1. Al Ghazali.

Menurut konsep Al Ghazali, tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri pada Allah SWT, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.[6]



[1] Dra. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara hal, 149

[2] Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. Filsafat Pendidikan Islam, hal 33

[3] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, hal 33

[4] Prof. Dr. H. Abduddin Nata, MA, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Baru hal, 14

[5] Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. Filasafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, 108

[6] op.cit 212

 

Sabtu, 23 April 2022

METODOLOGI PENELITIAN AGAMA

A.     Latar Belakang Masalah

 

Islam adalah syari’at Allah yang diturunkan kepada umat manusia agar mereka beribadah kepada-Nya di muka bumi. Pelaksanaan syari’at ini menuntut adanya pendidikan manusia, sehingga dia pantas untuk memikul amanat dan menjalankan kholifah.

Dengan demikian dunia pendidikan Islam harus secara terus menerus melakukan perbaikan-perbaikan, baik secara konseptual maupun praktis dalam rangka memberikan bimbingan kepada umat manusia agar memahami tujuan diciptakan manusia di atas dunia ini. Beribadah kepada Allah inilah yang menjadi tujuan utamanya proses pendidikan secara Islami.

Berbagai pemikir muslim membicarakan dan merancang tentang bagaimana praktik pendidikan Islam modern yang bisa diterapkan sesuai dengan perkembangan jaman, karena pada hakekatnya pendidikanlah yang mengantarkan manusia menuju kepada kesempurnaan.

Aktifitas Pendidikan menurut Prof. Dr. Omar Muhammad Al Touny al Syaebani, diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan.[1]

Syariat Islam hanya dapat dilaksanakan dengan mendidik diri generasi dan masyarakat supaya beriman dan tunduk kepada Allah semata serta selalu mengingat-Nya. Oleh sebab itu, pendidikan Islam menjadi kewajiban orang tua dan guru di samping menjadi amanat yang harus dipikul oleh satu generasi untuk disampaikan kepada generasi berikutnya.

Didalam Al Quran surat Ad Dzariyat ayat 56 Allah berfirman :

$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

 

Dari ayat diatas kita faham bahwa manusia dengan segala jenisnya, ras, suku, bangsa, laki-laki dan perempuan, adalah sama dalam kewajibannya di hadapan Allah swt. yaitu menyembah kepada-Nya.

Dalam realitas sosial yang kita lihat, ada diantara hamba Allah yang dalam penciptaannya kurang sempurna, misalnya cacat tangan, cacat pendengaran, cacat penglihatan, dan kekurang sempurnaan yang lainnya. Semua itu tidak mengurangi kewajibannya untuk bersama-sama dengan yang sempurna dalam penciptaannya untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah swt.

Di dalam Alquran tidak satupun ayat yang memberikan dispensasi kepada orang yang dalam penciptaannya kurang sempurna untuk tidak beribadah, melainkan semuanya harus berusaha dan berlomba-lomba dalam kebaikan, tentunya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dan orang yang paling sempurna dalam pandangan Allah swt. adalah orang yang paling bertaqwa kepada Allah. Mungkin saja terjadi, bahwa orang yang buta lebih tekun berjama’ah ke masjid untuk melaksanakan shalat fardlu, sementara orang yang sempurna bermalas-malasan dengan menonton televisi walaupun sudah terdengar adzan, bahkan sampai terdengar panggilan iqomah pun ia masih saja belum beranjak dari tempat duduknya.

Bisa jadi orang yang kurang sempurna penciptaannya pada indra penglihatannya telah hafal Al Quran 30 juz, sementara kita yang melek dengan sempurna tidak hafal, kecuali surat-surat pendek saja.

Lebih khusus lagi kita melihat kenyataan bahwa dengan keberadaan Sekolah Luar Biasa yang ada di Jl. A. Yani 6-8 surabaya yang di dalamnya menampung anak-anak atau orang-orang yang kurang sempurna dalam penciptaan fisiknya, mereka mempunyai semangat belajar yang cukup tinggi, baik belajar pengetahuan umum maupun pengetahuan agama. Mereka semua, khususnya yang beragama Islam juga harus diberi bekal ilmu agama yang cukup agar bisa mengantarkan mereka untuk mencapai kebahagiaan dunia lebih-lebih kebahagiaan akhirat.

Oleh karena itu pendidikan Islam harus bisa mengantarkan mereka menuju kepada tujuan penciptaannya dengan sukses, yaitu bisa beribadah kepada Allah swt. dengan semaksimal mungkin.

 

B.     Identifikasi dan Perumusan masalah

 

Dari keberadaan Sekolah Luar Biasa yang melaksanakan proses belajar mengajar kepada siswa-siswi yang dalam penciptaannya kurang sempurna itu, peneliti ingin mengetahui lebih detil lagi hal-hal berikut, yang sekaligus peneliti jadikan permasalahan dalam  penelitian ini.

Dari paparan diatas kiranya yang perlu peneliti ketahui dan dijadikan permasalahan, selanjutnya untuk dicarikan solusinya adalah ;

1.      Bagaimana proses pencarian ilmu agamanya atau PBM bidang studi Agama Islam ?

2.      Bagimana ketaatan agamanya ?

 

C.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian

 

         Penelitian yang peneliti lakukan ini mempunyai tujuan sebagai berikut ;

1.      Mengetahui proses  PBM pendidikan Agama Islam yang dilaksanakan pada Sekolah Luar Biasa yang beralamat di Jl. A. Yani 6-8 surabaya.

2.      Mengetahui tingkat keagamaan siswa SLB Jl. A. Yani 6-8 surabaya

        

         Adapun kegunaan dari penelitian ini diharapkan ;

1.      Menambah khazanah pustaka pendidikan, khususnya proses PBM bidang studi Agama Islam pada SLB Jl. A. Yani 6-8 surabaya.

2.      Membantu atau memberikan alternatif-alternatif dalam peningkatan PBM bidang studi Agama Islam pada SLB  Jl. A. Yani 6-8 surabaya.

3.      Menjadi bahan awal bagi kajian-kajian yang semisal dikemudian hari.

 

D.     Study Pustaka

 

Dalam study pustaka ini kami cantumkan pendapat Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam sebagai berikut ;[2]

Kemampuan belajar manusia sangat berkaitan dengan kemampuan manusia untuk mengetahui dan mengenal objek-objek pengamatan melalui pancaindranya.

Membahas kemampuan mengetahui dan mengenal, tidak dapat terlepas dari filsafat dalam bidang epistimologi. Karena filsafat ini menunjukkan kepada kita betapa dan sejauh mana manusia dapat mengetahui atau mengenal objek-objek pengamatan di sekitarnya. Apa pengetahuan itu, cara mengetahui dan memperoleh pengetahaan, serta berbagai jenis pengalaman indrawi.

Pengetahuan manusia terbentuk karena adanya realita sebagai objek pengamatan indra. Pembahasan filsafat dalam berbagai aliran adalah pertanyaan apakah realita itu merupakan suatu kebenaran hakiki atau hanya refleksi dari kebenaran tensebut.

Filsafat yang beraliran idealisme memandang bahwa realita itu bukan hakikat kebenaran yang ditangkap oleh pancaindra manusia. Ia hanyalah merupakan gambaran (refleksi) dan kebenaran yang hakiki yang berada di dalam alam “ide”. Realita yang berupa benda yang ada di alam nyata ini adalah totalitas (keseluruhan) yang tersusun secara logis dan bersifat spiritual. Realita seperti yang ditangkap oleh indra manusia telah ditentukan sebelumnya dalam alam “ide” itu.

Paham idealisme yang murni seperti tersebut di atas tercetus dan pikiran-pikiran ahli filsafat kuno di Yunani, antara lain Plato, yang di kemudian hari mengalami perkembangan yang semakin luas, seolah-olah terlepas dari aliran pokoknya yang murni, meskipun masih tetap dalam rumpun aliran idealisme.

Sempalan (cabang) Idealisme ini misalnya berupa aliran paham Spiritualisme (serba roh), Panpsychisme (segala sesuatu berasal darijiwa), dan Rationalisme (ratio/akal yang dapat menemukan kebenaran hakiki). Masing-masing aliran filsafat tersebut mempunyai ciri-cirinya sendiri. Pengertian tentang realita (kebenaran sejati) di alam ini, menurut idealisme pada abad pertengahan dan abad selanjutnya, adalah sebagai suatu kekuatan yang memiliki corak dan sifat yang kongruen (sesuai) dengan jiwa. Jadi, “jiwa” dipandang sebagai realita, karena menurut Idealisme, “jiwa” diberi arti sebagai berikut ;

a.      Suatu kekuatan yang ada di dalam diri manusia yang mampu mendorong timbulnya kebudayaan serta dapat meresapinya. Jadi, jiwa dapat melahirkan dirinya dalam bentuk-bentuk kebudayaan.

b.      Dengan demikian, jiwa juga diartikan sebagai suatu kekuatan yang dapat diobjektifkan (dinyatakan) dalam bentuk kebudayaan itu. Dengan kata lain, kebudayaan adalah jiwa yang diobjektifkan. Jiwa yang diobjektifkan itu akhirnya meluas pengaruhnya kepada pembentukan jiwa bangsa (folk geist).

Dengan demikian,jelaslah prinsip yang dipegang oleh Idealisme dari zaman ke zaman adalah faktor kejiwaan lebih diutamakan daripada faktor kebendaan atau kejasmaniahan, karena jiwa merupakan sumber sebab timbulnya realita yang dapat diamati pancaindra. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa semua kenyataan itu senantiasa kongruen dengan alam ide, yaitu suatu alam kejiwaan. Kejiwaan yang dapat menentukan realita ini, oleh Aristoteles disebut dengan entelichie, yaitu suatu kekuatan rohaniah yang bekerja dari dalam dan bersemayam di dalam segala kenyataan itu.

Beberapa ahli pikir setelah abad pertengahan seperti Rene Descartes dan Benedjcte de Spinoza (filosof Yahudi) serta Al-Farabi, Al-Kindi, dan sejumlah filosof Islam lainnya banyak terpengaruh oleh aliran filsafat Idealisme di atas. Sehingga timbullah pandangan yang bercorak khusus mengenai masalah kemampuan pokok dan kejiwaan manusia; dan di antaranya ada yang lebih mementingkan akal/rasio, ada pula yang lebih mementingkan spirit (roh) dan sebagainya

Islam memberikan prinsip-prinsip pandangan bahwa alam nyata ini adalah ciptaan Allah SWT. yang harus dikelola dan dipelajari oleh manusia (sebagai hamba-Nya) melalui kemampuan berpikir dan lain-lain kemampuan kejiwaannya. Sedang manusia sendiri adalah makhluk-Nya yang terbentuk dari kenyataan rohaniah (kejiwaan) dan kenyataan jasmaniah untuk melaksanakan tugas hidupnya sebagai hamba Allah, dengan melalui ikhtiar membentuk kehidupan duniawi dan ukhrawi yang bahagia sejahtera menurut petunjuk-Nya. Jadi, kenyataan hidup manusia dan alam nyata ini merupakan perpaduan antara pola-pola hubungan dari kekuatan rohaniah dan jasmaniah yang berkeseimbangan dan serasi yang berarah tujuan. Pancaindra manusia merupakan alat kelengkapan yang dapat membuka kenyataan alam sebagai sumber pengetahuannya yang memungkinkan dirinya untuk menemukan hakikat kebenaran yang diajarkan oleh agamanya, atau oleh Tuhannya.

Pancaindra manusia adalah pintu gerbang dari pengetahuan yang makin berkembang. Oleh karenanya, Tuhan mewajibkan pancaindra manusia untuk digunakan menggali pengetahuan.

Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.[3]

 

Ayat yang bersifat motivatif dan persuasif kepada manusia untuk menggunakan kemampuan kejiwaan dan pancaindranya dalam menggali ilmu pengetahuan tidak kurang dan 300 kali disebut dalam Al Quran. Semua itu menjadi dasar pandangan yang ada, misalnya pandangan epistimologi. Islam berpendirian bahwa kemampuan belajar manusia pertama-tama berkembang dari pengamatan pancaindra, kemudian diolah oleh kemampuan pikiran dan ingatannya serta dorongan kemauannya, sehingga menjadi pola-pola pengetahuan yang kemudian terbentuk menjadi ilmu pengetahuan.

Islam lebih cenderung untuk menegaskan perpaduan antara kemampuan kejiwaan dan kenyataan materi sebagai realita merupakan sumbernya proses “mengetahui” manusia yang keduanya merupakan “kebenaran” menurut ukuran proses hidup manusiawi dan bukan Ilahi. Kebenaran yang hakiki hanyalah Tuhan sendiri, dan kebenaran hakiki inilah yang menciptakan segala kenyataan alam dan manusiawi dengan diberi mekanisme hukum-hukumnya sendiri. Bila Ia menghendaki, mekanisme itu bisa diubah menurut kehendak-Nya.

Pandangan Islam jelas tidak hanya berbeda dengan Idealisme, tetapi juga berbeda dengan pandangan aliran Realisme yang menyatakan bahwa hakikat kebenaran itu berbeda pada kenyataan alam ini, bukan pada “ide” atau jiwa serta pada Tuhan. Segala yang diamati oleh pancaindra adalah suatu kebenaran. Oleh karena itu, dalam proses mencapai kebenaran, manusia baru memperoleh kemantapan kebenaran bilamana pengetahuan yang diperoleh telah sesuai benar dengan kenyataan dalam semua benda. Sama halnya sarjana yang hendak mengetahui benar tidaknya suatu teori, ia harus mengujinya dalam kenyataan. Islam dalam hubungannya dengan realita sebagai kebenaran, tidak “menafikan” (menghilangkan) arti dari benda-benda nyata, sebagai suatu yang bersifat “imajinatif” melainkan sebagai kebenaran “instrumental” untuk mencapai pengetahuan yang lebih tinggi mutunya secara kualitatif dan normatif.

Bila dikaitkan dengan pandangan filosofis tentang problem kependidikan yang berusaha membahas tentang hakikat dan problem tersebut melalui pemikiran yang sistematis, total, radikal serta universal; maka paham Idealisme dan Realisme tersebut mendasari pandangan tentang kemungkinan perkembangan manusia dalam pendidikan, yaitu bahwa manusia di satu pihak, dengan bakat/kemampuan dasarnya yang dibawa sejak lahir mempunyai sifat yang determinis terhadap pengaruh pendidikan pada khususnya dan pengaruh lingkungan pada umumnya (paham Idealisme kependidikan). Namun di lain pihak kemampuan dasar menurut paham Realisme, dalam proses kependidikan yang alami lebih ditentukan perkembangannya oleh pendidikan atau lingkungan sekitar, karena empiri (pengalaman) pada hakikatnya yang membentuk manusia. Terhadap hubungan ini, dalam Islam dikenal adanya “fitrah”, yaitu kemampuan dasar beragama yang dalam perkembangannya bagi seseorang banyak dipengaruhi oleh langkah-langkah pendidik? Namun hal ini tidak berarti Islam beraliran Realisme atau Empirisme dalam pendidikan, oleh karena di dalam kemampuan dasar yang disebut frtrah tersebut benih-benih religiositas manusia tetap berkembang (tidak lenyap karena pengaruh pendidikan yang nonreligius) walaupun manusia menjadi nonmuslim sekalipun. Di sinilah letaknya, faktor potensial kejiwaan manusia yang disebut “insting” (ghorizah) bagaimanapun dipengaruhi dan luar untuk dibentuk menjadi yang lain ataupun dihapuskan sama sekali, tetap bertahan dalam eksistensinya. Dalam pandangan Alquran jelas ditunjukkan masalah ini dengan firman Allah:

óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ

 

Maka hadapkanlah wajahinu kepada agama dengan cecara lurus, tetaplah pada fitrah Allah, yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada yang dapat mengubah fitrah Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak tnengetahuinya. [4]

 Berdasarkan penjelasan Al Quran bahwa manusia itu mempunyai sifat ganda : jiwa dan raga, yang berwujud fisik dan roh[5]. Adapaun ayat Al Quran tersebut adalah sebagai berikut ;

#sŒÎ*sù ¼çmçF÷ƒ§qy àM÷xÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y ÇËÒÈ

Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.

 

ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ

* Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.

* Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).

* Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.

 

Sebelum berbentuk makhluk jasmani, manusia itu telah mengikat janji akan mengakui Allah saja sebagai Tuhannya sebagai mana firman Allah swt.

øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",

 

Dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, Dra. Zuhairini dkk. Mengatakan bahwa : Manusia, jika ditinjau dari segi biologis, maka sebenarnya ada segi-segi persamaan dengan binatang, bahkan manusia dimasukkan dalam golongan binatang yang menyusui. Karena manusia juga mempunyai sifat-sifat biologis seperti yang dimiliki oleh binatang antara lain membutuhkan makan, udara, mengembangkan jenis dan lain-lain. Namun di samping itu, manusia, mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakan dengan binatang, yakni manusia memiliki berbagai macam potensi atau kemampuan dasar (fitrah) yang telah dibawa semenjak lahirnya, seperti kemampuan untuk berpikir, berkreasi, beragama, beradaptasi dengan lingkungannya dan lain sebagainya. Dengan adanya berbagai macam kemampuan dasar tersebut, maka manusia dalam hidup dan kehidupannya tidak hanya berdasar pada instink atau naluri saja seperti halnya binatang, tetapi juga berdasarkan dorongan dari berbagai potensi yang dimilikinya.

Untuk mengembangkan potensi/kemampuan dasar, maka manusia membutuhkan adanya bantuan dari orang lain untuk membimbing, mendorong dan mengarahkan agar berbagai potensi tersebut dapat bertumbuh dan berkembang secara wajar dan secara optimal, sehingga kelak hidupnya dapat berdaya guna dan berhasil guna. Dengan begitu mereka akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya.[6]

 

E.     Metode Penelitian

 

Bentuk-penelitian serta klasifikasi metode penelitian dapat dibedakan berdasarkan tujuan penelitian, jenis data yang dikumpulkan, serta sumber data.

 

a.      Tujuan penelitian

Dari segi tujuan penelitian, peneliti bermaksud menggali informasi tentang keadaan proses belajar mengajar pada SLB yang berada Jl. A. Yani 6-8 surabaya. Karena peneliti belum mengetahui keadaan yang sebenarnya maka jenis penelitian ini tergolong penelitian exploratif.

 

b.      Sumber data penelitian

Peneliti berusahan menggali inforamsi langsung ke lapangan, dalam hal ini adalah SLB yang berada Jl. A. Yani 6-8 surabaya

 

c.      Proses penelitian

Peneliti dalam menggambarkan obyek penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian yang melakukan berbagai bentuk perhitungan terhadap gejala keagamaan. Dalam hal ini peneliti ingin menghitung seberapa besar ketaatan beragama siswa SLB yang berada Jl. A. Yani 6-8 surabaya

 

F.      Sistematika Pembahasan

 

Hasil penelitian ini akan ditulis dalam empat bab, masing-masing bab dibahas dan dikembangkan dalam beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan tersebut adalah sebagai berikut :

Bab satu      pendahuluan, berisi uraian tentang latar belakang masalah, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab dua       menjelaskan keadaan riil, sasaran atau obyek penelitian, yakni SLB yang berada di Jl. A. Yani 6-8 surabaya

Bab tiga,      problematika PBM Pendidikan Agama Islam pada SLB yang berada di Jl. A. Yani 6-8 surabaya

Bab empat   penutup, kesimpulan serta saran.

 

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

 

1.      Drs. U. Uman KH. M.Si.  Metodologi Penelitian Agama, Teori dan Praktik

2.      Prof. Dr. H. Abduddin Nata, MA. Metodologi Studi Islam

3.      Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1996), 47.

4.      Lexy, J. Moleong, MetodologiPenelitian Kwalitatif  (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), 9.

5.      Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. Filsafat Pendidikan Islam

6.      Kemas Badaruddin, M.Ag. Filsafat Pendidikan Islam

7.      Dra. Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam

8.      Prof. DR. Imam Suprayogo, Drs. Tbroni, M.Si. Metodologi Penelitian Social Agama.

 



[1] Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. Filsafat Pendidikan Islam hal, 15

[2] Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, hal 60

[3] Al Quran surat Al isra’ ayat 36

[4] Al Quran surat  Ar-Rum: 30

[5] Kemas Badaruddin, M.Ag. Filsafat Pendidikan Islam hal 20

[6] Dra. Zuhairin, dkk Filsafat Pendidikan Islam hal 94